Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukan Sekedar Memilih Pemimpin Muslim, Lalu Selesai Urusan…


Oleh : Ainun Dawaun Nufus 
(MHTI Kab. Kediri)

Dalam agenda Mudzakarah Ulama dan Tokoh Nasional di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta pada Rabu (14/9/2016), Mantan Ketua MPR, Amien Rais mengingatkan bahwa apa yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah konspirasi politik uang, dengan skala yang mencengangkan. Menurutnya, konspirasi politik uang itu mampu menundukkan berbagai kepentingan. Namun, ia yakin semua itu masih dapat dikalahkan dengan ikhtiar bersama dan memohon pertolongan Allah SWT.

Masalahnya genting muncul ketika umat Islam tidak diatur oleh syariah Islam, demokrasi sebagai sistem yang anti penerapan hukum Islam selalu berpihak pada kapitalis seraya mencekik rakyat. Dalam kancah politik, demokrasi menyediakan ruang-ruang intrik, ruang-ruang saling mengawasi jadikan sebagai lahan mencari kesempatan untuk menggarong uang negara. Sedangkan DPR dan pemerintah kurang lebih representasi partai politik, bukan representasi rakyat. Partai politiknya sendiri sulit dikatakan representasi rakyat tetapi bisa menjadi representasi individu, saudagar, pedagang, taipan.

Publik telah terbiasa dengan berita-berita maupun opini tentang perang dingin antar menteri, antara KPK vs Polri,  maupun antar lembaga Negara lainnya yang sesungguhnya adalah bukti kebobrokan sistem Demokrasi. Dalam sistem yang mendewakan suara manusia maka hukum pun dengan mudah dipermainkan oleh kepentingan Politik Pragmatis dan Kekuasaan. Kesimpulan ini terlihat jelas dari kenyataan bahwa perseteruan yang terjadi menunjukkan adanya upaya saling sandera antar parpol, antar lembaga, maupun drama melalui pengungkapan ‘kasus lama’ yang diangkat ke permukaan pada saat diperlukan. Dengan kata lain nampak ada kesengajaan pengungkapan suatu kasus yang dipilih karena dapat dimanfaatkan untuk menyerang seterunya.

Benar, adanya negara yang melayani urusan rakyat dengan baik dan adil merupakan masalah vital dalam kehidupan umat manusia. Karenanya, masalah ini dianggap sebagai masalah yang sudah dimaklumi urgensinya dalam Islam, atau yang biasa disebut Ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-dharûrah.

Dalam pandangan Imam al-Ghazâli, negara itu berfungsi sebagai penjaga agama (hâris). Meski, sebenarnya negara bukan hanya berfungsi sebagai penjaga, tetapi lebih dari itu. Karena negara juga berfungsi untuk menerapkan hukum syariah, menjaga dan mengembannya kepada umat lain. Karena itu, negara merupakan metode baku dalam Islam untuk menerapkan, menjaga dan mengemban hukum syariah.

Ini tentang esensi negara, fungsi dan kedudukannya dalam Islam, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Islam, bahkan menjadi satu-satunya metode baku dalam menerapkan, menjaga dan mengemban Islam. Inilah Khilafah Islam. Karena itu, hukum menegakkan Khilafah, ketika tidak ada, wajib bagi umat Islam. Sebab, tanpa Khilafah ini mustahil Islam bisa diterapkan, dijaga dan diemban ke seluruh dunia.

Perintah untuk mentaati penguasa yang menerapkan hukum Allah di antara kalian juga merupakan perintah untuk mengangkatnya, jika penguasa tersebut tidak ada. Sebab, Allah SWT tidak akan mungkin memerintahkan sesuatu yang tidak ada. Allah SWT juga tidak akan memerintahkan wajibnya mentaati sesuatu yang adanya tidak wajib. Ini menjadi bukti, bahwa adanya uli al-amr (penguasa) yang menerapkan hukum Allah ini adalah wajib.

Sesungguhnya perubahan mendasar tidak akan lahir dari pemilu dalam demokrasi. Pertama, karena sistem demokrasi memiliki mekanisme untuk menjaga eksistensinya; Kedua, sistem demokrasi akan memaksa siapapun yang masuk untuk mengikuti mekanisme yang mereka tetapkan; Ketiga, pemilu hanya mekanisme memilih orang/person tidak memberikan ruang bagi perubahan sistem; Keempat, partai hanya memobilisasi orang untuk melakukan pencoblosan, bukan mengubah paradigma berpikir masyarakat; Kelima, parpol dipaksa untuk hanya melakukan perbaikan (ishlah) menuju demokrasi yang menyeluruh, bukan perubahan total (taghyir); dan Keenam, pemilu sangat mungkin menempatkan aktivis muslim menjadi penguasa, tetapi tidak untuk menerapkan Islam secara kaffah. 

Memang, baik dalam Islam maupun demokrasi, rakyatlah yang memilih kepala negara. Namun, syarat kepala negara dalam sistem demokrasi dan Islam berbeda. Dalam Islam, misalnya, di antara syarat kepala negara adalah wajib beragama Islam dan laki-laki. Sistem demokrasi tentu tidak mensyaratkan hal itu. Dalam demokrasi, pemimpin dipilih secara rutin lewat Pemilu reguler. Sebaliknya, dalam Islam, selama pemimpin (khalifah) masih memenuhi syarat in’iqâd (pengangkatan) yang hukumnya wajib, juga selama tidak melakukan penyimpangan dalam bentuk kufr[an] bawah[an] (kekufuran yang nyata), ia tidak boleh diganti. Dalam Islam terdapat kewajiban untuk menaati pemimpin selama dia tidak menyimpang dari hukum syariah.

Syura dalam sistem Islam juga berbeda dengan demokrasi. Kata Syaikh Abdul Qadim Zallum (1990), “Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang dan sistem (pemerintahan).” 

Atas dasar itu, maka perbedaan mendasar pemilu dalam sistem demokrasi dan pemilu dalam sistem Islam adalah, bahwa pemilu dalam sistem demokrasi bertujuan untuk melaksanakan legislasi dan itu merupakan perkara yang diharamkan oleh Allah SWT terhadap manusia.  Sedangkan pemilu dalam sistem Islam adalah sebagai representasi, dimana umat memberikan kekuasaan (kepala negara) kepada orang yang mereka pilih untuk mengurusi urusan mereka, atau dengan pemilu itu umat mewakilkan kepada orang yang akan mewakilinya dalam mengoreksi dan menyampaikan pendapat.

Jelas, dilihat dari sejarah kemunculan sistem demokrasi yang berasal dari Barat, prinsip pokok, berikut mekanisme yang ada di dalamnya, demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam. Sistem ini bahkan bertentangan 100 persen dengan sistem Islam. Sistem ini tidak lain merupakan sistem kufur. 

Karena sebab sistem demokrasi-lah yang memberikan ruang bagi orang kafir dan zhalim menguasai orang muslim baik secara individual maupun sistem. Maka, jika umat tidak ingin dikuasai orang kafir atau zhalim, jangan lagi gunakan demokrasi. [VM]

Posting Komentar untuk "Bukan Sekedar Memilih Pemimpin Muslim, Lalu Selesai Urusan… "

close