Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Full Day School, Antara Wacana dan Realita


Oleh : Rianny Puspitasari, S.Pd., M.Pd.
(Dosen STBA Sebelas April Sumedang)

Wacana Full Day School yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan hasil Resshufle Muhadjir Efendi beberapa waktu lalu, masih menjadi kontroversi.  Ada yang setuju, namun tidak sedikit juga yang menentang.  Bahkan ada pihak yang tidak sepakat dengan calon kebijakan ini, begitu massive menyuarakan ketidaksetujuan mereka.  Meskipun demikian, Mendikbud pengganti Anies Baswedan ini tetap giat dengan meluruskan wacana ini sebagai kegiatan kokurikuler, bukan Full Day School yang ada di benak masyarakat kebanyakan saat ini.  

Full Day School yang sedang ramai diperbincangkan ini adalah rencana kebijakan untuk sekolah tingkat dasar dan menengah dimana seluruh siswa pada tingkatan ini, semuanya akan masuk sekolah pagi hari dan pulang pada pukul 17.00 sore, baik negeri maupun swasta, di kota maupun di desa.  Bagi pihak yang menyambut baik wacana ini, mereka melihat adanya nilai positif pengawasan anak oleh sekolah sehingga bisa meminimalisir perilaku menyimpang anak yang kurang pengawasan dari orang tua.  Sedangkan pihak yang tidak sepakat dengan rencana kebijakan ini berpendapat bahwa ‘sekolah seharian penuh’ akan memasung hak anak untuk bermain dan beraktivitas di lingkungan sekitarnya (di luar sekolah), sehingga hanya akan mengorbankan kebebasan anak didik generasi bangsa.

Mencermati Rencana Full Day School

Sebenarnya, dilihat dari kacamata kedua belah pihak, tentu pada dasarnya semua ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita, pemegang estafet penerus bangsa ini.  Wacana Full Day School muncul dari Mendikbud sebagai bentuk keprihatinannya terhadap semakin meluasnya perilaku menyimpang anak dan merosotnya akhlak serta karakter yang seharusnya dimiliki oleh seorang anak hasil dari pendidikan yang berkualitas.  Namun, ada banyak hal yang perlu kita cermati sebelum kebijakan itu diterapkan.  

Menyoroti solusi yang ditawarkan oleh Muhadjir Efendi ini, kita harus melihat dahulu latar belakang dari digelontorkannya rencana kebijakan ini.  Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Mendikbud yang baru hitungan bulan menjabat ini.  Pertama, pengawasan anak akan lebih aman diserahkan pada sekolah ketika orang tua sibuk bekerja dan pulang pada sore hari.  Hal ini akan mengurangi sikap liar anak di luar sekolah sembari membangun karakter anak lebih optimal oleh guru di sekolahnya.  Pertimbangan kedua adalah agar anak-anak tidak terjebak dengan mengikuti pengajian sesat yang dikhawatirkan akan menjerat siswa menengah yang cenderung masih labil.  Pertimbangan-pertimbangan di atas tentu kita hargai sebagai bentuk kepedulian dari Bapak Mendikbud negeri ini, namun ada beberapa hal juga yang perlu menjadi sorotan agar kita tidak pragmatis dalam menilai suatu masalah dan mencari solusi untuk masalah tersebut.  Seyogyanya, solusi untuk menyelesaikan masalah pendidikan saat ini harus holistic dan mengakar, sehingga menghasilkan solusi yang solutif, bukan solusi yang tidak menyelesaikan masalah, atau bahkan justru hanya akan menambah masalah.

Mengenai sikap liar anak dan perilaku menyimpang anak yang sudah sering kita temukan hari ini bukanlah karena mereka memiliki banyak waktu di luar sekolah, hal ini adalah buah dari kurikulum pendidikan saat ini yang menitikberatkan pada sekulerisme, pemisahan agama dengan kehidupan, serta penghargaan akan keberhasilan berdasarkan materi.  Hal inilah yang membuat anak di dalam benaknya tertancap nilai-nilai kebebasan yang kebablasan, tidak menjadikan agama sebagai patokan, bahkan cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil materi yang besar.  Berikutnya, akibat sekulerisme-kapitalisme ini pula orang tua yang sibuk bekerja hingga akhirnya lalai terhadap pengurusan anak seolah menjadi hal yang lumrah.  Khususnya terkait tentang peran seorang ibu yang seharusnya menjadi madrasatul uwla’ bagi anak, pengayom dan pelindung serta menjadi tempat bermanja bagi anak-anaknya telah lenyap.  Penghargaan terhadap materi menjadikan orang tua sibuk mencari materi sebanyak-banyaknya dengan dalih demi kesejahteraan keluarga, mengakibatkan mereka lupa bahwa anak-anaknya bukan hanya membutuhkan materi semata, tetapi juga kasih sayang dan suasana kondusif dalam keluarga demi tumbuh kembang mereka.   

Adapun mengenai pengajian sesat yang dikhawatirkan oleh Mendikbud, hal ini perlu batas yang jelas.  Apabila yang dimaksud benar-benar pengajian yang mengajarkan aliran sesat, tentu ini memang harus dijauhkan.  Jangan sampai terjadi standar ganda bahwa pengajian yang benar-benar mengkaji tentang Islam yang sebenarnyalah yang dimaksud sebagai pengajian sesat.  Karena selama ini jika kita perhatikan, aliran sesat di negeri ini justru seolah dipelihara untuk digulirkan saat pengalihan isu, sehingga keberadaannya tetap dijaga agar senantiasa eksis.  Sedangkan kajian mengenai Islam sebagai sebuah aturan hidup komprehensif justru dipandang negative dan berbahaya, sehingga senantiasa dimonsterisasi agar dihindari oleh masyarakat saat ini.  Hal inilah yang perlu kita kritisi lebih jauh sehingga apa yang dimaksud oleh Mendikbud tidak salah kaprah dan tidak salah sasaran.

Dari pemaparan diatas, nampak bahwa Full Day School bukanlah solusi yang solutif untuk menyelesaikan masalah penyimpangan perilaku pada anak.  Lama tidaknya kuantitas waktu anak berada di sekolah tidak menentukan kualitas hasil pendidikan.  Bahkan banyak yang memprediksi bahwa dengan diberlakukannya rencana kebijakan ini hanya akan menimbulkan masalah baru, diantaranya psikologis anak yang kelelahannya bertambah juga berkurangnya sosialisasi anak dengan lingkungan sekitar.  Belum lagi beban orang tua yang dituntut untuk mengeluarkan dana lebih karena anaknya lebih lama berada di sekolah, kemudian juga terkait masalah teknis bahwa saat ini sekolah di desa tidak sama kondisinya dengan sekolah di kota, sehingga sarana dan prasarana pun akan menjadi kendala.  Tidak sampai disana, mengenai kesiapan tenaga pendidik pun, disini berarti guru, masih menjadi PR besar bagi pendidikan Indonesia.  

Solusi Pendidikan Islam

Sungguh, kita membutuhkan solusi tuntas dalam menyikapi persoalan ini.  Menjawab latar belakang wacana Full Day School, Islam mampu menyelesaikannya.  Diawali dengan kurikulum pendidikan.  Dalam Islam, kurikulum pendidikan harus berdasarkan aqidah Islam.  Apabila aqidah Islam sudah menjadi asas yang mendasar bagi kehidupan seorang Muslim, asas bagi negaranya, asas bagi hubungan antar sesama Muslim, asas bagi aturan dan masyarakat umumnya, maka seluruh pengetahuan yang diterima seorang Muslim harus berdasarkan aqidah Islam pula, baik hal itu berupa pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan pribadi, hubungan antar sesama Muslim, masalah-masalah politik dan kenegaraan, atau masalah apapun yang ada kaitannya dengan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Dengan kurikulum yang menitikberatkan pada keimanan, maka ketaqwaan anak pun akan terbentuk.  Dengan demikian, perilaku menyimpang anak tentu tidak akan terjadi.  Selain itu, yang juga tidak kalah penting adalah mengembalikan peran seorang ibu ke rumah dan anak-anak mereka.  Bukan berarti seorang ibu hanya mengerjakan urusan dapur, sumur dan kasur saja.  Namun hal ini berarti peran sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangga terpenuhi, tidak tersibukan oleh urusan mencari materi sebanyak-banyaknya hingga lalai terhadap urusan domestik rumahnya.  Dengan mengembalikan peran ibu ke dalam rumah, sikap liar anak pasti sangat bisa diminimalisir, terlebih dengan panduan kurikulum yang berdasarkan pada keimanan tadi, maka anak didik yang berkualitas untuk dunia dan akhirat pun tidak mustahil tercipta.

Bukti nyata dari hal ini adalah para ilmuwan Islam yang karyanya hingga kini terasa.  Berkat kehebatan mereka kita menjalani hidup lebih mudah.  Misalnya Ibnu Battuta dengan karyanya Rihla atau My Travel – kisah perjalanan Ibnu Battuta sepanjang 120.000 km dan seluruh kisah perjalanan itu ditulis kembali oleh Ibnu Jauzzi berjudul Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa Ajaib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan Mengagumkan).  Ada juga Abu al-Hasan an-Nahwi (394 H-458 H) – Master Ilmu Pengetahuan yang dikenal dengan karyanya al-Anwar – sebuah buku tentang ilmu alam, langit, dan perbintangan dan al-Mukhasshash – sebuah buku yang membahas semua bidang ilmu secara sistematis.  Selain itu, ada Ibnu al-Haytsam – Bapak Optik dengan karyanya terjemahan dalam bahasa Inggris Light on Twilight Pnenomena – berisi data penting tentang cahaya dan Kitab fi al-Manasit (Kamus Optika).  Nama-nama ilmuwan di atas sebenarnya hanya beberapa saja, masih lebih banyak nama ilmuwan yang belum tercatat, yang karyanya sangat berpengaruh dalam kehidupan kita saat ini. 

Semua ini takkan berjalan tanpa dukungan Negara/pemerintah yang menerapkan Islam sebagai aturan dalam seluruh aspek kehidupan.  Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam (Al-Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas Baitul Mal. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut didasarkan pada Ijma Sahabat yang memberikan gaji kepada para pendidik dari Baitul Mal dengan jumlah tertentu. Contoh praktisnya adalah Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian.

Itulah contoh bagaimana daulah Islam sebagai sebuah pemerintah memiliki peran yang besar dalam pendidikan warga negaranya.  Hal lain yang perlu kita ingat bahwa system pendidikan, system ekonomi, system pemerintahan, dan juga system-sistem yang lainnya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan, dan yang bisa menjalankannya hanyalah pemerintah.  Maka, sudah saatnya kita melihat Islam sebagai solusi dalam setiap aspek kehidupan kita.  Islam yang sudah jelas merupakan aturan yang diturunkan oleh Sang Pencipta tentu akan membuat kehidupan yang dipenuhi keberkahan dunia dan akhirat.  Semua ini pun telah terbukti dan bertahan selama kurang lebih 1300 tahun lamanya.  Dengan penerapan Islam dalam aturan hidup bernegara, akan membawa keselamatan bagi kita semua, umat manusia di seluruh dunia. Wallahu’alam bi ash shawab. [VM]

Posting Komentar untuk "Full Day School, Antara Wacana dan Realita"

close