Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BOM Kampung Melayu, Revisi UU Terorisme & Clash of Civilization


Pendahuluan

Baru-baru ini, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly mendesak agar dewan segera mengesahkan revisi UU Terorisme. Revisi UU Terorisme memang merupakan prioritas prolegnas tahun 2017, namun mengalami banyak hambatan mengingat terjadi banyak kontroversi dan ambingunya kepentingan penguasa. Di samping itu, peristiwa-peristiwa terorisme di Indonesia selalu terjadi di momen-momen tertentu sehingga menimbulkan berbagai spekulasi dan tanda tanya besar. Persoalan dan opini terorisme sampai saat ini tetap hangat dan senantiasa mendapat momentum untuk terus diulas dan dibicarakan. Meskipun secara faktual peristiwa kekerasan yang kemudian mengakibatkan korban hilangnya nyawa dan kerusakan fasilitas publik merupakan hal yang seringkali terjadi dengan berbagai sebab seperti karena demonstrasi, tawuran, kriminalitas murni, sengketa organisasi, dan lain sebagainya. Singkat kata, aksi teror dan berbagai aktifitas yang destruktif (sofware & hardware) merupakan hal alamiah yang harus disikapi oleh masyarakat dan negara. Tentu saja dengan asumsi bahwa frekuensi dan bobotnya harus diminimalkan atau dapat diantisipasi lebih dini, dan yang paling ideal adalah menyelesaikan faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan aksi teror dan destruktif tersebut. Sedangkan secara value, aksi teror dan aktivitas destruktif merupakan hal harus dikecam karena merupakan perbuatan yang merugikan dan tercela.

Peristiwa bom kampung melayu, bom panci di Bandung, bom thamrin, dan yang lainnya merupakan peristiwa yang merugikan semua pihak. Meskipun dalam konteks jumlah korban tidak separah yang terjadi di luar negeri. Bom kampung melayu menewaskan 3 orang anggota Polisi dan satu pelaku, bom thamrin mengakibatkan tewasnya delapan orang termasuk di dalamnya  empat orang pelaku, serta 20 orang mengalami luka berat. Kerusakan fisik terjadi di kedai kopi Starcbuks dan satu pos polisi. Bisa kita bandingkan dengan korban bom JW Marriott dan Ritz Carlton tahun 2003 lalu.  Bandingkan juga dengan peristiwa bom Bali pada tahun 2002.  Bandingkan juga dengan aksi-aksi teror yang terjadi di luar negeri, atau  bandingkan dengan dampak eksplorasi (baca: eksploitasi) tambang emas di pegunungan Grasberg Papua oleh PT. Freeport. Tambang yang dimulai sejak tahun 1972 menjadi teror sosial bagi rakyat Papua serta teror ekonomi yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai obyek kolonialisme modern.  

Oleh karena itu dibutuhkan pemikiran dan analisis yang komprehensif dalam menyikapi suatu peristiwa dan memberikan penilaian yang berimbang sehingga kita dapat menentukan pokok persoalan yang semestinya diselesaikan. Analisis yang dangkal akan mengarahkan kita pada justifikasi yang salah dan pada akhirnya akan merugikan pihak tertentu atau umat secara keseluruhan. Misalnya dengan mengaitkan tindakan teror dengan Islam dan aktivitas perjuangan umat Islam dalam menerapkan Islam secara kaffah. Pada kasus bom thamrin yang terjadi bulan lalu, terkesan adanya momentum bagi pihak yang berkepentingan untuk menggoalkan dan mempercepat revisi UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebagian pengamat menyatakan bahwa perubahan UU tidak akan berdampak signifikan ke pelaksana di lapangan (prajurit), tetapi lebih merupakan isu transaksional atau proyek bagi para pemegang kekuasaan dan para perwira tinggi. Di sisi yang lain tidak mengherankan jika momentum ‘terorisme’ yang hampir semua dilakukan oleh umat Islam (yang dianggap fanatik) banyak dihubungkan untuk membungkam kelompok Islam yang dianggap radikal. Ada juga yang berspekulasi bahwa teror-teror bom yang terjadi selama ini hanya dijadikan alasan untuk memuluskan pemerintah dan penegak hukum untuk memberangus kelompok Islam yang dianggap radikal atau garis keras dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Tentu banyak yang mempertanyakan apa saja sebenarnya poin-poin perubahan atau revisi UU tersebut dan mengapa peristiwa terorisme selalu dihubungkan dengan gerakan Islam yang dianggap radikal? Insya Allah tulisan ini akan menjelaskannya.

Poin-poin penting dalam Revisi UU Anti Terorisme 
  1. Penambahan waktu masa penangkapan dan penahanan. Saat ini 7x24 jam dan 6 bulan diusulkan menjadi 30 hari dan 10 bulan.
  2. Izin penyadapan yang semula dari Ketua Pengadilan Tinggi, diusulkan cukup dari hakim pengadilan saja.
  3. Penanganan kasus terorisme diperluas objeknya, yaitu bisa diusut sejak mereka (diduga) mempersiapkan aksi.
  4. Mencabut paspor WNI yang mengikuti pelatihan teror di luar negeri.
  5. Pengawasan terhadap terduga dan mantan teroris. Diusulkan selama 6 bulan untuk terduga teroris dan satu tahun bagi mantan teroris.
  6. Pengawasan yang bersifat resmi harus dibarengi dengan rehabilitasi secara komprehensif dan holistik.

Adapun poin lain revisi UU Anti Terorisme yang dijelaskan oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkum dan HAM Widodo Ekatjahjana adalah: 
  1. Informasi elektronik terkait adanya dugaan tindakan terorisme dapat digunakan sebagai bukti untuk melakukan penangkapan;
  2. Perdagangan senjata yang memiliki tujuan untuk tindakan terorisme dapat dijerat undang-undang;
  3. Penambahan pasal tentang kewenangan ekstra teritorial penegak hukum untuk menangkap terduga pelaku teror.

Dari kesembilan poin tersebut, tampak jelas obsesi pemerintah untuk memperpanjang masa penahanan dan melegalkan pendakwaan tanpa proses peradilan bahkan sekedar berbentuk informasi dan pernyataan sudah dapat dikatakan sebagai terduga terorisme. Jika revisi tersebut benar-benar diketok palu oleh DPR maka sebagian pengamat menyamakan kondisinya dengan UU Subversif di era ORBA. Kita juga bisa dengan jujur untuk menyatakan bahwa lagi-lagi umat Islam yang akan menjadi korban seperti halnya tragedi tanjung priok berdarah, tragedi sampit, pembekuan ormas Islam hingga penahanan atau boikot terhadap ulama/tokoh umat Islam.

Islam Radikal sebagai Target

Istilah Islam radikal sebenarnya merupakan penyesatan opini atau monsterisasi yang sengaja dipopulerkan oleh Barat terhadap pemeluk Islam tertentu yang mengancam eksistensi dan gerak imperialisme modern. Sebab secara ilmiah istilah radikal dan radikalisme merupakan terminologi yang netral, dalam arti tidak menunjuk kelompok atau agama tertentu. Istilah radikal yang sering dikaitkan dengan terorisme dalam kamus oxford berasal dari bahasa latin: radix, radicis yang berarti akar, sumber atau asal mula.  Sedangkan dalam kamus ilmiah populer karya M. Dahlan al Barry, radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam, senada dengan pengertian yang tercantum dalam KBBI (1990) yang mengartikan radikal dengan secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, maju dalam berpikir atau bertindak.  Sehingga dapat disimpulkan bahwa radikal sama pengertiannya dengan sesuatu yang bersifat mendasar/fundamental, pokok, dan penting. Adapun radikalisme berdasarkan kedua kamus istilah di atas dapat diartikan sebagai: Pertama, faham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar untuk mencapai kemajuan. Kedua, faham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Sementara ensiklopedi online wikipedia membuat definisi yang lebih spesifik yaitu: radikalisme adalah suatu faham yang dibuat-buat oleh kelompok tertentu yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Berdasarkan pergeseran definisi radikalisme diatas, yang semula bernilai netral bergeser menjadi negatif. Dengan demikian kita tidak boleh secara general melabelkan suatu ide atau visi dan misi sekelompok gerakan tertentu dari umat Islam yang menghendaki perubahan secara mendasar, menyeluruh, dan penting dengan sebutan radikal yang identik dengan aksi terorisme. Artinya harus ada pembatasan terhadap definisi yang cenderung bisa direkayasa. Juga kewaspadaan terhadap penggunaan istilah radikalisme untuk menjustice kelompok tertentu oleh kekuatan lain yang berlawanan (musuh politik).

Secara terminologis dan aksiologis penyematan Islam radikal tidak memiliki dasar sama sekali, sebab ajaran Islam mensifati, memposisikan, dan menyikapi suatu persoalan secara proporsional. Dalam Al-Qur’an surat Al-Fath ayat 29 Allah SWT berfirman yang artinya: 

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka...”  Dalam ayat yang lain, misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 190 Allah SWT melarang umat Islam melampaui batas dalam melawan orang-orang yang memerangi umat Islam: 

“dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.  

Dalam hal ini ajaran Islam sangat jelas memposisikan suatu sikap atau perbuatan berdasarkan peruntukannya serta bagaimana cara yang harus dilakukan. Sikap lembut atau keras untuk apa dan siapa? Serta bagaimana? Semua hal tersebut diatur dengan aturan yang jelas dan mencerminkan kesempurnaan serta keadilan ajaran Islam.

Dengan demikian upaya melabelkan radikal kepada umat Islam merupakan strategi orang-orang kafir dan pendukungnya untuk menghalangi pelaksanaan Islam secara kaffah. Dengan label tersebut mereka akan dianggap legal untuk menghalangi, membunuh, dan memberangus umat Islam yang berusaha menegakkan ajaran Islam.  Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 82 yang artinya: 

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” 

Sedangkan penjelasan mengenai Islam atau umat Islam sebagai target dari revisi UU Anti Terorisme yang dimaksud adalah sejarah, fakta-fakta, dan perkataan yang jelas dari pihak-pihak yang menginginkan segera direvisinya UU tersebut. Misalnya apa yang disampaikan oleh juru bicara Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris pada akhir Maret 2015, dia menyatakan: “Radikalisme yang dimaksud adalah ajakan propaganda mengafirkan pihak lain, takfiri. Presiden dikafirkan, pemerintah dikafirkan, pemerintah thogut, pemerintah syirik...” Tidak bisa dipungkiri semua istilah tersebut adalah numenklatur dalam Islam. Jadi tidak berlebihan jika disinyalir bahwa target revisi UU Anti Terorisme adalah umat Islam, khususnya  yang dicap radikal.

Perangkap The Clash of Civilizations

Sejak runtuhnya kekuatan sosialis komunis dalam blok Pakta Warsawa, ditandai dengan berakhirnya perang dingin dengan blok Barat (NATO), maka negara-negara adidaya blok Barat dibawah kepemimpinan AS berusaha untuk memproyeksikan kekuatan laten (potencial emperor) yang bisa mengganggu kepentingan mereka. Salah satu analisis politik yang dijadikan rujukan oleh Gedung Putih adalah wacana Clash of Civilizations karya Samuel P. Huntington.  Wacana yang ditulis dalam sebuah buku berjudul The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order terbit tahun 1990, kemudian di update dalam buku berjudul Who Are We yang terbit tahun 2004. Inti dari analisis dalam buku tersebut adalah:  Pertama, saran-saran bagi dunia Barat (khususnya AS) mengenai cara memandang dan memperlakukan Islam. Kedua, mempersiapkan dan menentukan musuh baru (Barat) pasca perang dingin. Ketiga, memberikan masukan kebijakan praktis bagi pemegang keputusan politik AS. Keempat, strategi pelaksanaan doktrin preemptive strike dan defensive intervention terhadap musuh baru. Perbedaan antara buku yang pertama dengan yang kedua adalah jika sebelumnya Huntington tidak secara jelas menyebutkan Islam sebagai kekuatan yang menggantikan posisi Uni Soviet maka dalam buku yang kedua “Who Are We” Huntington menyebut secara jelas bahwa musuh baru (Barat) adalah Islam, dalam bab khusus Militant Islam vs America.

Sudah terbukti bahwa nasihat Huntington telah dijalankan oleh AS, terlebih dengan slogan polugri AS “New World Order” atau Tatanan Dunia Baru yang dikampanyekan oleh George W. Bush merupakan kebijakan untuk memposisikan pihak yang akan face to face dengan AS. Beberapa hal yang harus kita cermati adalah:
  1. Islam (yang diberi embel-embel militan) merupakan musuh atau dijadikan musuh bagi kebijakan politik AS. Sehingga tidak mengherankan jika AS sangat intent dalam mengantisipasi bahkan mengendalikan perkembangan negeri-negeri kaum muslimin.
  2. Penyikapan antisipasi AS terhadap kekuatan politik Islam dilakukan dengan cara preemtive strike, yaitu melakukan serangan dini atau memberangus potensi kekuatan politik Islam sedini mungkin. Untuk strategi ini tentu dibutuhkan senjata politik yang saat ini sudah berjalan yaitu isu terorisme.
  3. Implementasi defensive intervention dilakukan dengan memastikan pengaruh AS di negeri-negeri muslim melalui intensifikasi hutang luar negeri, bantuan teknologi dan tenaga ahli, program pendidikan (pertukaran pelajar), non goverment organization (NGO) dan lain sebagainya untuk meningkatkan daya tahan kekuatan AS terhadap resistensi yang sangat mungkin mucul dari negeri-negeri muslim.
  4. Hal yang semestinya disadari oleh umat Islam adalah verbal militant Islam vs America adalah WAR. Sebagaimana pernyataan Huntington: “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural with militant Islam”. Karena itu dalam kebijakan AS, status umat Islam adalah musuh. Karena itu seharusnya umat Islam siaga dengan setiap kebijakan AS di negeri-negeri muslim.
  5. AS terus mengkampanyekan kebijakan polugrinya dan berusaha mengajak sebanyak-banyaknya kawan. Oleh karena itu umat Islam secara global harus memiliki kesadaran politik yang rasional agar tidak terjebak dalam perangkap clash of civilizations apalagi sampai menjadi victims.

Kesadaran Politik dan Dakwah sebagai Sebuah Solusi

Berdasarkan uraian di atas umat Islam harus memiliki kesadaran ideologi dan kesadaran politik yang bersifat universal. Kesadaran ideologi adalah keyakinan dan pemahaman yang benar terhadap Islam sebagai sebuah ideologi. Islam adalah ajaran tauhid sekaligus ajaran muamalah yang aplikatif dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3 artinya: 

“...pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu...” 

Adapun kesadaran politik Islam adalah pemahaman terhadap konsepsi politik secara global, yaitu paham terhadap konsep bagaimana pengaturan urusan yang ada di dunia ini dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Sebab sudah menjadi sunnatullah jika suatu urusan akan ada yang mengatur, sehingga ada yang mengatur dan ada yang diatur, ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Berkaitan dengan hal ini Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur’an surat Al-Fath ayat 28 yang artinya: 

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi”.

Ayat diatas secara jelas memposisikan Islam sebagai pemimpin agama atau ideologi di dunia, sebab Islam adalah agama yang diridloi-Nya dan yang membawanya adalah Nabi yang terakhir yaitu Muhammad SAW., meskipun kebanyakan ahlul kitab menolak, mengingkarinya, bahkan menunjukkan sikap tidak rela sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 120 yang artinya: 

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Kataka nlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Oleh karena itu umat Islam harus memposisikan diri dengan benar, yaitu sebagai pemimpin dunia. Kesadaran politik harus didukung oleh pengetahuan dan pengamatan fakta yang akurat dan kontinu sehingga didapat analisis yang validitasnya tinggi.

Lantas bagaimana memulai terciptanya kesadaran politik umat? Jawabannya dimulai dari individu umat Islam, yaitu para kader umat yang telah memiliki konsepsi politik global yang benar. Sebagaimana Huntington yang pikiran dan analisisnya dijadikan rujukan bagi pemegang keputusan negara adidaya AS. Kader yang memiliki pemahaman politik internasional sangat dibutuhkan tidak semata-mata untuk kebanggaan intelektual saja tetapi untuk memikirkan atau memberikan analisis yang aplikatif serta merumuskan metode yang mampu mempengaruhi dunia. Untuk membumikan pengaruh tersebut, individu muslim harus melakukan interaksi di tengah-tengah masyarakat dan komunitas manusia agar pengaruhnya semakin tampak dan meluas. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam membangun umat dan negara Islam menjadi adidaya. Setiap muslim seharusnya menangkap kekuatan ideologis dan politis yang pernah disabdakan beliau SAW:

أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا: لاإله إلا الله محمد رسول الله...

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka berkata Laa ilaa ha illa Allah Muhammad Rasulullah...” 

Kesimpulan
  1. Revisi UU Anti Terorisme berisi penambahan pasal yang semakin memberikan keleluasan penegak hukum untuk menangkap seseorang yang terduga terorisme tanpa melalui pengadilan serta memperpanjang masa penangkapan dan penahanannya.
  2. Terminologi radikal dan radikalisme dalam numenklatur UU Anti Terorisme tidak memiliki kejelasan alias bias. Dalam hal ini penyematan radikal dalam Islam tidak memiliki landasan sama sekali, sebab Islam mengajarkan sesuatu secara proporsional dalam kaitan antara subyek, perintah, dan objeknya.
  3. Isu terorisme dan derivatifnya merupakan implementasi dari analisis Huntington dalam Clash of Civilization dengan menetapkan Islam (militan) sebagai musuh baru bagi adidaya AS.
  4. Dibutuhkan kader umat yang memiliki kesadaran ideologi dan politik untuk membangkitkan umat Islam melawan hegemoni Barat melalui dakwah yang masif hingga berdirinya negara adidaya Khilafah Islamiyah. [VM]
Penulis : Aang Kunaifi, SE., M.E.I (Akademisi STAI Al-Khairat, Pamekasan)

Posting Komentar untuk "BOM Kampung Melayu, Revisi UU Terorisme & Clash of Civilization"

close