Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jangan Membiarkan Rakyat Terjerumus dalam Kegelapan


Oleh : Umar Syarifudin 
(Syabab Hizbut Tahrir Indonesia)

Dewan Pakar ICMI Anton Tabah Digdoyo menyesalkan sikap Kapolri menegur kapolresnya karena telah mengeluarkan surat edaran yang merujuk pada fatwa MUI. "Siapapun harus memahami bahwa fatwa MUI dibuat justru untuk jaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama bukan untuk membuat keresahan," kata Anton lewat keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co,id, Rabu (20/12). Selain menyesalkan sikap Jendral Tito, Anton juga menyayangkan sikap Menkopolhukam Wiranto yang menyalahkan MUI yang katanya tidak berkoordinasi dalam mengeluarkan fatwa.

Namun sebaliknya, kepada Media Umat pada Selasa (21/12), Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto menganggap surat Kapolres Bekasi itu keputusan yang bijak. Dia mempertanyakan, apa salahnya dari fatwa MUI itu. Meski bukan hukum positif, fatwa MUI seharusnya dilihat sebagai pelengkap hukum. “Hukum positif  yang ada sekarang  tidak bisa mengcover semua permasalahan yang ada di masyarakat, nah disitulah fatwa bisa mengisi, jangan dinegasikan,” kata Ismail. Tujuan surat itu jelas untuk menjaga ketertiban, ujarnya. Kalau ada pemaksaan-pemaksaan itu akan menimbulkan konflik satu sama lain.

Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas: mengenakan atribut, mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab). Maka seburuk-buruk pendidik siapapun yang membiarkan rakyat, keluarga dan anak-anaknya terjerumus dalam kegelapan.

”Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”. (Qs.Al Furqon: 72).

Hari raya kaum Nasrani adalah terkait erat dengan kekafiran yang besar, yang jika hal itu didengar oleh gunung, langit dan bumi, maka dengan mendengar kekufuran itu semuanya benar-benar menjadi pecah dan retak.

“Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak’. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti.” (TQS. Maryam [19] : 88-94).

Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman: “Katakanlah: ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia’.” (TQS. Al-Ikhlash [112] : 1-4). dalam surat Al-Ikhlash ini terkandung: tauhid (keimanan atas ke-Esaan Allah) dan keikhlasan dan Akidah (keyakinan) yang bersih dan murni.

Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201)

Imam Malik menyatakan, “Kaum muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).

Sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw; sebaliknya seburuk-buruk perkara adalah perkara (peribadatan) baru yang tidak dikenal dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (muhdats), dan setiap muhdats adalah bid’ah; sementara setiap bid’ah itu adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Al-Hafidz adh-Dhahabi berkata dalam Risalahnya “Tasyabbuhul Khasîs bi Ahlil Khamîs“: “Jika seseorang berkata, bahwa kami melakukan itu adalah untuk anak-anak kecil dan wanita? Maka katakan padanya, bahwa seburuk-buruk keadaan seseorang adalah siapa saja yang senang (rela) keluarganya dan anak-anaknya melakukan apa yang menyebabkan murka Allah SWT.”

Kemudian beliau mengutip perkataan Abdullah bin Amr, semoga Allah meridhoi keduanya, yang berkata: “Siapa saja yang merayakan tahun baru bagi bangsa persia (nairûz), mengadakan pesta dan hura-hura mereka, serta menyerupai mereka hingga meninggal ia masih seperti itu, dan belum juga bertaubat, maka di hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama mereka.” (HR. Baihaki. Sedang sanadnya telah dishahihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).

Perlu kita tegaskan, mengenakan atribut, mengucapkan atau merayakan perayaan orang-orang kafir tidak ada hubungannya dengan kerukunan umat beragama. Sesungguhnya kerukunan umat beragama bukan berarti dengan cara mengorbankan aqidah umat Islam. Tak sepantasnya umat terpedaya ikut merayakan Natal dan hari raya agama lain. Realita yang ada ini bukti, penjagaan akidah itu butuh kekuasaan yang menjunjung kedaulatan syara’ dan menerapkan syariah Islam, tidak lain adalah Khilafah Islamiyah Rasyidah. [VM]

Posting Komentar untuk "Jangan Membiarkan Rakyat Terjerumus dalam Kegelapan"

close