Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benteng Terakhir Itu Bernama Keluarga


Oleh : Wardah Abeedah*

Menjadi imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa. Begitulah Allah menetapkan visi dalam membentuk generasi Islam. Dalam qur’an yang mulia, Allah ajarkan kita sebuah doa. 

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً

 Artinya : “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS Al-Furqan / 25 : 74). 

Sebuah doa yang tak sekedar pinta. Namun menitahkan kita untuk menanamkan visi besar untuk tegaknya peradaban hebat. Bukan sekedar meminta dan bercita-cita membentuk generasi yang bertaqwa, namun lebih dari itu, generasi yang memimpin orang-orang yang bertaqwa. Jika dijabarkan satu per satu, pemimpinnya muttaqin adalah dia yang mampu memberikan keteladanan akhlaq, dia yang prestasi dunia akhiratnya menginspirasi muslim lainnya, dia yang mampu memimpin ummat menuju arah kebangkitan Islam. Memiliki keberanian dan daya juang sehebat Usamah bin Zaid yang mampu memimpin pasukan penakluk Romawi di usia 18 tahun.  Luas ilmunya sebagaimana Imam Syafi’i yang mampu menjadi imamnya para mujtahid. Semangat untuk berkontribusi bagi agama seperti Aisyah binti Abu Bakr yang menjadi perawi hadits terbanyak kedua setelah Abu Hurairah bahkan menjadi rujukan ilmu para sahabat yang diridhai Allah.

Visi mulia ini haruslah dimiliki oleh semua orang tua, semua pendidik bahkan seluruh ummat. Namun jika kita melihat generasi kita masa kini, harapan itu jauh panggang dari api. Jangankan untuk menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa, untuk meraih predikat taqwa saja susah diraih. Dalam banyak survey bisa kita lihat, sebsar 62,7 % remaja usia SMP pernah mlakukan hub seks diluar nikah (Survey KOMNAS Perlindungan Anak, 2012). Kementerian kesehatan  mencatat tingkat aborsi di kalangan remaja juga cukup tinggi, sekitar 700 remaja melakukan aborsi setiap tahunnya. Indonesia sebagai pasar narkoba terbesar di Asia menyasar para remaja untuk menjadi penikmat bahkan pengedarnya. Kasus kriminalitas seperti pemerkosaan dan pembunuhan tak sedikit yang dilakukan remaja. Masih melekat dalam ingatan kita tragedi Yuyun yang tewas akibat diperkosa beramai-ramai dan sebagian pelajunya masihlah berusia belia. Atau kasus cangkul Eno, pemerkosaan yang dilakukan remaja yang juga berujung pada kematian.

Mekanisme Islam Dalam Menjaga Generasi

Islam adalah agama yang sempurna. Dalam melindungi umat manusia khususnya generasi, Islam memiliki penjagaan berlapis. Terdapat tiga benteng yang akan melindungi masyarakat termasuk generasi dari segala bentuk kerusakan. Benteng yang pertama adalah negara. Rosulullah saw bersabda, 

إنما الإمام جنة يقاتل من ورائه ويتقى به

Artinya: “Sesungguhnya imam (khalifah) itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Muslim)

 Negara adalah benteng terdepan dalam melindungi generasi dari segala hal yang membahayakan. Negara dalam hal ini pemerintah wajib menutup akses apapun yang akan menghancurkan aqidah, akhlaq dan keperibadian generasi. Ketaqwaan generasi dibentuk dengan berbagai sarana, baik melalui media ataupun penerapan sistem pendidikan Islam yang bertujuan membentuk kepribadian Islam, bukan sekedar mencetak output siap kerja.

Benteng kedua adalah masyarakat. Dalam sabdanya yang mulia, rasulullah saw bersabda, “Perumpamaan orang yang melaksanakan perintah Allah dengan orang yang melanggarnya adalah seperti satu kaum yang berbagi tempat di sebuah kapal. Sebagian orang mendapat tempat di bagian atas, sedangkan sebagian yang lain mendapat tempat di lambung kapal. Orang-orang yang berada di lambung kapal, jika ingin mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atas. Mereka berkata, 'Sebaiknya kita lubangi saja lambung kapal ini (untuk mengambil air) agar tidak mengganggu orang-orang yang berada di atas.' Jika keinginan mereka itu tidak dicegah, mereka semua akan binasa. Sebaliknya jika dicegah mereka semua akan selamat.” (HR. Bukhari, Turmudzi & Ahmad)

Menurut para ulama, hadits diatas menegaskan bahwa individu dan jama’ah (masyarakat) saling memiliki keterkaitan. Dimana kerusakan yang dilakukan individu akan berpengaruh terhadap sebuah masyarakat. Maka bisa disimpulkan bahwa dalam Islam masyarakat memiliki peran untuk melakukan kontrol sosial. Dengan landasan ketaatan pada Allah  dan bingkai kasih sayang terhadap sesama, kewajiban amar makruf nahyi munkar, dakwah, saling menasehati dan tolong menolong (ta’awun) dalam kebaikan akan menjadikan masyarakat mampu membentengi indidvidu-individu yang ada di dalamnya dari kerusakan dan kehancuran.

Benteng ketiga adalah keluarga. Allah swt berfirman,

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim 66:6)

Terkait ayat ini, Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”(Tafsirul adzim-Ibn Katsiir). Tafsir ini tegas memerintahkan seorang mukmin untuk membentengi keluarganya dari api neraka. 

Keluarga, Benteng Terakhir Penjaga Generasi

Jika menilik peliknya problem generasi diatas, bisa kita simpulkan generasi saat ini rusak karena lemahnya penjagaan dan perlindungan dari ketiga benteng yang ada. Negara yang seharusnya menjadi benteng terkuat dan terdepan dalam menjaga generasi justru menjadi  sarana masuknya undang-undang dan kebijakan yang menjauhkan generasi dari Islam, dan menjerumuskan mereka pada kehancuran. Negara tak berdaya menstop pornografi, bahkan pornografi menjadi salah satu bisnis paling menggiurkan di negeri muslim terbesar ini. Negara juga bertekuk lutut di hadapan pengusaha-pengusaha media yang terus menerus memberikan tontonan sampah, miskin edukasi tapi sarat pengrusakan akhlaq semacam sinetron anak sekolah berbau pacaran, kekerasan atau geng motor.

Benteng kedua yakni masyarakat juga lemah. Masyarakat seolah tak mengenal jati dirinya sebagai kaum muslimin. Meski mayoritas memeluk Islam tapi tak menjadikan ridha Allah sebagai tujuan hidup, Halal-haram belumlah dijadikan standard perbuatan. Kebahagiaan dan kemuliaan diukur dengan nilai yang rendah, hanya dengan teraihnya materi.  Asas manfaat dijadikan standard dalam beraktivitas. Walhasil interaksi sosial di masyarakat bukanlah interaksi saling mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, bukan interaksi dakwah dan tolong menolong dalam kebajikan. Karena secara manfaat materi tak menggirukan, justru memberikan pengorbanan. Akhirnya tercipta masyarakat yang individualis. Dengan prinsip hidupku hidupku, hidupmu hidupmu. Kepedulian dan empati menjdi barang mahal dan langka. Bahkan sering kita dengar keluh kesah orangtua yang mengeluhkan lingkungan dan masyarkat sekitarnya justru menjadi salah satu tantangan dalam mendidik anak. Bahkan faktor penghambat yang mempersulit mereka dalam mencetak anaknya menjadi anaak shalih.

Walhasil, hanya tersisa satu benteng terakhir. Yang bekerja sendiri melindungi generasi. Negara dan masyarakat yang harusnya menjadi pelindung, justru berbalik menyerang dengan berbagai kebijakan dan pemikiran merusak. Tugas keluarga, sang benteng terakhir tentulah sangat berat. Lebih-lebih keluarga tak luput dari serangan merusak seperti liberalisme (faham kebebasan), sekulerisme dan hedonisme. Keluarga juga menjadi obyek empuk untuk dirusak. Maha benar Allah yang telah mengabarkan pada kita  rfirmanNya , 

ولن ترضى عنك اليهود ولا النصرى حـتى تتبع ملتهم 

Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka (Q.S. al-Baqarah, ayat 120) 

Mereka telah memaksa keluarga-keluarga muslim mengikuti millah-millah mereka, membebek pada ideologi dan budaya kufur. Melalui penerapan undang-undang berbau liberal yang mengobrak-abrik hukum syariah terkait keluarga, melalui kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP), dll. Keluarga muslim menjadi tak berjalan sebagaimana syariah menuntutnya. Tak lagi berfungsi sebagai pencetak generasi gemilang. Pernikahan yang seharusnya diniatkan untuk ibadah dengan landasan taqwa, hanya dibangun atas dasar cinta. Peran ibu yang seharusnya menjadi sekolah pertama dan utama dimandulkan. Ibu bukan lagi sekolah, bukan lagi pencetak pemimpin, tapi bealih fungsi menjadi penggerak ekonomi para kapitalis. Para ayah yang memiliki kewajiban nafkah harus bersaing dengan para prempuan untuk mendapatkan pekerjaan, ataupun menciptakan lapangan pekerjaan. Melalui PEP, justru perempuanlah yang memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan bantuan modal dan laapangan kerja. Seringkali suami dan istri harus bertukar peran. Sang ayah yang tak memiliki penghasilan menjadi makmum, bukan imam. Hal ini berdampak pada tingginya angka gugat cerai di Indonesia. Dann saat perceraian menjadi pilihan, seringkali anak menjadi korban. Generasi yang lahir dari keluarga broken home, yang dicetak oleh sistem pendidikan sekuler akhirnya menjadi pembebek pemikiran dan budaya barat. Hidupnya hanya untuk have fun, budaya hedon sudah menjadi keseharian. Pergaulan mereka juga tanpa batas. Khalwat, ikhtilat bahkan zina bukan lagi hal yang tabu. Generasi muslim kehilangan jati dirinya sebagai generasi rabbani, sebagai penyejuk pandangan (qurrota ain) bagi orang tua. Kehilangan jati diri sebagai imam bagi muttaqin dan khoyru ummah, sebaik-baik ummat yang memiliki karya terbaik, ideologi terbaik, konsep hidup terbaik. Semua karena ketiga benteng tak berfungsi sebagaimana mestinya. 

Kelamnya potret generasi harusnya membuat semua pihak bergerak untuk melakukan perubahan. Mengembalikan ketiga benteng penjaga pada perannya. Negara harusnya segera mencampakkan ide-ide yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam dan merusak msyarakat. Mengadopsi aqidah Islam sebagai asas dan hanya menerapkan syariah Islam, sehingga akan terwujud kemashlahatan yang menjadi maqashidus syariah. Terjaganya aqidah, harta, kehormatan, akal, jiwa, keturunan, keamanan dan negara. Masyarakat juga wajib kembali pada fungsinya, sebagai kontrol sosial. Dan keluarga juga harus berbenah. Jangan lagi tergerus arus liberalisasi. Saatnya kembali pada Islam. Dengan landasan taqwa, dengan tujuan meraih ridha Allah dan menjadikan syariah sebagai standard agar terwujud sakinah mawaddah dan rahmah. Agar lahir darinya generasi hebat yang dapat membangun negara dan bermanfaat untuk dunia. Allahu a’lam bis shawab. [VM]

*Penulis adalah alumni Pesantren Al-Wafa Tempurejo Jember dan Kepala Madrasah Diniyah Adzkia’ Jember

Posting Komentar untuk "Benteng Terakhir Itu Bernama Keluarga"

close