Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Islam Itu Haq, Demokrasi Itu Racun…


Oleh : Retno Esthi Utami
(MHTI Kab. Kediri)

"Bung Karno menegaskan, kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini," kata Megawati dalam pidatonya di hari ulang tahun ke 44 PDIP di JCC, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (10/1).

Hendaknya para politisi, apalagi yang disorot publik tidak membuat pernyataan sebagai sinyal yang memantik keresahan umat. Tatkala pernyataan seperti itu disampaikan oleh seorang tokoh besar seperti Ibu Megawati, bisa saja akan memunculkan pemahaman yang salah terhadap Islam. Sebagai muslimah, hendaknya bu Mega membongkar kedok system kapitalisme yang merupakan warisan peninggalan penjajah merupakan sistem kufur. 

Adakah bukti yang lebih kuat atas kerusakan sistem kapitalisme dari toleransi (kebolehan) yang diberikan oleh pemerintah memberikan akses perusahaan-perusahaan global untuk merampok kekayaan negeri dalam apa yang disebut privatisasi kepemilikan umum,, sistem yang menzalimi masyarakat. Dan di atas semua itu adalah pemosisian manusia itu sendiri menduduki posisi Sang Pencipta SWT untuk melegislasi undang-undang?

Selanjutnya, supaya kaum Muslim menerima demokrasi di negeri-negeri mereka, kaum kafir sengaja memasarkannya dengan asumsi bahwa demokrasi adalah aktivitas musyawarah dan pemilihan orang yang lebih afdhal. Hal itu supaya menyesatkan kaum Muslim, sehingga mereka menduga bahwa demokrasi berasal dari Islam. Hakikat demokrasi bukan semata aktivitas pemilihan dan pengambilan pendapat. Akan tetapi, demokrasi adalah pemosisian manusia untuk menetapkan hukum menggantikan Allah SWT. Atas dasar ini, orang yang mengambil musyawarah dan tidak menghukumi dengan suara mayoritas tidak dihitung sebagai penguasa yang demokratis, karena yang menjadi patokan adalah hukum dan bukan musyawarah. Asas yang menjadi dasar berdirinya demokrasi adalah bahwa penetapan hukum menjadi milik mayoritas. Asas ini bertentangan dengan Islam dan menjadikan demokrasi sebagai sistem kufur.

Kami tegaskan, ajaran Islam adalah aturan dari Sang Pencipta untuk seluruh manusia, meskipun pertama kali turun di jazirah Arab. Panduannya adalah Kitabullah, sunnah, ijma sahabat serta qiyas. Dengan menjadi muslim, tidak lantas harus membuat kita menolak budaya lokal dan menggantinya dengan budaya Arab. Selama budaya lokal tersebut tidak bertentangan dengan akidah Islam, kita bisa terus menggunakannya. Namun jika budaya lokal tersebut bertentangan dengan akidah, maka sudah pasti harus bagi setiap muslim untuk meninggalkannya. Apapun yang berasal dari Islam harus diambil semuanya, sedangkan yang  berasal dari budaya Arab bukanlah bagian dari Islam. Karena hal tersebut adalah konsekuensi logis dari keimanan. 

Islam telah mewajibkan sistem Khilafah, yaitu pemerintahan yang di dalamnya Islam diterapkan tanpa perlu izin dari mayoritas atau majelis umat. Bahkan Islam tidak mentolerir khalifah itu sendiri untuk menetapkan (membuat) hukum. Islam telah mewajibkan metode pengangkatan Khalifah dan menetapkannya dalam bentuk baiat dari umat kepada khalifah. Islam mendorong khalifah untuk meminta pendapat anggota-anggota majelis umat untuk mengurusi urusan-urusan masyarakat sehari-hari. Akan tetapi asy-Syâri’ tidak mentolerir khalifah untuk meminta fatwa atas penerapan hukum-hukum Allah.

Lalu apakah negara ini menerapkan syariah? Apakah penerapan Islam di Daulah Khilafah Rasyidah tunduk kepada pendapat mayoritas masyarakat? Jawabnya tentu saja tidak. Al-Quran telah mencela orang yang memberikan pendapat personalnya di dalam hukum-hukum Allah yang telah dinyatakan di dalam al-Kitab dan as-Sunah. Hukum-hukum syara’ tidak boleh ditundukkan pada diskusi dan voting untuk mengadopsinya atau menolaknya. Mengertilah, Bu Mega…[VM]

Posting Komentar untuk "Islam Itu Haq, Demokrasi Itu Racun…"

close