Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mahasiswa Belum Merdeka ?


Oleh: Naraini Kh
(Alumni Mahasiswi FKIP Matematika UNEJ, Aktivis Muslimah HTI Jember)

Negeri ini masih dalam semarak merayakan kemerdekaannya. 71 tahun sudah  ‘Zamrud Khatulistiwa’ menapaki masa. Fenomena ini tak kalah meriahnya dengan aksi mahasiswa di berbagai daerah beberapa waktu lalu menanggapi kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan pemberlakuan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). Sejak ditetapkannya UU Pendidikan Tinggi (PT) 2012 pembiayaan PT adalah tanggung jawab masyarakat, industri, dan negara. Pada APBN 2015 Negara hanya memberi sedikit sumbangan untuk pembiayaan PT yaitu 4,1 Triliun. Kekurangan anggaran dalam proses berjalannya pendidikan  menjadi tanggung jawab Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi diminta kreatif sebagai badan usaha untuk menambah kebutuhan biaya pendidikan sendiri. Biaya kuliah di perguruan tinggi terus mengalami kenaikan. Bahkan yang terbaru, melalui kebijakan efisiensi anggaran belanja kementerian. Sebelumnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (AP¬BN) 2016 Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebesar Rp 40,6 triliun. Berdasarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2016 dan Surat Menkeu Nomor S-377/MK.02/2016, Kemenristekdikti perlu melakukan penghematan sebesar Rp 1,9 triliun. Inilah yang kemudian berimbas pada mahalnya biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa. 

Akar Masalah : Liberalisasi Pendidikan

Sebagaimana kita ketahui, sejak tahun 1995 Indonesia resmi menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral. Negara-negara anggota WTO diharuskan menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi, serta jasa-jasa lainnya. Masuknya sektor pendidikan dalam program jual-beli ala imperialisme ini bukan tanpa tujuan. Tujuannya adalah mendapat untung besar dari penjualan jasa pendidikan. Salah satu bukti keuntungan adanya liberalisasi perdagangan jasa khususnya di sektor pendidikan, yakni profit yang dihasilkan oleh AS pada tahun 2000 pasca GATS di tanda tangani mencapai $14 milyar pada tahun kurun 2000-2001  atau Rp 126 trilyun (kurs rupiah per dolarnya Rp 9500). Di Inggris pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sektor jasa negaranya. Sementara, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan Australia telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993.

Liberalisasi pendidikan akan berimplikasi pada pengaturan mengikuti mekanisme pasar. Liberalisasi pendidikan mengubah wajah perguruan tinggi dari lembaga pemerintah yang menyediakan pelayanan publik yang berorientasi pada peningkatan ilmu dan pendidikan rakyat menjadi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan bisnis. Intervensi dalam pengelolaan Pendidikan Tinggi telah memunculkan konsep penataan baru dalam PT yaitu Kurikulum Berbasis Ekonomi (KBE). Tak heran bila kini dirasakan dampaknya biaya kuliah semakin tinggi, orientasi riset dan teknologi cenderung kepada bisnis. Kurikulum yang disusun sangat berorientasi pada permintaan pasar, mengakibatkan struktur kurikulum dengan mudah diubah  menjadi lebih ‘bersahabat’ dengan kepentingan pasar. Buka tutup jurusan pun sudah umum dijumpai. Semangat otonomi yang ada dalam UU PT akhirnya melahirkan intelektual yang gemar mengerjakan proyek, tampil sebagai selebriti akademik, namun melupakan produksi pengetahuan di kampusnya. Intelektul kian pragmatis jauh dari sifat kritis dan idealis.

Tidak sedikit yang terkecoh dengan gagasan tata kelola yang liberalistik tersebut.  Yang demikian karena gagasan ini dipoles dengan prinsip-prinsip yang dipandang elegan.  Seperti efisiens, efektif, anti korupsi, birokrasi sederhana, transparansi, dan gagasan-gagasan serupa dari prinsip good governance. Yang bila diteliti secara seksama prinsip-prinsip tersebut hanyalah untung melanggengkan liberalisasi layanan publik dalam hal ini pendidikan tinggi dan tata kelolanya.  Dimana fungsi pemerintah dikebiri sebatas fasilitator dan regulator saja. Bukan hanya itu, bukan satu dua orang yang berpendapat bahwa mahalnya pendidikan tinggi (baca : liberalisasi) tidak menjadi masalah yang penting “kualitasnya”.  Asalkan “kualitas” yang ditawarkan sesuai dengan besarannya bayaran itu tidak menjadi masalah.  Ini adalah logika  dari benak-benak yang telah teracuni ide individualiastik, yang menyalahi ketentuan Islam. Lebih dari pada itu semua, tata kelola pendidikan tinggi yang baik tidak akan pernah terwujud selama komersialisasi menjadi jiwa tata kelola.  Bahkan inilah (liberalisasi, komersialisasi) yang menjadi sumber petaka pendidikan tinggi saat ini. Mulai dari biaya pendidikan tinggi sangat mahal, hingga disorientasi visi dan misi pendidikan tinggi. Jelas ini konsep tata kelola pendidikan tinggi yang menyalahi ketentuan Islam, disamping amat sangat membahayakan masa depan  generasi dan bangsa.

Negara Kapitalis Melepaskan Tanggung Jawab pada Rakyatnya

Liberalisasi  Pendidikan tentu tak lepas dari Sistem Kapitalisme yang saat  ini diterapkan. Selama negeri ini masih menerapkan sitem kapitalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Negara tidak akan pernah serius melayani kebutuhan rakyatnya termasuk pemenuhan kebutuhan akan pendidikan tinggi yang bermutu dan terjangkau bagi seluruh warga negaranya. Yang ada sebaliknya, Negara manapun yang mnerapkan system kapitalisme akan menitikberatkan pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya sekalipun harus menelantarkan rakyatnya. Sistem Kapitalisme akan melegalisasikan seluruh aktivitas bernuansa perdagangan yang menghasilkan keuntungan materi yang sebesar-besarnya, tidak terkecuali pendidikan tinggi sarat dengan liberalisasi dan  kapitalisasi. UU PT mencerminkan pelepasan tanggung jawab negara dalam hal pembiayaan perguruan tinggi. Beberapa pasal tersebut secara implisit menyatakan bahwa ‘pemerintah mengatur teknis pengelolaan pendidikan tinggi, tetapi menyerahkan dana pendidikan kepada mahasiswa, masyarakat, atau dunia usaha. Dalam konteks pembebanan tanggung jawab kepada mahasiswa, UU Pendidikan Tinggi berpotensi menutup akses mereka yang tidak mampu untuk masuk ke perguruan tinggi.’Inilah watak asli Kapitalisme. Pendidikan tinggi menjelma menjadi komoditas yang diperjual belikan di masyarakat dan mahasiswa diposisikan sebagai customer.

Tak Merdeka dari Penjajahan Gaya Baru (Neo-Imperialisme)

Menilik makna MERDEKA menurut KBBI berarti bebas dari penghambaan dan penjajahan,berdiri sendiri dan tidak terikat pada pihak tertentu. Jelaslah bahwa saat ini Mahasiswa belum merdeka dari mahalnya biaya kuliah. Ini tidak telepas dari intervensi asing terhadap negara kita dalam pengelolaan pendidikan tinggi yang sejatinya bentuk penjajahan gaya baru (Neo-Imperialisme). Seluruh intervensi kebijakan dalam mengelola pendidikan yang dilakukan oleh negara ini tak lain karena lemahnya visi Negara. Visi Negara yang lemah dalam menentukan nasibnya sendiri menjadi lahan bagi pihak lain untuk mengintervensi sektor strategis yang ada. Sektor pendidikan merupakan sektor strategis Negara selain sektor ekonomi dan politik. Selama Negara belum memiliki visi yang kuat dan  mandiri dalam menentukan arah pandangnya selama itu pula kebijakan yang ada akan terus terikat dengan kepentingan dari pihak lain yang memanfaatkannya (baca : penjajahan). Realitas intervensi asing terhadap sistem pendidikan di Indonesia tidak lain merupakan upaya penyempurnaan penjajahan mereka di negeri ini. Sektor ekonomi, pendidikan, dan politik merupakan sektor vital bagi suatu negara. Apabila ketiga sektor itu telah dikuasai maka secara de facto sebenarnya negara tersebut telah terjajah. 

MERDEKA dengan Tata Kelola Islam dalam Khilafah

“Ilmu ibarat air. Manusia tanpa air tidak bisa melanjutkan kehidupan. sehingga ilmu dalam pandangan Islam adalah suatu hal yang sangat penting”. Sehingga dari sini, menjadi tanggung jawab suatu negara untuk memudahkan rakyatnya dalam memperoleh pendidikan. 

Penyelesaian problem pendidikan yang mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan mengubah paradigma negara dengan merombak sistemnya, sehingga seluruh rakyat akan dapat menikmati pendidikan di Indonesia dengan murah, bermutu tinggi, dan islami sebagai bagian dari public service semata yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Selama sistem-sistem  yang berkaitan dengan pendidikan, seperti sistem ekonomi dan politik masih bersifat kapitalistik dan tidak sesuai dengan Islam, maka mustahil akan mewujudkan pendidikan yang bebas biaya dan berkualitas. Sistem yang menetapkan pendidikan sebagai kebutuhan primer public secara gratis dijamin Negara dan berkualitas dengan sinergi sistem politik dan ekonominya adalah sistem kenegaraan Islam, yaitu Khilafah Islam.

”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala.  Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari). 

Sumber Pembiayaan Pendidikan dalam Islam berasal dari Departemen Keuangan Negara, yaitu Baitul Mal. Dan sumber-sumber keuangan Baitul Mal antara lain: Pertama, Harta milik negara yang berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kedua, pengelolaan negara atas kepemilikan umum seperti Sumber Daya Alam yang menjadi milik umum; barang tambang: minyak bumi, emas, perak, besi, batu bara dan lain-lain. Ketiga, Anfal, Ghanimah, Fai, Khumus Kharaj, Jizyah dan Usyur. Keempat, Infak, Shodaqoh, Wakaf, zakat dan harta yang tidak ada ahli warisnya. Kelima, Penyitaan harta para koruptor serta harta yang diperoleh oleh pegawai negara dari tindakan curang yang lain. Keenam, Pajak. Ini merupakan pemasukan Negara dan dipungut pada saat Baitul Mal kekurangan dana dan hanya diwajibkan kepada warga negara yang kaya. 

Sebenarnya Indonesia bisa menyelenggarakan pendidikan bebas biaya dan berkualitas, karena sumber- daya alam Indonesia yang kaya raya. Dari hasil tambang emas saja rata-rata produksi pertahun 126,60 ton. Jika harga satu gram emas Rp 200.000, maka pendapatan Negara dari emas saja sudah 253,2 trilyun pertahun. Menurut S. Damanhuri dari sektor kelautan saja dihasilkan US$ 82 milyar. Jika 1 US$ = Rp.10.000, maka hasilnya Rp 820 trilyun. Namun  sayang, akibat tata kelola yang salah ala Sistem Kapitalisme ,semua kekayaan itu  ‘digondol’ asing. Saatnya beralih pada pengaturan Islam (Khilafah). Mencetak missal SDM berkepribadian islami dan berkualitas unggul yang memiliki daya saing internasional yang akan mampu mengangkat bangsa dan negara ini dari berbagai keterpurukan sehingga benar-benar merdeka. 

Saatnya Mahasiswa Bergerak, Lawan Penindasan, Wujudkan Kemerdekaan Hakiki dengan Islam !

Wallahu ‘alam bi ash-shawwab. [VM]

Posting Komentar untuk "Mahasiswa Belum Merdeka ?"

close