Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konsep Baku Khilafah, Ada! [BANTAHAN atas TULISAN Prof. Mohammad Mahfud MD]


Era Khilafah juga terisi masa suram, itu benar, bahkan tercatat dalam Kitab-Kitab Siroh yang ditulis para ulama salaf hingga khalaf. Jadi keliru ketika umat islam dianggap menutupi dan tidak mau mengakui masa suram itu. Dan dari mana pihak yang mengatakan demikian itu mengetahui masa suram itu jika bukan dari Kitab yang ditulis para ulama? Para orientalis yang menulis buku terkait sejarah khilafah khususnya yang suram justru mendasarkannya pada Kitab-Kitab Ulama. Jadi bagaiman bisa dikatakan disembunyikan dan tidak diakui?

Bahkan pihak pejuang penegakan kembali khilafah yang dalam hal ini HT/HTI tidak pernah menafikan adanya masa suram era khilafah. Bahkan menjadikan bahan pembelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan serupa. Itu bisa dilihat dari buku-buku yang dikeluarkan HT khusunya yang membahas khilafah seperti Daulah Islam, Sistem Pemerintahan Islam, dan Struktur Negara Khilafah.

Namun yang menjadi contoh tentu yang baik, dan era yang baik pun tak sedikit. Yang menjadi permasalahan adalah apakah kita mau mengakui yang baik itu dan menjadikannya contoh atau hanya mengedepankan yg buruk untuk menjadi alasan penolakan?

Kita mesti membedakan antara konsepsi dan praktek. Dalam hal ini, ketika kita berbicara "konsep baku" maka fokusnya tentu pada konsepsi dan basis teori (landasan argumentasi/dalil). maka rujukannya adalah al-Qur'an dan Sunnah (Kitab Hadis) serta buku yang membahas konsep khilafah (negara islam). Dan buku yang membahas itu banyak, diantaranya yang dikeluarkan HT/HTI. Benar bahwa ijtihad ada celah keliru atau berbeda sehingga disitulah letak dialognya. Untuk ijtihad yg sama tentu tdk menjadi soal karena tinggal dibahas aplikasinya.

Dan terkait Sistem Negara Pancasila, apa yang diuraikan para ilmuwan ketika membahas Pancasila, seperti yang ditulis dalam buku Prof Yusril Ihza Mahendra atau yang ditulis Dr. Yudhi Latif dalam Negara Paripurna, atau yang ditulis Habib Rizieq Shihab dalam Tesisnya, dan pelbagai buku lainnya yang terkait, tidak memberikan konsepsi yg jelas dan rinci tentang sebuah Konsep Negara (khas) Pancasila. Apa yang diklaim sebagai Negara Pancasila adalah demokrasi/republik itu sendiri yang merupakan konsepsi dari luar (Barat) yang merupakan rumusan para filsuf Barat.

Berbeda halnya Negara Khilafah, sekalipun banyak pihak yang menyebut tidak ada konsepnya yang baku, yang salah satunya adalah Prof. Mahfud MD, terbantahkan dengan adanya rumusan (konsep) yang jelas dan rinci disusun oleh Imam al-Mawardi dan al-Farra, serta apa yang dirumuskan oleh HT dalam buku Struktur Negara Khilafah, Sistem Pemerintahan Islam, dan Daulah Islam. Prof. Muhammad Rawwas Qol’ahji juga menulis Siroh Nabawiyah: Sisi Politik Siroh Nabi Muhammad saw, yang merinci aspek politik perjalanan hidup nabi saw. Seharusnya ini menjadi sumber bahan analisis para pihak yg mengatakan tidak ada konsep baku khilafah.

Berbeda halnya jika kita membincangkan aplikasi (praktek), maka tentu rujukannya berbeda. Kita tentu lebih tepat merujuk ke buku sejarah (siroh, thariq). Dan untuk aplikasi khilafah maka yang menjadi rujukan HT/HTI adalah era Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.

Jika Prof. Mahfud MD mengatakan 4 khalifah itu berbeda konsepsnya hanya dengan melihat adanya perbedaan dalam hal tata cara pemilihan khalifah, tentu merupakan kesimpulan yg prematur untuk tidak mengatakannya keliru. Karena konsepsi sebuah negara/pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh tata-cara pemilihan, dimana tata cara pemilihan justru masuk dalam perkara teknis bukan pokok.

Kita bisa melihat perbandingan tata cara pemilihan presiden di negeri ini yg berbeda-beda seperti antara Sukarno, Suharto, Gus Dur dan SBY. Apakah dengan begitu kita mengatakan bahwa konsepsi republik yang mereka jalankan berbeda? Tentu tidak. Terlebih jika kita membandingkan dengan negara demokrasi lainnya yang tentunya menerapkan Republik Presidensial seperti AS, tata cara pemilihan presidennya juga berbeda dengan Indonesia. Apakah dengan perbedaan itu lantas disebut tidak ada konsep baku demokrasi/republik? Sekali lagi, tentu tidak!

Benar ada perbedaan tapi perbedaan itu tidak menjadikan terjadinya perubahan konsepsi kenegaraan/pemerintahan. Bahkan terkait dengan konsep negara demokrasi, yang prototype-nya adalah Negara Kota Yunani Kuno, kita tidak temukan rumusan (konsep) rinci ketatanegaraannya. Tapi tidak ada ilmuwan yang menafikan bahwa Negara Kota punya konsep kenegaraan. Rumusan rinci Sistem Republik dalam satu buku pun tidak akan kita temukan. Rumusan Negara Republik (Demokrasi) bahkan kita temukan secara terpisah-pisah dalam karya para filsuf. Konsep Trias Politika, Kontrak Sosial, Negara Hukum, dan lainnya tidak disusun oleh satu orang dalam satu buku/kitab. tapi semua itu tidak menjadikan ada pihak yang menyatakan bahwa republik (demokrasi) tidak punya "konsep baku".

Nah, mengapa Khilafah dianggap tidak memiliki Konsep Baku sementara ada pihak yang justru telah menyusun secara detil dalam satu kitab? Dalam kitab yang berbeda justru lebih banyak lagi, namun ini tentu membutuhkan analisis untuk memahaminya sebagaimana memahami konsep baku negara demokrasi atau sistem republik. Dan apakah negara (khilafah) bisa eksis berabad-abad tanpa memiliki konsepsi baku? Mari menganalisa masalah dengan bijak.

Rasulullah saw, menjadi pemimpin (Kepala Negara) di Madinah melalui Ba’iat Aqobah Kedua dengan tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan Suku Aus dan Khajraz. Hal sama terjadi di era Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali (khulafaurrasyidin) yakni semua menjadi Kepala Negara (Khalifah) setelah ada Ba’iat dari kalangan pemuka umat islam. Bahkan para khalifah sesudahnya pun demikian. Perbedaan tata cara pemilihan hingga terjadi Ba’iat merupakan perkara teknis yang bisa berbeda. Ba’iat ini baku.

Rasulullah saw, memutuskan perkara penduduk Madinah berdasarkan wahyu. Bahkan tidak sedikit kasus yang tertunda penyelesaiannya karena menunggu wahyu. Hal ini juga beliau tegaskan dalam Piagam Madinah dengan adanya klausul yang berbunyi “Bahwa apabila terjadi perselisihan diantara pihak yang melakukan perjanjian ini, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kalimat yang menyatakan “dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya menunjukkan penyelesaian perkara berdasarkan wahyu; al-Qur’an dan Sunnah. Bukan berdasarkan hukum yang dikehendaki masyarakat. Hal juga dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bahkan para khalifah sesudahnya. Ini merupakan perkara baku.

Rasulullah saw, juga menyandarkan keamanan negara kepada umat islam saja, yakni pada Muhajirin dan Kaum Anshor. Mereka yang mempertahankan territorial negara dan melakukan jihad. Hal yang sama terjadi dimasa khulafaurrasyidin dan khalifah sesudahnya. Ini baku. 

Rasulullah saw juga yang memilih Wali (Pemimpin Wilayah/Kepala Daerah) dan Qadhi (Hakim). Wali tidak diserahkan pemilihannya kepada penduduk wilayah. Hal yang sama dilakukan oleh khulaurrasyidin dan khalifah sesuadahnya. Ini juga baku.

Rasulullah saw juga membentuk Baitul Mall (Kas Negara) sebagai tempat penyimpanan harta negara yang kemudian dilakukan pencatatannya untuk kemudian didistribusikan esuai peruntukannya. Hal ini diikuti oleh khulafaurrasyidin dan khalifah sesudahnya. Ini baku.

Masih banyak perkara lain yang ditetapkan oleh rasulullah saw, dan diikuti oleh khulafaurrasyidin dan khalifah sesudahnya. Dari perkara itulah dapat dipahami bentuk baku sistem khilafah.[VM]

Penulis : Mustajab Al- Mustafa

Posting Komentar untuk "Konsep Baku Khilafah, Ada! [BANTAHAN atas TULISAN Prof. Mohammad Mahfud MD] "

close