Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

[Jawab Soal] Status Kewarganegaraan Ganda dalam Pandangan Islam


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Soal:

Bagaimana status kewarganegaraan dalam Negara Khilafah? Bagaimana konsekuensi kewarganegaraan seseorang? Adakah Islam mengenal status kewarganegaraan ganda?

Jawab:

Kewarganegaraan sering diistilahkan dengan “Jinsiyyah”. Mengingat istilah “Jinsiyyah” ini sudah mengandung konotasi tertentu, maka istilah ini tidak kita gunakan, agar kita terhindar dari persepsi yang salah tentang konotasi kewarganegaraan yang dimaksud oleh Islam. Karena itu, kita akan menggunakan istilah “Tâbi’iyyah”, diambil dari lafadz “Tâbi’” [yang mengikuti].

Istilah “Tâbi’iyyah” [kewarganegaraan] seseorang ini merujuk kepada wilayah yang diterima oleh orang tersebut sebagai tempatnya menetap, apakah Dâr al-Kufur atau Dâr al-Islâm. Jika wilayah yang menjadi tempatnya menetap adalah Dâr al-Islâm, maka hukum-hukum Dâr al-Islâm pasti yang akan diberlakukan di wilayah tersebut. Dengan begitu, orang tersebut akan mempunyai kewarganegaraan Islam. Tetapi, jika wilayah yang menjadi tempatnya menetap adalah Dâr al-Kufur, maka hukum-hukum Dâr al-Kufur pasti yang akan diberlakukan di wilayah tersebut. Dengan begitu, orang tersebut akan mempunyai kewarganegaraan Kufur.

Karena itu, tidak ada seorang warga negara Dâr al-Islâm, lalu kepadanya diberlakukan hukum-hukum yang berlaku di Dâr al-Kufur. Begitu juga sebaliknya, seorang warga negara Dâr al-Kufur, kepadanya berlaku hukum-hukum yang berlaku di Dâr al-Islâm. Karena kewarganegaraan ini membawa konsekuensi hukum. Meski Dâr al-Islâm adalah wilayah Negara Khilafah, yang berdasarkan akidah Islam, tetapi Islam tidak menjadi patokan kewarganegaraan. Karena itu, Muslim maupun non-Muslim boleh menjadi warga negara Khilafah.

Dengan demikian, yang menjadi patokan kewargenegaraan dalam Islam adalah tempat menetap (makân iqâmah) dan loyalitas (walâ’) seseorang kepada negara. Bukan masalah akidah. Karena itu, selama seseorang menetapkan tempatnya menetap dan loyalitasnya di negara Khilafah, maka dia pun berhak mendapatkan kewarganegaraan negara Khilafah. Terlepas, apakah dia Muslim atau non-Muslim. Sebaliknya, meski dia Muslim, tetapi tidak menjadikan Khilafah sebagai tempatnya menetap dan loyalitasnya, maka dia pun tidak mendapatkan kewarganegaraan negara Khilafah.

Karena dua syarat kewarganegaraan tersebut tidak mungkin dipenuhi seseorang pada waktu yang sama di dua negara yang berbeda, maka Islam tidak mengenal kewarganegaraan ganda. Selain itu, konsekuensi dari kewarganegaraan juga berlaku dua jenis hukum yang berbeda. Hukum Islam untuk wilayah Islam, dan hukum Kufur untuk wilayah Kufur.

Mengenai konsekuensi kewarganegaraan ini telah dinyatakan dalam hadits Nabi saw. yang disampaikan kepada Sulaiman bin Buraidah ra. dari ayahnya:

كان رسول الله ﷺ إذا أمر أميرا على جيش أو سرية أوصاه في خاصته بتقوى الله ومن معه من المسلمين خيرا ثم قال اغزوا باسم الله في سبيل الله قاتلوا من كفر بالله اغزوا ولا تغلوا ولا تغدروا ولا تمثلوا ولا تقتلوا وليدا وإذا لقيت عدوك من المشركين فادعهم إلى ثلاث خصال أو خلال فأيتهن ما أجابوك فاقبل منهم وكف عنهم ثم ادعهم إلى الإسلام فإن أجابوك فاقبل منهم وكف عنهم ثم ادعهم إلى التحول من دارهم إلى دار المهاجرين وأخبرهم أنهم إن فعلوا ذلك فلهم ما للمهاجرين وعليهم ما على المهاجرين فإن أبوا أن يتحولوا منها فأخبرهم أنهم يكونون كأعراب المسلمين يجري عليهم حكم الله الذي يجري على المؤمنين ولا يكون لهم في الغنيمة والفيء شيء إلا أن يجاهدوا مع المسلمين

“Ketika Rasulullah saw. mengangkat seorang panglima tentara, atau detasemen, maka baginda memberikan wasiat, secara khusus kepadanya agar bertakwa, dan memperlakukan kaum Muslim yang menyertainya dengan baik.” Baginda lalu bersabda, “Berperanglah di jalan Allah dengan menyebut Asma Allah. Perangilah orang yang Kafir kepada Allah. Berperanglah, jangan melampaui batas. Jangan melarikan diri. Jangan melakukan mutilasi. Jangan membunuh anak-anak. Jika kamu bertemu dengan musuhmu, kaum Musyrik, maka ajaklah mereka untuk memilih tiga perkara, atau pilihan. Mana yang mereka pilih, maka terimalah. Tahanlah, dan jangan perangi mereka. Ajaklah mereka memeluk Islam. Jika mereka menerima, maka terimalah. Tahanlah, dan jangan perangi mereka. Lalu, ajaklah mereka hijrah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin. Beritahu mereka, jika mereka melakukannya, maka mereka berhak mendapatkan hak layaknya kaum Muhajirin, dan mereka mendapatkan kewajiban sebagaimana layaknya kaum Muhajirin. Jika mereka enggan, dan tidak mau melakukannya, maka sampaikan kepada mereka, bahwa mereka seperti Muslim yang tinggal di pedalaman Arab. Kepada mereka berlaku hukum Allah, sebagaimana terhadap orang Mukmin. Mereka tidak berhak mendapatkan Fai’ dan Ghanimah sedikitpun, kecuali jika mereka berperang bersama orang Muslim.” [Hr. Muslim]

Pernyataan Nabi saw, yang menyatakan:

ادعهم إلى التحول من دارهم إلى دار المهاجرين وأخبرهم أنهم إن فعلوا ذلك فلهم ما للمهاجرين وعليهم ما على المهاجرين

“Lalu, ajaklah mereka hijrah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin. Beritahu mereka, jika mereka melakukannya, maka mereka berhak mendapatkan hak layaknya kaum Muhajirin, dan mereka mendapatkan kewajiban sebagaimana layaknya kaum Muhajirin.”

Membuktikan, bahwa makân iqâmah (tempat menetap) dan walâ’ (loyalitas) seseorang menentukan hak dan kewajibannya, sekaligus menentukan status kewarganegaraannya. Mafhûm dari hadits di atas, jika mereka tidak menempati tempat tersebut, dan tidak memberikan loyalitasnya, maka dia tidak berhak mendapatkan hak yang sama, dan kewajiban yang sama. Hadits ini juga berlaku untuk Ahli Dzimmah yang menetap di wilayah Khilafah, sehingga mereka berhak mendapatkan kewarganegaraan negara Khilafah, meski dia tetap memeluk agamanya, yang nota bene bukan agama Islam. Dengan tegas Nabi saw menyatakan:

أَنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ، فَإِنَّهُ لا يُفْتَنُ عَنْهَا، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ، عَلَى كُلِّ حَالِمٍ ذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى

“Siapa saja yang tetap berpegang teguh pada keyahudiaan atau kenasraniannya, maka dia tidak akan dibujuk atau dipaksa [untuk meninggalkan agamanya]. Dia wajib membayar jizyah, bagi tiap orang yang baligh, pria maupun wanita.”

Karena itu, memeluk akidah yang sama bukan syarat kewarganegaraan dalam negara Khilafah. Jika tidak, tentu orang Kafir tidak boleh menetap dan menjadi warga negara Khilafah. Tetapi, nyatanya tidak. Karena itu ada Ahli Dzimmah. Dzimmi, diambil dari lafadz Dzimmah, yaitu janji. Mereka berhak mendapatkan janji kita. Janji, dimana kita akan memperlakukan mereka sebagaimana komitmen perjanjian kita dengan mereka. Kita akan memperlakukan mereka, dan mengurus semua urusan mereka, dengan hukum Islam. Dalam hal ini, Islam pun telah menetapkan sejumlah hukum syara’ yang mengatur tentang Ahli Dzimmah, tentang hak dan kewajiban mereka.

Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa warga negara Khilafah bisa Muslim dan non-Muslim. Non-Muslim, bisa Musyrik, maupun Ahli Kitab. Mereka inilah yang disebut Ahli Dzimmah. Di luar mereka, statusnya bukan warga negara, karena tidak memenuhi dua syarat di atas. Meski negara mengizinkan mereka keluar masuk wilayahnya. Mereka ada dua: Pertama, warga negara Kafir Harbi hukman, yang berstatus Mu’ahad. Kedua, warga negara Kafir Harbi hukmah atau fi’lan yang tidak berstatus Mu’ahad. Mereka ini bisa masuk ke wilayah Khilafah dengan visa khusus, dan mereka disebut Musta’man.

Dengan begitu, Islam tidak mengenal kewarganegaraan ganda. Inilah hukum Islam yang akan diterapkan oleh negara Khilafah di wilayahnya.

Adapun konsekuensi dari kewarganegaraan ini adalah, bahwa negara Khilafah akan memberlakukan hukum syara’ kepada mereka, baik Muslim maupun non-Muslim, sebagai berikut: 

1- Kepada kaum Muslim, seluruh hukum Islam akan diberlakukan kepada mereka, tanpa kecuali. 
2- Bagi non-Muslim, mereka dibiarkan tetap memeluk agamanya, dan memeluk keyakinannya, serta apa mereka sembah, sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku.
3- Bagi orang yang Murtad dari Islam, kepadanya diberlakukan hukum murtad, jika mereka yang murtad. Tetapi, jika yang murtad adalah orang tua mereka, sementara mereka dilahirkan bukan sebagai Muslim, mereka mereka akan diperlakukan sebagai non-Muslim, sebagaimana kondisi mereka ketika dilahirkan, apakah Musyrik atau Ahli Kitab.
4- Bagi non-Muslim, mereka akan diperlakukan dalam urusan makanan dan pakaian sesuai dengan agama mereka, sebagaimana yang dibenarkan oleh hukum-hukum Islam. 
5- Dalam urusan pernikahan dan perceraian dengan sesama non-Muslim, akan diputuskan sesuai dengan hukum agama mereka, dan dengan kaum Muslim akan diputuskan dengan hukum Islam.
6- Di luar itu semuanya itu, semua hukum syara’ akan diberlakukan sama kepada seluruh warga negara, tanpa melihat Muslim atau non-Muslim. Begitu juga kepada mereka yang bukan warga negara yang berada di wilayah Khilafah. Kecuali, duta dan konsul, karena mereka mempunyai kekebalan diplomatik.

Inilah konsekuensi hukum dari status kewarganegaraan seseorang dalam negara Khilafah. Wallahu a’lam. [VM]

Posting Komentar untuk "[Jawab Soal] Status Kewarganegaraan Ganda dalam Pandangan Islam"

close