Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demokrasi Sistem Korup


Oleh : Umar Syarifudin – Syabab Hizbut Tahrir Indonesia
(Direktur Pusat Kajian Data dan Analisis)

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan, hingga saat ini ada 17 gubernur yang telah dipenjara karena kasus korupsi. "Menurut catatan KPK, sedikitnya ada 534 orang yang sudah masuk penjara, termasuk 17 orang gubernur, disebabkan oleh korupsi," ujar dia pada acara Anti-Corruption Summit 2016, di Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta, republika.co.id (26/10).

Korupsi telah begitu membudaya dan mengakar di negeri ini. Mulai dari perangkat desa sampai pejabat negara di pusat tak lepas dari korupsi. Menteri dipidana karena korupsi, kepala desa korupsi, bupati, gubernur juga korupsi. Anggota DPR korupsi, pegawai pajak korupsi, polisi korupsi, hakim korupsi. Sudah banyak terungkap bagaimana proyek dibagi-bagi dan setor sana – setor sini. Petinggi partai politik pun ikut bermain. Begitu parahnya hingga mungkin hanya di negeri ini, bandit tega mengorupsi pengadaan Kitab Suci, baju muslim hingga pengadaan sarung. Pengadaan bantuan bibit termasuk bibit lele, uang bantuan tunai hingga bangku sekolah juga tak lepas dari jamahan tangan koruptor.

Harapan itu sayangnya tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Sebab praktek pemberantasan korupsi di negeri ini terlihat seperti sandiwara saja. Indikasinya: Pertama, adanya kesan kuat tebang pilih. Kedua, hanya simbolisasi. Banyak kasus korupsi yang tidak diungkap tuntas dan berhenti setelah sebagian yang terlibat diproses hukum. Ketiga, komitmen lemah. Jika korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa, mestinya juga mendapatkan perhatian yang luar biasa pula dan pelakunya pun semestiya mendapatkan hukuman yang tinggi. Faktanya, semua itu tidak terlihat. Ketiga, sekadar wacana minus tindakan nyata. Semua pejabat dan politisi mengklaim ada di barisan terdepan pemberantasan korupsi. Nyatanya, ketika ada anak buahnya, temannya atau punggawa partainya melakukan korupsi, mereka pun ramai-ramai membelanya atau minimal lamban dan terkesan ogah-ogahan menindaknya.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah. “Data terkahir sampai bulan Desember tercatat cukup tinggi, gubernur, bupati, walikota adalah 343 orang yang ada masalah hukum baik di kejaksaan, polisi, KPK yang ada masalah hukum soal anggaran,” kata Tjahjo di Istana Kepresidenan, Rabu (4/2/2014). 

Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Tahun selanjutnya, Kemendagri mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (tahun 2011), 41 kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013). Sementara itu, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tersangkut di KPK hingga tahun 2014 yakni mencapai 56 kepala daerah.

Korupsi yang sudah sedemikian mengakar, sistemik, tentu tidak akan bisa diberantas kecuali dengan upaya pemberantasan yang sistemik, terintegrasi dengan sistem yang benar dan benar-benar anti korupsi. Sayangnya justru itu yang belum tampak benar dari upaya pemberantasan korupsi selama ini.

Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi selama tahun 2014, sebagian besar tersangka adalah pejabat/pegawai pemerintah daerah (pemda) dan kementerian, yakni 42,6 persen. Tersangka lain merupakan direktur/komisaris perusahaan swasta, anggota DPR/DPRD, kepala dinas dan kepala daerah. Apabila dibandingkan dengan 2013, menurut ICW, peningkatan jumlah tersangka yang paling signifikan terjadi pada jabatan kepala daerah. Pada 2013, jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 11 orang. Namun, pada 2014, jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 25 orang. Hal itu terjadi karena biaya politik transaksional cenderung semakin mahal. Kepala daerah tergoda korupsi untuk memenuhi kebutuhan dana politik demi ambisi kekuasaan.

Indeks Persepsi Korupsi 2014, yang dirilis Transparency International, menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 107 dari 175 negara dengan Indeks 34. 2013, posisi Indonesia ada di peringkat 114 dengan Indeks 32. Rata-rata indeks persepsi korupsi dunia dari 175 negara adalah 43, sedangkan ASEAN 39. Posisi Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN. Indonesia menduduki posisi kelima setelah Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina dalam peringkat korupsi. Singapura adalah negara dengan peringkat tertinggi di Asia Tenggara, yakni di peringkat tujuh dunia dengan indeks 84. Itu artinya Indonesia adalah negara paling korup se-ASEAN.

Pesimisme pemberantasan korupsi di negeri ini makin diperbesar dengan adanya saling sandera diantara para pejabat dan politisi. Korupsi dilakukan secara berjamaah atau dibagi-bagi. Akibatnya jika salah satu terungkap, maka yang lain akan berusaha melindungi supaya tidak diseret.

Ada beberapa sebab maraknya korupsi diantaranya :

Pertama, faktor utama, yaitu faktor ideologis, yaitu diterapkannya sistem demokrasi yang mendorong korupsi
Kedua, faktor lemahnya ketaqwaan individu,
Ketiga, faktor masyarakat, maraknya budaya suap,
Keempat, faktor penegakan hukum yang lemah.

Secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah Islam sebagai berikut : Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Ketiga, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Kelima, adanya teladan dari pimpinan. Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat.

Pemberantasan korupsi secara total di era demokrasi akan terus menjadi mimpi. Mimpi itu bisa diwujudkan dengan penerapan syariah secara total dan menyeluruh. [VM]

Posting Komentar untuk "Demokrasi Sistem Korup"

close