Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Radikal dan Proyek Deradikalisasi


Oleh : Ainun Dawaun Nufus 
(Pengamat Sosial dan Politik)

Membaca atau mendengar istilah radikal, oleh media-media mainstream langsung merujuk visualisasi apa? Ya, anda benar, visualisasi media-media tersebut dialamatkan kepada aktivis ataupun gerakan Islam yang menganjurkan kekerasan. Radikal dan teroris sebagai alat propaganda yang digunakan oleh musuh-musuh Islam kepada kelompok atau negara yang berseberangan dengan  ideologi dan kepentingan Barat. 

Islam radikal kemudian digunakan secara sistematis terhadap pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi), yang ingin memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kaffah, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat. Semua ini akan disebut sebagai faham atau sikap yang radikal, dan khusus di Indonesia akan disebut faham atau sikap yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI.

Barat merekayasa, lalu Opini telah terbentuk, akhirnya Radikalisme selalu merujuk pada konotasi Islam dan muslim. Karena kata Barat ‘radikal’ itu bahaya, berarti harus di-deradikalisasi. Sekelumit contoh strategi  kontra-radikalisasi Pemerintah Inggris menargetkan umat Islam yang memiliki jenggot akan dicap sebagai teroris. Sekaligus untuk menekan gerakan anti-penghematan dan kampanye lingkungan, kata ratusan akademisi dalam sebuah surat terbuka kepada The Independent. Kewenangan yang dibawa Undang-undang Counter-Terorisme dan Keamanan memberikan wewenang pada guru, pekerja sosial, petugas penjara dan manajer NHS untuk melaporkan tanda-tanda adanya radikalisasi yang luas. Mereka yang diduga ekstrimis akan dikirim pada program deradikalisasi, sedangkan seluruh sistem harus diawasi oleh pengawas pemerintah.

Seperti yang dinyatakan Edward Said dalam Covering Islam (1997): pada sebagian besar abad pertengahan dan awal kebangkitan Renaissance di Eropa, Islam diyakini sebagai agama setan,  murtad, penghujatan dan ketidakjelasan. “… Muhammad adalah seorang nabi palsu, penabur perselisihan, sosok yang mementingkan kesenangan fisik, munafik, dan agen setan”.

Upaya demonisasi ini tidak berhenti hingga sekarang.  Dalam rekomendasi yang dikeluarkan Cheryl Benard (the Rand Corporation)  disebutkan ada beberapa ide  yang harus terus menerus diangkat untuk  menjelekkan citra Islam : perihal demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, minoritas, pakaian wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri.

Penting untuk dicatat, salah satu tujuan utama orientalisme adalah menghancurkan kekhilafahan Islam lewat perang pemikiran dan budaya setelah mereka gagal dalam perang fisik. Cara yang sama mereka lakukan sekarang ini untuk membendung tegaknya kembali Khilafah Islam yang akan menerapkan seluruh syariah Islam. Program terkini mereka adalah deradikalisasi yang merupakan bagian dari paket War on Terrorism.

Dalam program ini yang disebut radikal adalah mereka yang menyerukan syariah, khilafah, jihad fi sabilillah, anti penjajahan Barat, dan yang menginginkan diusirnya Zionis Yahudi dari Palestina. Deradikalisasi artinya menghilangkan pemikiran Islam tersebut dari kaum Muslim dan melakukan kriminalisasi terhadap pemikiran itu dengan mengaitkan dengan teroris. Mereka tak peduli meski banyak kelompok Islam yang memperjuang khilafah justru menegaskan jalan perjuangannya tanpa kekerasaan dan tidak angkat senjata seperti Hizbut Tahrir.

Semua ini adalah program terencana negara-negara Barat yang didukung, difasilitasi, oleh pemerintah mereka. Maka tidak mengherankan kalau Hillary Clinton menyatakan sulit untuk mencegah penghinaan terhadap Rasulullah dengan alasan kebebasan berpendapat yang dilindungi dalam konsititusi Amerika. Tujuannya sama dengan orientalisme, menyerang Islam untuk mengokohkan penjajahan Barat terhadap dunia Islam.

Sekali lagi dalam konteks isu terorisme, radikal pemaknaannya sangat stereotip, over simplikasi dan subjektif. Label radikal kini di lekatkan kepada individu atau kelompok Muslim yang memiliki cara padang serta sikap keberagamaan dan politik yang kontradiksi dengan mainstream (arus utama). Dengan katagorisasi sebagai alat identifikasi, “radikal” adalah orang atau kelompok yang memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya, mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi syariah dalam negara, menggangap Amerika Serikat sebagai biang kezaliman global.

Secara obyektif realitas empiris “terorisme”  bukan peristiwa yang muncul tanpa sebab akibat, juga bukan istilah yang steril dari kepentingan politik. “Terorisme” di Indonesia juga fenomena turunan yang muncul karena faktor yang komplek baik dilevel global maupun domestik. Tidak mudah membuat kesimpulan linear  radikalisme selalu menghadirkan kekerasan bahkan tindak terorisme. Radikalisme sendiri beragam wajah, bisa dalam bentuk pemikiran dan konsep atau radikal dalam bentuk tindakan. Dan radikalisme pemikiran tidak selalu korelatif dengan tindakan radikal. Pada titik ini, tidak fair rasanya jika tindakan kekerasan atau teror selalu di kaitan dengan  radikalisme agama.

Dalam buku terbitan Setara Insitute berjudul ‘Dari Radikalisme Menuju Terorisme’ (2012) disimpulkan bahwa “kinerja deradikalisasi yang selama ini hanya diperuntukan bagi eks teroris, harus juga diarahkan pada kelompok-kelompok radikal, karena pembiaran terhadapnya sama artinya memfasilitasi inkubasi kelompok radikal menjadi teroris.”

 Nah, yang dimaksud kelompok radikal ini adalah radikal versi Setara Institute. Menurut lembaga ini, radikal dicirikan dengan: tidak mau bertetangga dengan beda agama, tidak setuju menikah beda agama, tidak setuju anggota keluarga pindah agama, menolak orang tidak beragama, tidak menerima rumah ibadah agama lain di lingkungannya, menolak ada agama lain di luar enam agama resmi, anti Ahmadiyah, ingin menerapkan syariat Islam, setuju hukum rajam, setuju khilafah, serta menolak demokrasi.

Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Leader CIIA-The Community Of Ideological Islamic Analyst) menyatakan BNPT dengan proyek-proyeknya mencoba mendekonstruksi istilah-istilah yang sudah baku dalam syariat Islam. Lembaga ini selalu memunculkan ‘ijtihad-ijtihad’ baru terhadap istilah:  jihad/istishad/ightiyalat dan intihar; klaim kebenaran; amar ma’ruf nahyi munkar; hijrah; thagut; Muslim dan kafir; ummatan washatha; tasamuh; dan Daulah Islam dan Khilafah. “Inilah yang disebut dengan kalimatul haq iroda bihal baatil, kalimat yang benar tapi yang diinginkan adalah kebatilan.

Ketika BNPT mendedah akar (hulu) dari terorisme telah menempatkan ideologi radikal (kelompok radikal Islamis) sebagai penyebab utama (akar) suburnya tindakan dan fenomena terorisme. Ini cara pandang yang sangat over simplikasi, terlalu menyederhanakan masalah. Seolah-olah memang benar adanya, bahwa ideologi radikal (atau kelompok Islamis) adalah embrio terorisme di negeri ini. Padahal jika kita mau jujur dan obyektif ada faktor-faktor lain yang actual dan bahkan kita menemukan benang merahnya (relasi positif) dengan fenomena “terorisme”. Faktor tersebut adalah; kemiskinan (ekonomi), keterbelakangan (pendidikan), marginalisasi, sikap rezim demokrasi yang represif dan abai terhadap urusan rakyat, globalisasi, ketidakadilan dan yang terakhir adalah faktor imperialisme dan dominasi negara Amerika Serikat cs. Ini adalah hal aktual yang menjadi faktor stimulus lahirnya fenomena “terorisme” baik dalam skala global maupun domestik/lokal. Disamping itu juga ada faktor yang tidak boleh diabaikan begitu saja yakni adanya kemungkinan peran dan operasi intelijan lokal maupun asing sebagai “produsen” dari fenomena terorisme lokal.

Selanjutnya BNPT membuat indikator radikal jika seseorang atau kelompok punya mindset antara lain seperti berikut:
  1. Menghakimi orang yang tidak sepadan dengan pemikirannya;kafir,
  2. Mengatasnamakan Tuhan, menghukum keyakinan yang berbeda; (Syafee Maarif – Ilusi Negara Tuhan),
  3. Gerakan mengubah negara bangsa, menjadi negara agama,
  4. Mengganti ideologi pancasila dengan Islam versi mereka,
  5. Mengganti NKRI dengan Khilafah.
  6. Klaim memahami kitab suci, karena berhak menjadi wakil Allah untuk memaki siapapun,
  7. Agama diubah jadi ideologi dan jadi senjata publik untuk serang padangan politik yang berbeda dari mereka (Gusdur – Ilusi Negara Islam).
  8. Memperjuangkan formalisasi syariah dalam Negara,
  9. Menganggap Amerika Serikat sebagai biang kezaliman global.Dan indikator-indikator ini sangat subyektif dan tendensius, akhirnya wajar kalau melahirkan banyak tanda tanya tentang apa motif sebenarnya dengan proyek deradikalisasi?.

Ini jelas kesalahan paradigmatik yang fatal dan disengaja.Dan karena “kesengajaan” itu akhirnya wajar melahirkan tafsiran bahwa proyek kontra-terorisme tidak lagi sekedar diarahkan terhadap individu atau kelompok yang disangka teroris dengan pendekatan hard power tapi juga akan diarahkan keranah pemikiran dan konsep terhadap siapapun yang bisa dicap radikal berdasarkan indikator yang secara gegabah juga telah di buat oleh BNPT.

Dalam berbagai forum yang digelar, BNPT berusahan menawarkan tafsiran-tafsiran baru terhadap teks-teks samawi. Karena selama ini pemahaman yang dianggap radikal terhadap teks-teks (nash) menjadi sumber lahirnya terorisme. Karena itu BNPT dalam perang pemikiran dan opini berusaha “mengkonstruksi” ulang beberapa pengertian terhadap terminologi-terminologi tertentu. Misalkan BNPT selalu menampilkan “ijtihad-ijtihad” baru terhadap istilah:
  1. Jihad/istishad/ightiyalat dan intihar,
  2. Klaim kebenaran,
  3. Amar ma’ruf nahyi munkar,
  4. Hijrah,
  5. Thagut,
  6. Muslim dan kafir,
  7. Ummatan washat,
  8. Doktrin konspirasi,
  9. Tasamuh,
  10. Daulah Islam dan Khilafah.

Misalkan masalah “jihad”; BNPT berusaha menampilkan tafsiran yang menyempitkan makna jihad. Dan berusaha mengaborsi dengan argumentasi yang “lacut” bahwa jihad tidak lagi harus di maknai sebagai “al Qital”. Maka hakikatnya ini bukanlah “ijtihad” melainkan dekonstruksi terminologi yang telah baku ditentukan oleh syariat. Tampak sekali, jihad menjadi momok dan seolah menjadi perkara yang harus di aborsi pada diri umat Islam.Demikian juga pada istilah lainya, bahkan cenderung melakukan monsterisasi dan mengkriminalisasi istilah-istilah daulah Islam dan Khilafah. Dibangun persepsi seolah menjadi suatu istilah secara politik perkara yang tidak menguntungkan bagi umat dan kalau perlu harus dibuang jauh-jauh dari benak umat Islam.

Maka ini adalah bentuk tahrif (penyimpangan) dan tadzlil (penyesatan) terhadap publik khususnya umat Islam. Jika BNPT mengkampanyekan “Isalam Rahmatan Lil ‘Alamin” dalam berbagai kesempatan, sejauh ini tidak bisa menjelaskan apa yang dimaksudkan Islam versi BNPT tersebut.

Wajar jika umat Islam mempersoalkan bahkan menolak proyek deradikalisasi sebagai sesuatu yang beralasan. Apalagi kemungkinan dampak yang ditimbulkan seperti;
  1. Melupakan akar/hulu terorisme yang hakiki,
  2. Melahirkan tafsiran menyimpang terhadap nash-nash syariah,
  3. Membuat polarisasi umat Islam (perpecahan),
  4. Menghambat kebangkitan Islam,
  5. Langgengnya Imperialisme Barat atas nama/kedok GWOT, HAM, Demokrasi, Pasar Bebas dan perubahan Iklim,
  6. Umat Islam meninggalkan Agamanya sebagai sistem kehidupan.Ini bukanlah maslahat namun sebaliknya sesuatu yang dzarar bagi Islam dan umatnya.

Program ini pada akhirnya akan melahirkan bahaya (dzarar) lebih besar berupa tetap tegaknya sistem sekular dan langgengnya imperialisme Barat di negeri Indonesia atas nama GWOT, HAM, Demokrasi, Pasar bebas, dan perubahan iklim. Di bawah sistem sekular, umat Islam hidup dalam kehidupan yang sempit, jauh dari kebahagiaan lahir batin, dan jatuh dalam peradaban materialisme dan kerusakan moral yang luar biasa. Dan yang paling dasyat adalah di hadapan Allah SWT termasuk golongan orang-orang yang nista. [VM]

Posting Komentar untuk "Radikal dan Proyek Deradikalisasi"

close