Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menutup Agustus Dengan Tanda Tanya: Pantaskah Indonesia Menyandang Status “Merdeka”?


Oleh: Ulfiatul Khomariah
(Mahasiswi S1 Sastra Indonesia FIB Universitas Jember)

Tak terasa sudah 71 tahun Indonesia menyandang status “Merdeka”. Berbagai macam kegiatan menyambut hari kemerdekaan tersusun sedemikian rupa, mulai dari upacara kemerdekaan, lomba-lomba, karnaval, dan berbagai pementasan lainnya. Rakyat pun begitu antusias untuk ikut serta memeriahkan kemerdekaan dan berlomba-lomba menampilkan penampilan terbaiknya. Namun terdapat suatu pertanyaan di benak kita. Pantaskah negeri ini dikatakan “Merdeka”?

Sebuah negara dikatakan merdeka apabila negaranya berdaulat. Pertanyaannya apakah Indonesia sudah berdaulat? Disinyalir hampir seluruh undang-undang yang disahkan DPR adalah pesanan asing, misal UU Pengampunan Pajak No. 11 tahun 2016, UU BUMN No. 19 tahun 2013, UU Penanaman Modal Asing No. 25 tahun 2007, UU Sumber Daya Air No. 07 tahun 2004, UU Perikanan No. 31 Tahun 2003, UU Kelistrikan No. 22 tahun 2000, UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, UU Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012 dll. Semua UU tersebut merupakan stimulus untuk memudahkan bangsa asing menjajah negeri ini. Berbagai bidang diliberalisasi; subsidi BBM dan listrik dicabut, maka wajar harganya terus meningkat. Biaya pendidikan mahal, Pungutan Pajak bertambah dan masih banyak kebijakan lainnya. 

Jika sebuah negara dikatakan merdeka apabila didalamnya tidak ada lagi sistem kerja paksa. Faktanya, banyak masyarakat negeri ini yang menjadi tumbal sistem kapitalisme. Mereka bekerja untuk perusahaan asing dengan gaji yang sangat murah. Padahal jika kita mau berkaca pada negeri ini, Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Namun permasalahannya, kemana saja kekayaan kita yang melimpah itu? Sumberdaya alam dan kekayaan negeri ini lebih banyak dikuasai oleh swasta asing. Pengerukan kekayaan negeri demi kemakmuran asing yang dijalankan oleh banyak perusahaan asing pun tidak jauh berbeda dengan zaman VOC dulu. Yang paling baru, PT Freeport yang telah mengeruk kekayaan emas di bumi Papua diberi perpanjangan ijin mengekspor konsentrat tembaga sebanyak 775 ribu ton. 

Negeri ini pun masih memiliki banyak ketergantungan terhadap pihak asing dalam berbagai aspek. Bukan hanya dicengkeram oleh perusahaan-perusahaan asing, namun para pengambil kebijakan pun merupakan titipan asing. Contoh konkritnya adalah Arcandra Tahar, warga negara AS, yang diangkat menjadi Menteri ESDM oleh presiden Jokowi. Meskipun presiden Jokowi telah mencopot Arcandra sebagai menteri, namun pengangkatannya menjadi menteri jelas mengisyaratkan adanya kepentingan asing untuk mengamankan aset-aset strategisnya di negeri ini. Semua itu adalah bukti nyata, kemerdekaan yang dirasakan oleh penduduk negeri ini hanya bersifat ilusi. Lalu masih pantaskah negeri ini dikatakan “Merdeka”?

Kita Belum Merdeka

Setelah menilik banyaknya fakta yang ada di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa ternyata kita masih belum merdeka. Memang, kita sudah terbebas dari yang namanya penjajahan fisik, namun sesungguhnya kita masuk dalam perangkap penjajahan gaya baru, yakni penjajahan neoimperialisme. 

Penjajahan (imperialisme) adalah politik untuk menguasai wilayah lain demi kepentingan pihak yang menguasai. Penjajahan gaya lama dilakukan dengan kekuatan militer, mengambil-alih dan menduduki satu wilayah serta membentuk pemerintahan kolonial di negara/wilayah jajahan. Namun, cara ini secara umum sudah ditinggalkan karena membangkitkan perlawanan dari penduduk wilayah yang dijajah, yang merasakan langsung penjajahan secara nyata. Karena itu penjajahan akhirnya dilakukan dengan gaya baru yang tak mudah dirasakan oleh pihak terjajah, yaitu melalui kontrol serta menanamkan pengaruh ekonomi, politik, pemikiran, budaya, hukum dan hankam atas wilayah yang dijajah. Namun, tujuan akhirnya sama, yaitu mengalirkan kekayaan wilayah itu ke negara penjajah. Negeri ini perlu diselematkan, dikeluarkan dari kungkungan dan jeratan penjajahan kapitalisme-demokrasi.

Raih Kemerdekaan Hakiki 

Suatu negara bisa dikatakan merdeka secara hakiki apabila kemerdekaan tersebut terjadi secara menyeluruh dalam semua pilar-pilarnya. Kemerdekaan tersebut bukan hanya dalam konteks negara semata tetapi juga individu dan masyarakat yang menjadi pengisi sebuah Negara. Kemerdekaan hakiki adalah saat manusia bebas dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi dan penghambaan kepada sesama manusia. 

Mewujudkan kemerdekaan hakiki merupakan misi dari Islam. Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk menghilangkan segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman dan penghambaan terhadap manusia oleh manusia lainnya secara umum. Yunus bin Bukair ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Najran, di antara isinya:

Amma ba’du. Aku menyeru kalian ke penghambaan kepada Allah dari penghambaan kepada hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian ke kekuasaan (wilayah) Allah dari kekuasaan hamba (manusia) … (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut).

Misi mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum dengan Mughirah bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Rab’iy bin ‘Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash) yang diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rab’iy bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’iy bin menjawab:

“Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah, dari kesempitan dunia menuju kelapangannya dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam….” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Muluk, ii/401, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut). 

Di antara modus penghambaan kepada sesama manusia itu adalah melalui aturan hukum dan perundang-undangan buatan manusia, sesuai doktrin demokrasi. Apalagi aturan hukum dan perundang-undangan itu diimpor dari pihak asing/penjajah, seperti yang terjadi pada banyak bangsa terjajah, termasuk yang terjadi pada Indonesia.

Dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah yaitu dengan tauhid akan membebaskan manusia dari penghambaan ala demokrasi. Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kecuali penghambaan hanya kepada Allah SWT. Islam datang untuk menyelamatkan manusia dari kesempitan dunia akibat penerapan aturan buatan manusia menuju kelapangan dunia. Islam juga datang untuk membebaskan manusia dari kezaliman agama-agama dan sistem-sistem selain Islam menuju keadilan Islam. Hal itu diwujudkan oleh Islam dengan membawa ajaran tauhid yang meniscayakan bahwa pengaturan kehidupan manusia haruslah dengan hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT, Zat Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.

Semua itu akan menjadi nyata di tengah kehidupan dan bisa dirasakan oleh masyarakat ketika ajaran tauhid, hukum dan perundang-undangan yang dibawa oleh Islam itu diambil dan diterapkan untuk mengatur semua urusan kehidupan. Tanpa itu maka kemerdekaan hakiki, kelapangan dunia dan keadilan Islam tidak akan terwujud. Selama aturan, hukum dan sistem buatan manusia yang bersumber dari akal dan hawa nafsunya terus diterapkan dan dipertahankan maka selama itu pula akan terus terjadi penjajahan, kesempitan dunia dan kezaliman. Maka dari itu kita harus bersungguh-sungguh untuk menerapkan aturan dan hukum Allah SWT, yakni dengan syariah Islam, untuk mengatur segala urusan kehidupan di masyarakat. Semua itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti metode kenabian. Dengan itu maka kemerdekaan hakiki bisa diwujudkan, kelapangan dunia bisa dirasakan oleh seluruh rakyat dan keadilan bisa dinikmati oleh siapa saja. Hal itu pasti terwujud karena merupakan janji Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah saw. Karenanya wajib dan butuh  menerapkan Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah sesuai metode kenabian. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [VM]

Posting Komentar untuk "Menutup Agustus Dengan Tanda Tanya: Pantaskah Indonesia Menyandang Status “Merdeka”?"

close