Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memaknai Islam Rahmatan Lil ‘Alamin


Oleh : Eka Budiyanto, S.SI
(Guru Pesantren Terpadu Hayatan Thayyibah Sukabumi)

Pasca jatuh dan bubarnya Uni Soviet pada tahun 1990, berakhir pula era perang dingin (cold war) antara Blok Barat yang berideologi kapitalisme dengan Blok Timur yang berideologi komunisme. Blok Barat terutama AS bisa bernafas lega karena rival ideologisnya telah kalah telak sehingga tidak ada lagi negara besar seperti Uni Soviet yang mengusung dan menerapkan ideologi komunisme. Kalaupun ada negara-negara kecil yang masih menerapkan ideologi komunisme, hal tersebut tidak berpengaruh banyak pada kepentingan luar negeri AS.

Dalam perjalannanya, negara-negara Barat tidak terlena begitu saja dengan keruntuhan Uni Soviet. Pasca era cold war mereka dihadapkan pada sebuah tantangan baru yaitu munculnya rival ideologis lain selain komunisme, walaupun masih dalam skala kecil tetapi jika dibiarkan begitu saja akan menjadi sebuah gelombang besar yang akan menghanyutkan mereka. Rival ideologis yang mereka maksud adalah Islam. Bagaimanapun juga, selain Blok Barat diuntungkan dengan runtuhnya Uni Sovyet, Islam dan Umatnya pun mendapatkan momentumnya untuk merealisasikan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari karena selama puluhan tahun mereka senantiasa ada di tengah bayang-bayang dua negara adikuasa, Uni Soviet dan AS. Sebuah ekspresi yang wajar karena mereka yaitu umat Islam selama puluhan tahun diperlakukan secara refresif dan diskriminatif oleh penguasa-penguasa zalim di bawah pengaruh Uni Soviet. Hanya tinggal AS dan sekutunya saja yang menjadi batu sandungan buat kehidupan kaum Muslim selanjutnya.

Hari demi hari umat Islam mulai menunjukkan taringnya tidak hanya pada peningkatan jumlah penganutnya, tapi juga adanya keinginan untuk memformalisasi hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahun tahun 2013, sebuah lembaga riset yang berpusat di Washington  yaitu Pew Research Center menunjukkan kecenderungan umat untuk menjadikan Syariah Islam sebagai hukum resmi di negeri-negeri Islam. Di Asia terdapat prosentase sangat tinggi penduduk yang mendukung syariah Islam: Pakistan (84%), Bangladesh (82%), Afghanistan (99%), Indonesia (72%) , Malaysia (86%). Demikian pula di Timur Tengah dan Afrika, prosentase yang mendukung syariah :   Irak (91%), Palestina (89%), Maroko (83%), Mesir (74%), Yordania (71%), Niger (86%), Djibouti (82%), DR Kongo (74%) dan Nigeria (71%). Sementara 10 negara lain yang di survey menunjukkan lebih dari 50 % penduduknya menginginkan syariah Islam. Jauh sebelum itu sebuah penelitian yang cukup mencengangkan pada 2004 oleh National Intellegence Council (NIC) melansir kemungkinan kembalinya Khilafah Islamiyyah sebagai pemimpin dunia. Dewan intelejen AS tersebut dalam ramalannya memperhitungkan kebangkitan kekuatan Islam di samping kekuatan-kekuatan lain yang sudah eksis maupun terus menggeliat seperti AS dan Eropa atau China dan India. Kondisi ini menjadi sinyal negatif buat Barat, apalagi mereka memiliki banyak kepentingan di negeri-negeri Muslim khususnya kepentingan ekonomi dan politik.

Sebenarnya sebelum ‘ramalan’ yang dilansir oleh NIC itu muncul, barat mulai menemukan momentumnya untuk ‘memukul’ Islam dan penganutnya ketika tragedi 9/11 di AS terjadi. Tidak sedikit analis yang menyatakan bahwa kejadian itu tidak lebih dari konspirasi AS dan sekutunya untuk sebuah kepentingan ekonomi dan politik luar negeri mereka. Akan tetapi, gelombang opini yang dilancarkan AS terlalu deras untuk dihadapi para analis tersebut. AS juga tidak hanya sekedar melancarkan serangan opini tetapi juga melancarkan serangan fisik terhadap negara-negara atau kelompok-kelompok yang dianggap bertanggung jawab terhadap tragedi tersebut. AS pun mengajak sekutu-sekutunya untuk satu sikap dengan AS. Walaupun kenyataannya, hal tersebut hanyalah bentuk sikap hipokrit AS dalam politik luar negerinya. Sikap yang berbeda ditunjukkan AS kepada Israel yang telah puluhan tahun menjajah dan menjarah tanah Palestina.

Dari sisi opini, AS menggunakan istilah terorisme untuk orang, kelompok, atau negara yang dianggap memiliki paham radikal menurut versi AS. Radikal menurut AS adalah siapapun yang memiliki pandangan berbeda dengan AS yang diterapkan menjadi sebuah kebijakan di suatu negara terutama negeri-negeri muslim. Pandangan tersebut dapat melingkupi seluruh aspek kehidupan terutama ekonomi dan politik. Pandangan yang berbuah kebijakan tersebut menjadi kepanjangan kepentingan AS di suatu negara. Oleh karena itu, segala upaya akan dilakukan oleh AS ketika kepentingannya terganggu baik dengan hard power yaitu dengan perang atau soft power yaitu dengan melancarkan perang opini. Perang opini yang begitu masiv tidak mengherankan jika seorang Bush Junior dalam sebuah kesempatan berujar 'You Are Either With Us, Or With the Terrorists'. Ungkapan tersebut seolah membagi dunia ke dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok yang memerangi teroris yang bersekutu dengan AS dan kelompok yang disebut teroris menurut pandangan AS.

Walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit bahwa yang dimaksud teroris itu salahsatunya adalah sebagian umat Islam, akan tetapi hasil riset RAND Corporation seolah menegaskan dan menjelaskan pandangan implisit tersebut. RAND Corporation mengklafikasikan masyarakat muslim ke dalam empat kelompok, yaitu: fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan libelaris. Pengklasifikasian kaum muslim tersebut menjadikan AS dan sekutunya memainkan peranan penting dalam politik belah bambu atau politik stick and carrot di negeri-negeri muslim. Klasifikasi ini menjadi sebuah stereotype baru sekaligus jebakan bagi umat Islam. Umat Islam seolah dipaksa untuk memilih opsi yang diberikan oleh Barat, tidak ada yang tidak bisa memilih. Konsekuensinya tentu jelas, apa yang dikatakan oleh Bush Junior akan menjadi kenyataan, tinggal menunggu waktu, siapa yang akan digandeng oleh Barat atau siapa yang akan ditendang oleh Barat.

Saat ini, tidak sedikit umat Islam yang terjebak dengan hasil riset RAND Corporation tersebut. Ada sebagian dari umat ini yang mencoba untuk mereintrepretasikan istilah-istilah Islam yang dianggap akan mengundang permusuhan antara umat Islam dan Barat. Istilah jihad, negara Islam, tasamuh, Islam rahmatan lil ‘alamin adalah sebagian dari istilah-istilah dalam Islam yang menjadi sasaran untuk mereka reintrepretasikan.

Beberapa tahun ke belakang hingga saat ini istilah Islam rahmatan lil ‘alamin seringkali didengungkan oleh umat ini. Di tengah maraknya pencitraburukan Islam dan umatnya oleh Barat, istilah tersebut seolah menjadi kontra opini. Tapi, alih-alih mendudukkan istilah tersebut sesuai dengan makna yang sebenarnya mereka cenderung bersikap defensive apologetic. Islam rahmatan lil ‘alamin terpaku pada makna toleran dan intoleran, terbuka dan konservatif, cinta damai dan kekerasan. Suatu hal yang tentu diamini oleh Barat, karena sikap tersebut sesuai dengan skenario mereka dan membuat mudah dalam mengidentifikasi posisi umat Islam di hadapan mereka. Oleh karena itu, mendudukkan makna Islam rahmatan lil ‘alamin agar sesuai dengan yang digariskan oleh al Quran, dan Hadits RasuluLloh saw adalah menjadi sesuatu yang urgen.

Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qol’ah Jie dalam kitabnya, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’ mendefinisikan bahawa Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, dirinya dan sesamanya. Karena itu Islam adalah agama yang sempurna dan mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Kita pun diperintahkan oleh Allah SWT agar memeluk Islam secara kâffah, tidak setengah-setengah, sebagaimana telah diungkapkan dalam firman Allah swt:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian” (QS al-Baqarah [2]: 208).

Sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT, Zat Yang Maha Sempurna, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah SWT menegaskan dalam Kitab Suci-Nya:

“Kami tidak mengutus kamu [Muhammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam“(QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Ayat ini, menurut Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menjelaskan, bahwa tujuan Rasulullah saw. diutus adalah agar risalahnya menjadi rahmat bagi manusia. Rasul saw. menjadi “rahmat bagi manusia” bermakna bahwa risalahnya diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan (jalb al-mashâlih) bagi mereka dan mencegah kemafsadatan (dar’u al-mafâsid) dari mereka.

Memang tampak ayat ini menjelaskan bahwa menjadi “rahmat” (rahmat[an]) adalah tujuan.  Namun, tujuan syariah Islam untuk mewujudkan kemaslahatan (jalb al-mashâlih) bagi manusia dan mencegah kemafsadatan (dar’u al-mafâsid) dari diri mereka, dalam konteks ayat ini, tidak terletak pada satu-persatu hukum, melainkan syariah Islam sebagai satu kesatuan. Karena itu, perwujudan kemaslahatan (jalb al-mashâlih) dan pencegahan kemafsadatan [dar’u al-mafâsid], dalam konteks ini, tidak bisa disebut sebagai alasan hukum (‘illat) pensyariatan hukum syariah.

Dengan kata lain, perwujudan kemaslahatan (jalb al-mashâlih) dan pencegahan kemafsadatan (dar’u al-mafâsid) merupakan hasil dari penerapan syariah Islam secara kâffah, bukan alasan hukum pensyariatan hukum syariah. Hasil jelas berbeda dengan alasan pensyariatan hukum. Sebab, hasil merupakan konsekuensi dari penerapan syariah. Adapun alasan pensyariatan hukum ada sebelum hukum tersebut disyariatkan dan menyertainya setelah hukum itu ada, bukan hasil yang menjadi konsekuensi dari penerapannya.

Pemeliharaan agama (hifzh ad-dîn), jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-‘aql), harta (hifzh al-mâl), keturunan (hifzh an-nasl), kehormatan (hifzh al-karâmah), keamanan (hifzh al-amn) dan negara (hifzh ad-dawlah) yang notabene merupakan kemaslahatan bagi individu dan publik, misalnya, bisa disebut sebagai hasil penerapan syariah. Semua itu juga tidak bisa diwujudkan sendiri-sendiri, tetapi harus diwujudkan dalam sistem syariah secara kaffah. Sebagai contoh, agar harta terjaga, hukum potong tangan tidak bisa diterapkan sendiri, sementara problem kemiskinan dan ketimpangan ekonomi tidak diselesaikan dengan sistem ekonomi syariah. Padahal sistem ekonomi syariah dan hukum potong tangan tidak bisa dijalankan kecuali di dalam Negara Khilafah.

Karena itu kerahmatan Islam bagi alam semesta (Islam rahmatan lil ‘alamin) merupakan konsekuensi logis dari penerapan Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Kerahmatan Islam tidak akan terwujud jika Islam hanya diambil sebagai simbol, slogan, asesoris dan pelengkap “penderita” yang lain. Kerahmatan Islam tidak akan ada jika Islam hanya diambil ajaran spiritual dan ritualnya saja, sementara ajaran politiknya ditinggalkan. Pada saat yang sama, paham politiknya diambil dari Kapitalisme maupun Sosialisme, yang notabene bertentangan dengan Islam.

Inilah Islam rahmatan lil ‘alamin yang sesungguhnya. Inilah Islam sebagaimana yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya, Muhammad saw. Inilah Islam yang benar-benar pernah diterapkan selama 14 abad di seluruh dunia, yang pernah memimpin umat manusia, dari Barat hingga Timur, Utara hingga Selatan. Di bawah naungannya, dunia pun aman, damai dan sentosa, dipenuhi keadilan. Muslim, Kristen, Yahudi dan penganut agama lain pun bisa hidup berdampingan dengan aman dan damai selama berabad-abad lamanya.

Begitulah Islam rahmatan lil ‘alamin, yang telah terbukti membawa kerahmatan bagi seluruh alam. Inilah Islam yang dirindukan oleh umat manusia untuk kembali memimpin dunia; membebaskan umat manusia dari perbudakan dan penjajahan oleh sesama manusia; serta menebarkan kebaikan, keadilan dan kemakmuran di seluruh penjuru dunia. Itulah Islam yang hidup sebagai peradaban di tengah umat manusia, diterapkan, dipertahankan dan diemban oleh umat manusia di bawah naungan Khilafah Rasyidah.

Makna inilah yang harus dipahami oleh umat, terutama para ulamanya. Makna yang memberikan batasan dan posisi yang jelas antara umat Islam dengan kafir Barat, karena pada hakikatnya pengklasifikasian umat Islam yang dilakukan oleh Barat merupakan upaya untuk mereduksi pemahaman umat Islam terhadap agamanya. Jika ini terjadi maka umat akan cenderung moderat bahkan pada kondisi tertentu mereka akan mencapai pada level hipokrit walaupun mereka masih beridentitas muslim. [VM]

Posting Komentar untuk "Memaknai Islam Rahmatan Lil ‘Alamin"

close