Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jangan Penuhi Rumahmu dengan Kemewahan Sementara Saudaramu Lapar Tercekik Kebutuhan


Wahai muslimah, Kita harus prihatin dan peduli terhadap upaya perubahan, penerapan sistem ekonomi Kapitalisme-yang akhir-akhir ini makin mengarah pada liberalisme ekonomi-menjadi akar munculnya kemiskinan yang terus meningkat. Dalam sistem ekonomi liberal, Pemerintah tidak lagi memerankan fungsinya sebagai pemelihara urusan-urusan dan kebutuhan dasar rakyatnya. Bahkan di tengah kemiskinan rakyat, Pemerintah sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang makin membebani rakyat.

Wahai saudariku muslimah, dalam situasi ekonomi yang mencekam ini, kita semua harus saling tolong menolong. Kita harus lantangkan suara perubahan menuju keadaan yang diridhoi Allah Swt. Kita harus bersikap zuhud, jangan penuhi rumahmu dengan timbunan makanan dan barang-barang mewah sementara saudara-saudarimu lapar dan tercekik kebutuhan. Hiasi akhlakmu dengan akhlak Islami yang menghasilkan keindahan, zuhud dalam pikiran, sikap dan perasaan.  

Imam Sufyan ats-Tsauri ditanya: “Akankah orang yang berharta itu menjadi seorang zuhud?” Beliau menjawab: “Ya, dengan catatan jika hartanya bertambah, maka ia bersyukur, dan sebaliknya jika hartanya berkurang, maka ia juga bersyukur dan bersabar.”

Yahya bin Mu’ad berkata: “Aku heran pada tiga hal: Pertama, seseorang yang beramal dengan riya’ (dipamerkan) kepada makhluk sesamanya, sebaliknya ia enggan beramal karena Allah. Kedua, seseorang yang kikir dengan hartanya, sementara Tuhannya meminta pinjaman padanya, namun ia tidak meminjamkan sedikitpun harta pada-Nya. Ketiga, seseorang yang senang bersahabat dan berkawan dengan para makhluk, sementara Allah menyerunya agar bersahabat dan berkawan dengan-Nya.” (Abdul Aziz bin Muhammad Salman, Mawârid al-Dzam’ân li Durûs al-Zamân Juz II).

Bagi kaum mukmin, dunia ini adalah negeri tempat ia berada bukanlah kampung halamannya. Negeri itu hanya tempat ia menyelesaikan keperluannya untuk kemudian kembali ke kampung halamannya. Begitu pula orang yang lewat. Dia akan terus berjalan meski kadang singgah sebentar untuk sekadar berteduh atau mencari bekal, lalu melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuannya.  Jadi dunia ini bagi seorang Mukmin adalah tempat asing atau persinggahan saja.  Tempat tujuan atau kampung halaman bagi seorang Mukmin adalah akhirat yakni surga. Rasul saw. menegaskan:

Tidak ada untukku dan untuk dunia ini, sesungguhnya permisalan aku dan dunia itu hanyalah seperti orang yang berkendaraan menempuh perjalanan, lalu ia bernaung di bawah pohon pada hari yang panas, lalu ia beristirahat sejenak, kemudian meninggalkan pohon itu (HR Ahmad, al-Hakim, Abu Ya’la dan Ibn Abi Syaibah). 

Dari Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai misinya, maka Allah puaskan hatinya, Allah kumpulkan apa yang masih tercerai, dan Allah berikan padanya dunia yang siap melayaninya. Siapa saja yang menjadikan dunia sebagai misinya, maka Allah menjadikan kemiskinan di antara kedua matanya, Allah cerai-beraikan apa yang terkumpul, dan Allah tidak memberikan padanya dunia, kecuali apa yang telah ditetapkan kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi).

Dalam “Tuhfatul Akhwadzi bi Syarhi Jāmi’ at-Tirmidzi” dikatakan:

Sabda Rasulullah saw “hammahu, misinya”, yakni tujuan dan niatnya. Sementara dalam “al-Miskāh”: “Siapasaja yang niatnya mencari akhirat”.

“ja’alallahu ghināhu fi qalbihi, Allah menjadikan hatinya puas”, yakni Allah menjadikan hatinya puas dengan merasa cukup agar tidak disibukkan dalam mencari tambahan.

“wa jama’a lahu syamlahu, Allah kumpulkan apa yang masih tercerai”, yakni mengumpulkan urusannya yang tercerai-berai dengan menjadikannya seperangkat pemikiran melalui penyiapan sebab-sebabnya di mana ia tidak merasakan.

“wa atathu ad-dunya, dan Allah berikan padanya dunia”, yakni apa yang telah ditetapkannya dan membagikan dunia untuknya.

“wa hiya rāghimah, yang siap melayaninya”, yakni dunia itu tunduk dan patuh sehingga untuk mencarinya tidak membutuhkan kerja keras, namun dunia mendatanginya dengan mudah apapun pekerjaannya.

“wa man kānat ad-dunya hammahu, siapa saja yang menjadikan dunia sebagai misinya”. Dalam “al-Miskāh”: “Siapasaja yang niatnya mencari dunia”.

“ja’alallhu faqrahu baina ‘ainaihi, Allah menjadikan kemiskinan di antara kedua matanya”, yakni dorongan butuh pada kerja keras (diselimuti kesibukan), seperti adanya benda besar yang diletakkan di antara matanya.

“wa farraqa ‘alaihi syamlahu, Allah cerai-beraikan apa yang terkumpul”, yakni mencerai-beraikan apa-apa yang telah dikumpulkan (hartanya tidak berkah, dan rencananya selalu gagal).

“wa lam ya’tihi min ad-dunyā illa mā quddira lahu, Allah tidak memberikan padanya dunia, kecuali apa yang telah ditetapkan kepadanya”, yakni dunia enggan mendatanginya, sehingga tidak akan mendapatkan tambahan yang dicarinya, apapun pekerjaan dan usaha yang lakukannya.

Adapun gaya hidup penguasa kaum Muslim saat ini yang menampilkan kemewahan, dari mulai gaji yang tinggi hingga mobil dinas yang mahal, tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap jabatan. Bagi mereka, jabatan identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkan jabatan/kekuasaan. ‘Ala kulli hal, jangan terlambat untuk menyadari bahwa sistem sekular-kapitalis-liberal inilah yang menjadi penyebab hilangnya karakter para pemimpin yang sederhana dan zuhud, sekaligus yang menjadi penyebab suburnya para pemimpin yang tamak akan ‘sekerat tulang’ dunia. [VM]

Penulis : Ainun Dawaun Nufus (MHTI Kab. Kediri)

Posting Komentar untuk "Jangan Penuhi Rumahmu dengan Kemewahan Sementara Saudaramu Lapar Tercekik Kebutuhan "

close