Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dilema Cina di KTT One Belt One Road (OBOR), Lalu Bagaimana Posisi Indonesia?


Inisiatif Cina untuk mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) One Belt One Road (OBOR), 14-15 Mei 2017 sebagai upaya mempromosikan proyek-proyek infrastruktur besar yang mencakup 65 negara, termasuk negara-negara dari Eropa, Afrika Timur, Timur Tengah, negara kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara hingga Asia Timur, dengan total sekitar 40 persen produk domestik bruto di dunia. Pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan menghadiri KTT tersebut. 

Dilansir melalui tempo.co (11/5) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Pemerintah RI akan menawarkan sejumlah proyek infrastruktur di Konferensi Tingkat Tinggi One Belt One Road (Obor) di Cina. Dia memastikan proyek-proyek tersebut berpusat di luar Jawa. "Tak ada proyek di Jawa, untuk menyeimbangkan pembangunan Jawa dan luar Jawa," kata Luhut Binsar Pandjaitan saat ditemui di Kementerian Koordinator Kemaritiman, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Mei 2017.  

Luhut menuturkan proyek yang dimaksud adalah jalan kereta api di Kuala Tanjung yang akan dikombinasikan dengan kereta api sampai ke Danau Toba, bahkan diharapkan akan tembus juga konektivitasnya Pekanbaru. Lalu akan ada juga proyek infrastruktur di Manado. Proyek berikutnya, refinery di kilang Bontang yang akan ditawarkan pemerintah di pertemuan tersebut. "Berikutnya ada juga proyek di Mandalika yang akan ditawarkan." Perkiraan total nilai proyek infrastruktur yang ditawarkan adalah US$ 30-35 miliar. Luhut melihat skemanya akan business to business, karena pemerintah ingin menjauh dari penggunaan utang antar negara. "Tak perlu takut rasio utang kita meningkat," ucap Luhut. (https://bisnis.tempo.co/read/news/2017/05/11/090874420/pemerintah-tawarkan-proyek-infrastruktur-di-ktt-obor-cina)

Analisis Global

Setelah melakukan transformasi dari ekonomi sosialisme ke ekonomi kapitalisme, saat ini yang terlihat secara fisik adalah kebangkitan Cina yang memungkinkan Cina membangun ekonomi raksasa yang memuat kemungkinan riil untuk mengancam keunilateralan ekonomi AS di dunia. William A. Callahan dari London School of Economics menjelaskan, ambisi Cina dengan slogan "Asia for the Asian" adalah retorika baru yang jauh melampaui sekedar kerjasama ekonomi antara negara di kawasan.

Cina berambisi membangun berbagai infrastruktur baik darat, maupun pelabuhan laut maupun bandara udara di penjuru dunia, termasuk Indonesia. Dalam perspektif politik dan motif ekonomi, karena Indonesia termasuk lintasan Sealane of Communications (SLOCs) yakni jalur perdagangan dunia yang tak pernah sepi yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, juga kemungkinan besar akan digunakan sebagai fasilitas militer jika kelak meletus friksi terbuka dengan Amerika sesuai prediksi Huntington.

Sejak Xi Jinping memimpin tahun 2013, Beijing juga menerapkan kebijakan luar negeri baru, terutama di bidang ekonomi dan investasi. Strategi pengelolaan dana investasi ke luar negeri, Cina mengumumkan pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan apa yang disebut prakarsa "One Belt, One Road (OBOR)". Tujuan OBOR - yang juga dikenal dengan sebutan Prakarsa Jalan Sutra Baru - adalah membangun infrastruktur lintas benua. Beijing ingin memperluas jaringan dagang menuju Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara, baik melalui darat maupun laut. Pada tahun 2014, Xi Jinping menjelaskan bahwa prakarsa baru Cina ini bukan melulu soal ekonomi dan uang, namun berlandaskan pada "nilai-nilai bersama".

Total cadangan devisa tersebut menjadi modal yang cukup besar untuk membangun kekuatan politik dan ekonomi negara itu. Salah satu strategi yang dilakukan oleh negeri Panda itu adalah melakukan ekspansi investasi di berbagai negara. Tujuannya antara lain agar pasokan bahan baku dan energi negara itu tetap terjamin dalam jangka panjang dan pasar ekspornya terus berkembang.

Oleh karena itu, Cina secara aktif melakukan investasi dan memberikan pinjaman terutama di negara-negara berkembang yang kaya sumberdaya alam seperti di Afrika, Amerika Latin dan Asia. Salah satu strategi yang ditempuh Cina untuk memperluas sayap bisnisnya adalah mencontek strategi negara-negara maju seperti AS dan Jepang yang memberikan bantuan hibah dan utang secara bilateral dan melalui lembaga-lembaga multilateral yang mereka kuasai, seperti World Bank dan Asia Development Bank.

Dan strategi One Belt One Road (OBOR) bermuara dari strategi String of Pearls, yaitu strategi China guna mengamankan jalur ekspor-impornya terutama suplai energi (energy security) dari negara atau kawasan asal hingga ke kawasan tujuan. Xi Jinping melahirkan OBOR sebagai penyempurnaan String of Pearls. Dan tak boleh disangkal, bahwa salah satu cabang OBOR-nya Xi adalah melintas di selat-selat dan perairan Indonesia. Kenapa? Bila Selat Malaka diblokade oleh Amerika kelak, maka alternatif jalur paling singkat menuju Samudera Hindia, Laut Arab, dan lain-lain guna mengamankan jalur suplai energi sesuai rute String of Pearls dulu adalah Selat Sunda, atau Selat Lombok dan lainnya.

Ya, Amerika, sebagai hambatan utama dalam implementasi road map policy Cina. Siaganya kapal-kapal perang AS dan sekutu di Singapura dan hegemoni AS di Laut Cina Selatan sangat diperhitungkan Cina. Artinya, jika kelak terjadi friksi terbuka antara Amerika versus China, tentu menjadi hambatan besar bagi hilir mudik kapal-kapal China di Selat Malaka.

Target jalur yang diincar ialah bentangan perairan dari pesisir Laut Cina Selatan, Selat Malaka, melintas Samudera Hindia, Laut Arab, Teluk Persia, dan lainnya. Strategi ini, selain mempunyai konsekuensi dibutuhkan militer modern yang progresif, juga membutuhkan akses lapangan terbang dan pelabuhan-pelabuhan laut sebagai penyangga. Dan sudah barang tentu, kelak infrastruktur ini bisa dijadikan fasilitas militer memadai.

Ada beberapa pelabuhan yang telah berdiri seperti di Pulau Hainan misalnya; atau landasan terbang darurat di Pulau Woody, di Kepulauan Paracel, kontainer fasilitas pengiriman di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan di Sittwe, Myanmar; pembangunan basis angkatan laut di Gwadar, Pakistan; pipa melalui Islamabad dan Karakoram Highway ke Kashgar di Xinjiang; fasilitas pengumpulan intelijen di pulau-pulau di Teluk Benggala dekat Selat Malaka dan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, dan lain-lain.

Sisi lain

Di sisi lain, tidak bisa ditampik fakta kerapuhan ekonomi Cina sejatinya tidak banyak berbeda dengan negara-negara kapitalis lainnya seperti Amerika dan negara-negara di kawasan Uni Eropa. Tanpa ada perubahan yang fundamental terhadap sistem ekonomi di negara tersebut, ‘awan hitam’ yang menyelimuti perekonomian terbesar kedua dunia itu dapat berubah menjadi krisis yang akan kembali mengguncang perekonomian dunia. Hal yang paling mencolok tentang perekonomian China selama dekade terakhir adalah cara meningkatnya konsumsi rumah tangga, yang meskipun tumbuh, tertinggal di belakang pertumbuhan secara keseluruhan. Pada titik ini, belanja konsumen China hanya sekitar 35 persen dari PDB, sekitar setengah dari tingkat PDB di Amerika Serikat.

Jadi, siapa yang membeli barang dan jasa yang diproduksi Cina? Sebagian dari jawabannya adalah, dunia: ketika pangsa konsumen dari ekonomi menurun, China semakin bergantung pada surplus perdagangan untuk menjaga keberadaan manufaktur. Tapi cerita yang lebih besar dari sudut pandang China atas hal ini adalah investasi belanja, yang telah melonjak hampir setengah dari PDB.

Kebijakan politik luar negeri Cina juga berpusat pada pembangunan ekonomi domestik dan menguasai sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya. Cina memang melawan strategi AS untuk mengisolasi dirinya dengan melemahkan negeri-negeri yang dirancang AS sebagai alatnya. Misalnya, Cina juga menawarkan kerjasama bilateral dengan Australia, India, Jepang dan Korea Selatan agar hubungan negeri-negeri ini dengan AS menjadi lebih kendor.

Realita ini membuat Cina terlalu fokus pada wilayah regional dan tidak memiliki ambisi untuk lebih dari itu. Hal ini akan berubah apabila Cina merubah ambisi regionalnya menuju ambisi global. Tanpa adanya perubahan ambisi, maka Cina tidak akan menjadi kekuatan global. Dengan pandangan regional yang sempit, Cina tidak akan mampu menandingi AS. Apa yang dilakukan Cina di Afrika sebenarnya tidak untuk menantang AS tapi sekedar usaha mendapatkan akses kepada energi minyak, dimana Cina akan semakin tergantung kepadanya. Di sinilah Cina menghadapi isu penting yang akan menentukan status masa depannya.

Cina juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi, dan tanpa ideologi yang jelas maka Cina tidak akan menyelesaikan masalahnya secara konsisten pula. Tanpa ideologi, Cina akan terus didikte isu sebagai akibat tidak terselesaikannya isu yang lain. Pembangunan ekonomi Cina yang semakin tergantung kepada pasokan minyak membuat Cina harus membangun kerjasama yang koheren yang memiliki minyak. Tanpa ideologi, Cina sudah menghadapi masalah integrasi Tibet dan Xinjiang. Pertanyaannya, tanpa ideologi, bagaimana  Cina akan mengintegrasikan Tibet dan Xinjiang, dan dengan ideologi apa penduduk tersebut akan diintegrasikan?

Secara domestik Cina memang diperintah oleh Komunisme, karena memang Cina masih dipimpin oleh sistem 1 partai. Akan tetapi Cina mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Di saat yang sama, Cina juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dimana AS berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara konsisten. Sampai pada satu titik Cina memutuskan apa jati dirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda dan Cina pun tidak akan mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun.

Posisi Indonesia

Beijing memang memiliki uang dan pasar, serta kedekatan geografis (dengan Indonesia). Cina masih terus menggenjot investasi mereka di Indonesia. Pada saat yang sama, Cina saat ini juga menjadi eksportir terbesar di Indonesia dengan nilai dengan nilai 30.800 miliar dollar AS (per Maret 2017). Di Indonesia, investasi China masuk ke berbagai sektor. Mulai dari pertambangan, transportasi, konstruksi dan real estate, perkebunan, hingga pembangkit listrik. Ada beberapa konstruksi raksasa hasil investasi China di Indonesia, termasuk yang sedang direncanakan diantaranya : jembatan Suramadu, Bendungan Jatigede, industri kelapa sawit, kawasan pengolahan stainless yang dibangun di dalam Kawasan Industri Indonesia Morowali.

Pepatah ‘tidak ada makan siang gratis’ tentu berlaku pada perjanjian-perjanjian kemitraan yang dilakukan Cina. tidak mengherankan jika dalam berbagai proyek pengembangan infrastruktur di negara ini, kehadiran dan peran perusahaan-perusahaan Cina menjadi sangat dominan mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi (engineering, procurement, construction[EPC]). Membanjirnya barang-barang yang terkait dengan konstruksi infrastruktur seperti mesin-mesin dan baja serta pekerja ahli hingga buruh kasar dari Cina merupakan konsekuensi dari pemberian utang tersebut. Padahal sebagian besar dari barang dan jasa tersebut sejatinya amat melimpah di negara ini.

Dalam pertemuan sebelumnya, Pemerintah tegas menyatakan dukungan atas berbagai kepentingan Cina di Indonesia. Ketika bertemu dengan Xi Jinping di Jakarta (22/4/15), Jokowi juga mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia siap memperluas kerjasama dengan Cina di berbagai bidang. Salah satunya adalah mengkolaborasikan rencana Cina “21st Century Maritime Silk Road” dengan strategi pembangunan pemerintahan Jokowi.3 Proyek Cina tersebut merupakan bagian dari ‘one road, one belt’ yang digagas Pemerintah Cina untuk membangunan infrastruktur laut dan darat yang menghubungkan Cina dengan kawasan-kawasan di Asia hingga Eropa. Tujuannya tidak lain adalah meningkatkan pengaruh politik dan ekonomi negara Tirai Bambu di kawasan tersebut.

Xi menganggap komunitas regional sebagai perpanjangan dari negara Cina, atau setidaknya sebagai bagian dari nilai-nilai peradaban Tiongkok. Jadi, gagasan, struktur, dan proyek Xi dirancang untuk membangun pengaruhnya di kawasan dan pada tatanan dunia, sehingga sama dengan negara-negara kapitalis lainnya, kepentingan politik dan ekonomi Cina akan mulus bila Indonesia ini tetap sekuler. China masih menggunakan ‘strateginya’ dalam pembangunan proyek-proyek konstruksi dengan memperbanyak mitranya di Indonesia. Karena selama negeri yang berpenduduk Muslim ini menjadikan Islam sebagai agama ritual saja bukan sebagai Islam kafah yang mengurusi masalah politik, ekonomi dan ruang publik lainnya maka kepentingan politik dan ekonomi negara-negara kapitalisme itu akan tetap terjaga. [VM]

Penulis : Umar Syarifudin (pengamat politik Internasional)

Posting Komentar untuk "Dilema Cina di KTT One Belt One Road (OBOR), Lalu Bagaimana Posisi Indonesia?"

close