Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inikah Hari Perdamaian Dunia?


Oleh: Kholila Ulin Ni’ma, M.Pd.I
Dosen STAI al-Fattah Pacitan

21 September kemarin diperingati sebagai Hari Perdamaian Internasional. Peringatan yang pertama kali diselenggarakan tahun 1982 ini didedikasikan demi perdamaian dunia, dan secara khusus demi berakhirnya perang dan kekerasan yang saat ini terus berkelanjutan. Untuk membuka hari peringatan ini, Lonceng Perdamaian PBB dibunyikan di Markas Besar PBB (di Kota New York). Lonceng tersebut dibuat dari koin-koin yang disumbangkan oleh anak-anak dari seluruh benua selain Afrika, dan merupakan hadiah dari Asosiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dari Jepang, sebagai "suatu pengingat atas korban manusia akibat peperangan"; pada salah satu sisinya tertulis, "Long live absolute world peace" (Panjang umur perdamaian dunia sepenuhnya).

Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak. Perdamaian macam apa yang dimaksud oleh PBB dan seluruh elemen yang memperingati hari Perdamaian tersebut? Di saat yang sama, saudara-saudara kita di berbagai belahan bumi terdiskriminasi dengan berbagai tindak kedzaliman. Di saat kaum muslimin di Palestina terhimpit dan terusir dari negerinya. Di saat kaum muslimin di Cina diintimidasi ketika melaksanakan hukum syara’ dari Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika kaum muslimin di Suriah terus diserang oleh pemimpin negerinya. Di saat nasib muslim Rohingya masih terombang-ambing di lautan bahkan samudera. Cukupkah dengan membunyikan lonceng perdamaian, lalu seluruh kekerasan dan diskriminasi bisa dihentikan?

Kabar terbaru daru Surat kabar The Guardian dan banyak media lainnya melaporkan bahwa Inggris mengangkat tema bencana kaum Muslim Rohingya selama pertemuan dengan Aung San Suu Kyi, Kepala Pemerintahan Myanmar yang baru, selama kunjungannya ke Inggris. Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, menyambut baik pembentukan Komisi Rakhine, yang dipimpin oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan untuk ‘mempelajari’ konflik antara umat Buddha dan warga Rohingya di Myanmar. Bahkan ia menyebutnya sebagai langkah awal yang penting untuk mengatasi kondisi Rohingya ‘yang sangat menyedihkan’. Annan telah dipercaya untuk memimpin komite yang dibentuk oleh pemerintah ini oleh Aung San Suu Kyi, yang telah tetap diam terhadap perlakuan brutal dan penganiayaan sistematis yang dihadapi warga Rohingya. Memang juru bicara Liga Nasional untuk Demokrasi, tidak lama setelah kemenangan partainya dalam pemilu tahun lalu, mengatakan bahwa membantu minoritas Muslim yang tertindas bukanlah prioritas.

Bahkan penguasa yang sekarang juga mengulang sikap pemerintah sebelumnya yang didukung oleh militer, yang mengatakan bahwa warga Rohingya adalah imigran ilegal dari Bangladesh. Ini merupakan refleksi dari peran komite tersebut, yang terbatas hanya untuk mengeluarkan sejumlah rekomendasi mandul, yang tidak pernah akan mencapai apapun untuk kaum perempuan dan anak-anak Rohingya. Hal itu sekedar langkah keji dan kampanye simpatik yang dilakukan oleh Suu Kyi dan pemerintahnya sehingga mereka terlihat tengah melakukan sesuatu tentang kondisi menyedihkan yang dialami oleh komunitas Muslim. Bahkan, Annan sendiri telah mengakui kesia-siaan inisiatif ini ketika ia mengatakan pada konferensi pers di Yangon, Kamis (8/9) bahwa ia tidak akan melakukan penyidikan atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, ia berkata: “Kami di sini tidak dalam kapasitas sebagai penyidik atau polisi.”

Sungguh! Kaum perempuan dan anak-anak Rohingya tidak butuh komite yang lemah dan tidak berdaya, yang didorong oleh motif politik, yang tidak melakukan apa-apa selain mendokumentasikan perlakuan tidak manusiawi dan kondisi hidup menyedihkan yang telah lama mereka derita. Umat ini telah mencapai batas keputusasaan akibat berbagai misi, komite, dan investigasi—dari Myanmar hingga Suriah, dan Palestina hingga Afrika Tengah—yang dijalankan baik oleh pemerintah, PBB, serta organisasi lainnya. Mereka tengah menggambarkan ilusi yang menipu tentang kepedulian serta mewujudkan keadilan dan harapan bagi orang-orang tertindas. Tetapi dalam kenyataannya, mereka terlihat jelas hanya menghitung jumlah korban pembunuhan massal, dan mengeluarkan pernyataan kecaman ompong, sementara tidak menawarkan solusi apapun yang kredibel atau tindakan yang berarti untuk mengakhiri pembantaian dan penderitaan. Saat ini, warga Rohingya masih ditindas dan masih diklasifikasikan sebagai “orang tanpa kewarganegaraan”, setelah mereka dihalangi mendapatkan hak kewarganegaraan di Myanmar dan negara-negara tetangga lainnya, termasuk negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia.

Sejauh ini, lebih dari 140.000 warga masih mendekam di kamp-kamp pengungsi paling buruk dan paling padat penghuninya, serta dibayangi penderitaan malnutrisi dan penyebaran penyakit, namun mereka dicegah untuk meninggalkannya, atau dihalangi untuk mendapatkan hak dan pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Tahun lalu, Inisiatif Internasional untuk Kejahatan Negara di Universitas Queen Mary London melakukan studi yang di dalamnya menyatakan: “Warga Rohingya tengah menghadapi tahap akhir genosida”, bahwa mereka berada di ambang “genosida massal”, bahkan PBB telah membuktikan dirinya sendiri sebagai badan yang tidak berguna dan mengalami disfungsi, yang mewarisi kegagalan dalam melindungi warga Rohingya serta kaum Muslim tertindas lainnya. Bahkan, Program Pangan Dunia PBB baru-baru ini menetapkan untuk memutus bantuan makanan ke beberapa kamp untuk pengungsi yang ada di dalam negara bagian Rakhine.

Semua ini menunjukkan dengan jelas bahwa tatanan demokrasi global saat ini tidak mampu dan tidak ingin melindungi para perempuan dan anak-anak kaum Muslim Rohingya dan kaum Muslim tertindas lainnya di seluruh dunia. Hal ini juga merupakan bukti yang cukup bagi kaum Muslim untuk tidak menaruh kepercayaan mereka kepada badan, organisasi, atau pemerintah non-Islam untuk memberikan keadilan dan keamanannya. Apa yang dibutuhkan anak-anak dan perempuan Rohingya adalah kepemimpinan Islam dalam negara Khilafah ‘ala minhājin nubuwah, dimana negara Khilafah inilah satu-satunya yang bisa melindungi mereka, satu-satunya yang akan menjamin hak-hak mereka yang disyariahkan Allah, dan satu-satunya yang akan memberi mereka masa depan yang bermartabat, bebas dari rasa takut dan ketidakadilan. Menggantungkan harapan kepada hal-hal selain berjuang keras untuk menegakkan negara Khilafah ini, hanya akan memperpanjang penderitaan dan keputusasaan bagi semua kaum Muslim yang tertindas di seluruh dunia. Allah SWT berfirman:

﴿مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ﴾

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (TQS. Al-Ankabut [29] : 41).

hanya khilafah rasyidah ‘ala minhājin nubuwah yang mampu memberikan kedamaiann, keadilan dan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak kaum muslim rohingya, bukan komite yang lemah dan tidak berdaya. Inilah perdamaian yang sesungguhnya. Allahu a’lam bish shawaab. [VM]

Posting Komentar untuk "Inikah Hari Perdamaian Dunia?"

close