Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kenaikan Harga Rokok, 'Proyek' Solusi Fiktif


Oleh: Hasni Tagili
(Dosen Universitas Lakidende)

Harga rokok wacananya akan touch down di Rp. 50.000 per bungkus bulan depan. Berita itu secara masif tersebar di internet sejak 18 Agustus 2016 pagi. Tentu saja warta ini menuai pro kontra dari berbagai kalangan. Kabarnya, kebijakan tersebut digulirkan akibat naiknya tarif cukai rokok. Setali tiga uang, hal ini juga dimaksudkan untuk menekan jumlah perokok di Indonesia. Who knows?

Harga Rokok Meroket?

Rokok, dulunya disebut tembakau, pada awal kemunculannya (dalam Ekpedisi Coloumbus di Amerika Tengah, Oktober 1492) digunakan sebagai obat pereda migren atau sakit kepala. Bahkan pada abad ke 15 sampai abad ke 18, tembakau dikenal sebagai obat untuk sakit gigi, pilek, penyakit kulit, dan penyakit menular. Namun, seiring perkembangannya, tembakau beralih fungsi menjadi ‘racun’.

Meski diketahui mengandung bahan berbahaya, jumlah perokok malah tergolong besar. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, dr. Lily Sriwahyuni Sulistyowati, mengatakan bahwa berdasarkan riset Atlas Tobacco, Indonesia bahkan menduduki rangking 1 dengan jumlah perokok terbanyak di dunia, sekitar 90 juta jiwa (Republika.co.id, 24/05/2016).

Rahasia umum tentang bahaya rokok dan tingginya jumlah perokok membuat banyak pihak buka suara terkait rencana pemerintah untuk menaikkan harga rokok hingga angka Rp 50.000. Indonesia bukan negara pertama yang menerapkan kebijakan ini. Di Singapura, harga rokok bahkan mencapai Rp 120 ribu. Ketua DPR, Ade Komarudin, menyambut baik wacana kenaikan ini. Menurutnya, hal tersebut dapat mengurangi kebiasaan merokok masyarakat. Selain itu, pendapatan negara juga akan bertambah jika harga rokok dinaikkan (Bagi.com, 19/08/2016).

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany. Menurutnya, harga rokok harus dinaikkan minimal 2 kali lipat agar dapat berhasil menurunkan jumlah perokok. Berdasarkan hasil survei terhadap ribuan orang selama Desember 2015 hingga Januari 2016, ditemukan bahwa lebih dari 70% orang akan berhenti merokok jika harganya tinggi (Tribunews.com, 19/08/2016).

Merokok, dari sisi kesehatan, jelas-jelas merugikan. Jauh sebelum wacana kenaikan harga rokok ini, Prof. Farid A. Moeloek, Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dalam acara Peningkatan Cukai Rokok: Antara Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan di Hotel Sahid Jakarta, Rabu (17/2/2010), menyebutkan bahwa, berdasarkan data Depkes tahun 2004, total biaya konsumsi atau pengeluaran untuk tembakau adalah Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termasuk biaya kesehatan, pengobatan dan kematian akibat tembakau. Sementara itu penerimaan negara dari cukai tembakau adalah Rp 16,5 triliun. Artinya, biaya pengeluaran untuk menangani masalah kesehatan akibat rokok lebih besar 7,5 kali lipat daripada penerimaan cukai rokok itu sendiri (Voa-islam.com, 20/02/2010).

Solusi Fiktif

Elvira Lianita, The Head of Regulatory International Trade and Communications PT HM Sampoerna Tbk, menilai bahwa kenaikan harga drastis pada rokok maupun kenaikan cukai secara eksesif bukanlah langkah bijaksana. Sebab, setiap kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok harus mempertimbangkan seluruh aspek secara komprehensif. Aspek tersebut terdiri atas seluruh mata rantai industri tembakau nasional: petani, pekerja, pabrikan, pedagang, dan konsumen. Harus dipertimbangkan pula kondisi industri dan daya beli masyarakat saat ini.

Elvira memaparkan bahwa kebijakan cukai yang terlalu tinggi akan mendorong mahalnya harga rokok sehingga tidak sesuai dengan daya beli masyarakat. Jika harga rokok mahal, kesempatan ini akan digunakan produk rokok ilegal yang dijual dengan harga sangat murah karena mereka tidak membayar cukai. Perlu menjadi catatan penting barangkali, dengan tingkat cukai saat ini, perdagangan rokok ilegal telah mencapai 11,7% dan merugikan negara hingga Rp 9 triliun (berdasarkan studi dari beberapa universitas nasional). Hal ini tentu kontraproduktif dengan upaya pengendalian konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja oleh pemerintah (Pojoksatu.id, 20/08/2016).

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menghimbau pada pemerintah agar berhati-hati dalam menyikapi wacana kenaikan harga rokok. Pasalnya, bisa saja isu tersebut ditunggangi oleh kepentingan asing yang memiliki tujuan tertentu (20/8/2016). Menurutnya, apabila harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50.000 per bungkus, maka nasib industri rokok jelas akan bangkrut dan otomatis ribuan tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada pabrik tersebut akan kehilangan pekerjaannya. Maka otomatis, catatan kemiskinan Indonesia akan semakin besar (Pojoksatu.id, 21/08/2016).

Akar Masalah

Dalam sistem berbahan dasar kapitalisme saat ini, di satu sisi, pemerintah berdalih menjaga kesehatan rakyatnya lewat kampanye kesehatan anti rokok pada kemasan rokok, namun di sisi lain, kebanyakan kebijakan pemerintah justru berorientasi pada sebesar-besar pendapatan negara walaupun harus mengorbankan kesehatan rakyatnya, izin produksi rokok misalnya. Ironis!

Berbicara masalah kebijakan kesehatan, ada beberapa UU yang mengatur tentang rokok, sebut saja UU Kesehatan No. 36/2009, UU Penyiaran No. 33/1999, UU Perlindungan Anak No. 23/2002, UU Psikotropika No. 5/1997 dan UU Cukai No. 39/2007. Prof. Farid A. Moeloek, (17/2/2010), mengatakan bahwa dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 disebutkan, nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. Sehingga, seharusnya rokok juga diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya, kalau narkoba tidak diiklankan, rokok juga harusnya tidak boleh. Jika narkoba tidak dibenarkan karena merusak kesehatan, maka rokokpun harusnya demikian. 

Kenaikan rokok menurut, Prof. Farid (17/2/2010), juga dianggap tidak akan berpengaruh. Pertama, karena rokok mengandung nikotin yang bersifat candu, jadi bagaimanapun juga orang akan terus mencari dan mencari rokok untuk memenuhi kebutuhannya. Kedua, grafik elastisitas rokok bersifat inelastis, jadi kenaikan harga rokok tidak akan terlalu mengurangi konsumsi rokok (Voa-islam.com, 20/02/2010).
Lagi-lagi, akar masalah soalan ‘racun’ rokok ini bersifat sistemik. Nugroho Kuncoro Yudho, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, dalam Kalteng Pos (11/06/2011) menilai pemerintah dari pusat hingga kabupaten/kota dapat dikatakan belum siap untuk melakukan perubahan radikal terhadap peredaran rokok. Instansi terkaitpun tidak mampu untuk mengatasi masalah rokok secara mandiri, dikarenakan masalah tersebut melibatkan sektor lain dan masyarakat.

Kacamata Islam

Para ulama sepakat bahwa hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-An’am: 145, surah al-Baqarah: 29, surah al-A’raaf: 32, dan masih banyak ayat lain yang memiliki pengertian senada. Sehingga, semua benda yang ada di alam ini telah ditetapkan kemubahannya oleh Allah SWT, kecuali benda-benda tertentu yang diharamkan-Nya. Tembakau dan cengkeh yang menjadi bahan utama pembuatan rokok pun dihukumi mubah.

Ini dari sisi status hukum bendanya. Adapun dari sisi hukum perbuatannya, yakni merokok, harus ada perincian lebih mendalam. Rokok menjadi haram bagi orang tertentu jika menimbulkan dharar (bahaya), sedang rokok itu sendiri tetap mubah bagi selain mereka. Dalilnya kaidah fiqih, setiap kasus dari sesuatu (benda/perbuatan) yang mubah, jika berbahaya atau mengantarkan pada bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan, sedangkan sesuatu itu tetap mubah (Taqiyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 3/457). 

Jika tidak sampai menimbulkan dharar, maka rokok tetap mubah. Namun lebih baik meninggalkan rokok. Sebab merokok (tadkhin) dalam kondisi memicu kematian atau meninggalkan yang wajib adalah tindakan menimbulkan bahaya pada diri sendiri yang hukumnya makruh. Dalilnya, Nabi SAW pernah ditanya tentang seorang lelaki yang bernadzar akan berdiri di terik matahari, dan tidak akan duduk, berbuka pada siang hari (berpuasa), berteduh, dan berbicara. Nabi SAW bersabda “Perintahkan ia untuk berteduh, berbicara, dan duduk, namun ia boleh menyempurnakan puasanya.” (HR Bukhari). Dalil ini menunjukkan larangan menimbulkan bahaya pada diri sendiri. Namun karena larangan ini tidak tegas (jazim), maka hukumnya makruh, bukan haram (M. Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah, 2/147).

Dalam sejarahnya, sistem pemerintahan Islam mulai mengenal rokok yang dibawa oleh pedagang Spanyol pada abad ke 10 hijriah. Awalnya, negara membolehkan untuk merokok, sebab pada saat itu rokok masih dikenal sebagai obat-obatan. Namun, seiring perkembangan zaman, teknologi Islam menemukan bahwa rokok memiliki kandungan yang dapat merusak organ tubuh manusia dan bisa mengakibatkan kematian jika digunakan terus menerus. Dari kenyataan mengenai bahaya rokok, beberapa ulama mengharamkannya. Bahkan, pada abad ke-12 Hijriyah, rokok sudah dilarang peredarannya oleh Khilafah Utsmani.

Sehingga, keberadaan rokok yang mengandung nikotin seharusnya dilarang. Tidak perlu ada solusi fiktif kenaikan harga rokok untuk menekan jumlah perokok, sebab bahaya rokok sudah menjadi ancaman nyata, baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif. Negara dituntut serius menjaga kesehatan masyarakat. Wallahu’alam bi ash-showab. [VM]

Posting Komentar untuk "Kenaikan Harga Rokok, 'Proyek' Solusi Fiktif "

close