Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ada Bom Lagi, Ada Revisi UU Terorisme Lagi

Jokowi-JK Tinjau Lokasi Bom Kp. Melayu (Foto : Jawa Pos)
Luka para korban ledakan bom di Kampung Melayu belum lagi pulih, Presiden Jokowi dengan cekatan langsung membuat pernyataan di media. “Revisi undang-undang terorisme harus segera dirampungkan,” kata dia. Sememangnya, revisi UU Terorisme telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2017. Itu artinya, pada tahun 2017 ini UU terorisme yang telah diperbaharui harus segera terbit.

Kendati demikian, pernyataan Presiden Jokowi terkait revisi UU Terorisme bukan yang pertama kalinya. Pada awal Januari 2016 lalu, mantan Walikota Solo ini juga menegaskan bahwa ada perubahan ideologi secara cepat sehingga pemerintah perlu mengambil tindakan dengan cepat terkait perlunya perubahan regulasi.[1] Kala itu, pernyataan Jokowi erat dengan kejadian Bom Sarinah pada 14 Januari 2016.

Di sinilah menariknya. Terlihat jelas ada benang merah antara usulan revisi UU Terorisme yang telah getol diwacanakan pemerintah sejak sewindu lalu dengan rentetan peristiwa bom di Tanah Air. Setidaknya, bersamaan dengan tiga peristiwa ledakan terakhir di Indonesia, seketika itu pula usulan revisi digalakkan. Lebih jauh lagi, peristiwa bom di tanah air selalu berdekatan momentumnya dengan peristiwa teror mancanegara.

Misalnya Bom Istanbul pada  12 Januari 2016, berselang dua hari kemudian terjadi Bom Sarinah 14 Januari 2016. Lalu, Bom Istanbul pada 10 Desember 2016 disusul dengan Bom Panci Istana pada 10 Desember 2016. Yang terakhir, Bom Manchester pada 22 Mei 2017 diikuti dengan peristiwa Bom Kampung Melayu pada 23 Mei 2017. Menarik bukan?

Lantas, apa saja yang akan terjadi jika UU Terorisme direvisi dan diperkuat? Di antaranya adalah pemberatan sanksi pidana, perluasan pidana, pidana tambahan, dan penambahan kewenangan pada pemerintah. Edannya lagi, pada regulasi yang baru ini ada satu pasal yang disebut banyak orang sebagai pasal Guantanamo. Pasal itu mengatur, kalau penegak hukum, polisi, penyidik, dan penuntut menduga seseorang terlibat dalam terorisme, maka orang itu bisa ditempatkan di suatu tempat tertentu dalam waktu 6 bulan.[2]

Banyak kalangan mengecam sejumlah pasal dalam revisi UU terorisme ini. Di antaranya adalah Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Menurutnya, UU tersebut jangan sampai digunakan sebagai alat politik, serta alat kekuasaan untuk menangkap seseorang. Ia mengatakan, UU tersebut harus diawasi, sebab rawan mengadopsi Undang-undang Keamanan ‎Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA).[3]

Jika pemerintah mau jujur berkaca, kebijakan penanganan terorisme di Indonesia memiliki jejak yang paling kelam dan berlumuran darah warga sipil. Sejak Detasemen Khusus Anti Terorisme/Densus 88 didirikan, lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sejumlah pelanggaran hukum dan HAM yang kerap dilakukan oleh kesatuan ini.

Bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa: [1] penggunaan kekuatan berlebih (Excessive Use of Force) yang mengakibatkan terbunuhnya para tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenangan dari masyarakat, [2] penembakan salah sasaran, [3] penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, [4] penangkapan dan penahanan paksa, serta salah tangkap.

Hingga awal tahun 2016, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyatakan ada 1.025 orang yang ditangkap terkait kasus terorisme. Sebanyak 215 orang masih berada di dalam tahanan yang tersebar di 13 propinsi, 598 di antaranya sudah bebas. 94 di antaranya menjadi korban salah tangkap/kurang cukup bukti dan 3 orang dieksekusi mati melalui pengadilan. Sayangnya, BNPT kurang jujur dan tak berani menjelaskan berapa banyak korban pengadilan jalanan Densus 88.

Berdasarkan pemantauan dan investigasi Kiblat.net, sekurang-kurangnya ada 111 orang tertuduh teroris yang menjadi korban extrajudicial killing. Selain itu, ada 1 korban orang hilang yang dilaporkan diculik Densus 88 dan hingga 12 tahun lamanya belum kembali ke keluarga. Semua pelanggaran ini terjadi bahkan sebelum adanya campur tangan militer dan intelejen negara sebagaimana keinginan pemerintah dalam revisi UU Terorisme yang baru.

Data di atas menambah satu lagi pertanyaan kita kepada pemerintah: Apakah regulasi yang lebih ketat akan meminimalisir tindakan teror atau malah menambah panjang daftar deretan dosa negara pada rakyatnya? Serangan teror terhadap konser Ariana Grande di Manchester pada akhir Mei 2017 ini menjelaskan secara tidak langsung bahwa serangan teror masih bisa terjadi pada negara yang memiliki perangkat intelejen secanggih Inggris.

Di Inggris, seorang pelajar remaja yang bersimpati terhadap perlawanan bangsa Palestina terhadap Israel saja bisa dicurigai (di-suspect) sebagai calon potensial teroris masa depan. Sehingga ia patut diawasi dan dibatasi. Kurang tegas apa regulasi Inggris terhadap kelompok terduga militan/ekstremis dibanding Indonesia, toh nyatanya Inggris masih kebobolan?

Meski begitu, bukan berarti tidak ada solusi komprehensif bagi terorisme. Jika memang kelompok teror itu ada dan muncul secara alamiah serta tidak difabrikasi oleh aparat keamanan sendiri, masih ada jawaban terbaik untuk menyelesaikan hal itu. Hendaknya pemerintah membangun tatanan pemerintah yang bersih dan adil.

Pemerintah dituntut untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik (good governance) untuk meminimalisir terorisme, bukannya melulu regulasi yang dibuat.
Terorisme seperti penyakit kronis di arena sosial dan politik, sebagian besar disebabkan oleh tatanan internasional yang tidak adil. Kenyataannya, masalah internasional, termasuk terorisme, adalah cerminan politik dalam negeri. Akibatnya, solusinya terletak pada tata kelola internal yang lebih baik.[4]

Ketika pemerintah menganut norma dan standar hukum yang ideal, mempromosikan pemerintahan yang baik, menegakkan supremasi hukum dan menghilangkan korupsi, hal itu akan menciptakan lingkungan yang mendukung masyarakat sipil madani dan mengurangi daya tarik ekstremisme melalui jalan kekerasan. Kebijakan dan inisiatif yang didasarkan pada hak asasi manusia sangat penting.

Pemerintah juga harus membatalkan undang-undang diskriminatif dan menyediakan akses terhadap keadilan untuk semua dan memperkuat rasa keadilan masyarakat yang efektif dan akuntabel. Seyogyanya, negara juga harus terus mempromosikan kenikmatan memperoleh hak ekonomi, sosial dan budaya kepada semua kelompok masyarakat secara merata. Pertanyaannya adalah: Mampukah Indonesia?

Ditulis oleh: Fajar Shadiq, wartawan Kiblatnet, gemar menggeluti isu terorisme
____________

[1] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/01/160118_indonesia_wacana_revisi_uu_terorisme

[2] http://politik.news.viva.co.id/news/read/778637-tujuh-poin-rencana-revisi-uu-terorisme

[3] http://wartakota.tribunnews.com/2017/05/27/jokowi-desak-revisi-uu-terorisme-dirampungkan-fadli-zon-bukan-seperti-membuat-kerajinan-tangan

[4] http://www.bjreview.com.cn/print/txt/2006-12/22/content_51729.htm

Posting Komentar untuk "Ada Bom Lagi, Ada Revisi UU Terorisme Lagi"

close