Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bentuk Baku Pemerintahan Islam


Dalam Al-Qur’an terdapat perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk menegakkan hukum di antara kaum muslimin dengan hukum yang telah diturunkan kepadanya. Perintah itu dalam kalimat yang tegas. Allah SWT berfirman: "Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu."(TQS. Al-Maa’idah: 48).

"(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. Al-Maa’idah: 49).

Seruan Allah SWT tersebut, tidak terbatas hanya untuk Nabi saw, melainkan untuk umatnya juga. Juga bukan hanya untuk masa itu, tapi untuk masa selanjutnya, termasuk untuk saat ini dan akan datang. Karena tidak ada dalil (nash syara’) yang menunjukkan bahwa perintah itu dikhususkan untuk beliau saja dan pada waktu itu saja. Artinya hal itu berlaku untuk umatnya disepanjang masa.

Aspek penting dipahami dari seruan tersebut adalah bahwa aktifitas pemutusan perkara (penghakiman), merupakan aktifitas kekuasaan. Yakni hanya dapat berlangung dalam konteks adanya negara/kekuasaan. Dengan demikian ayat tersebut mengandung makna perlunya perwujudan institusi politik (negara) untuk merealisasikan perintah penghakiman itu.

Allah SWT juga memerintahkan agar kaum muslimin mentaati Ulil Amri, yaitu penguasa. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu sekalian."(TQS. An-Nisaa`: 59). Hal ini menunjukkan keharusan adanya ulil amri (penguasa). Karena tentu Allah SWT tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati seseorang ( ulil amri) yang tidak berwujud. Apalagi ada perintah lain yang terkait dengan keberadaan ulil amri ini. Yakni perintah penegakkan hukum syara', pemutusan perkara berdasakan hukum yang ditunkan Allah. Hal ini juga menunjukkan bahwa kekuasaan yang diperintahkan itu adalah khas, yakni kekuasaan yang menjalankan hukum Allah. Bukan kekuasaan apapun yang menjalankan hukum apapun.

Terdapat banyak ayat al-Qur’an—seperti; al-Maidah: 1, 38, 44, 45, 47, 48, 49; al-Nisaa’: 58, 59, 65; at-Taubah: 103, 123; al-Anfal: 57, 58, 61; al-Baqarah: 179, 188; at-Thalaq: 6, 7—yang mengandung perintah melaksanakan sesuatu, yang berkaitan dengan kekuasaan yang jika tidak ada kekuasaan (negara) maka perintah itu tidak bisa terealisasi. Hal itu menunjukkan urgensitas negara (Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, 2004: 151-156).

Adapun dalam as-Sunnah, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Nafi' yang berkata: Umar radliyallahu 'anhu telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati sedangkan di lehernya tidak ada bai'at, maka matinya adalah mati jahiliyyah". (HR. Hakim)

Hadis ini menunjukkan keharusan atas setiap muslim agar di lehernya selalu ada bai'at, dimana bai’at itu kepada penguasa. Yang dalam hal ini kepada penguasa kaum muslimin (khalifah). Jadi keberadaan penguasa itulah yang akan memenuhi tuntutan hukum adanya bai'at di atas leher setiap muslim, baik dia berbai'at secara langsung maupun tidak.

Olehnya itu, hadits tersebut juga menunjukkan keharusan adanya penguasa kaum muslimin yang terba’iat.
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Al A'raj dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya seorang Imam adalah laksana perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung.” Beliau juga meriwayatkan dari Abi Hazim yang berkata: "Aku telah mengikuti majelis Abi Hurairah selama lima tahun, pernah aku mendengarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW yang bersabda: 'Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah'. Para shahabat bertanya: 'Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?' Beliau menjawab: 'Penuhilah bai'at bagi yang pertama dan bagi yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggung-jawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka'".

Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW bersabda: "Siapa saja yang membenci sesuatu dari amirnya (pemimpinnya) hendaknya ia tetap bersabar. Sebab, siapa saja yang keluar dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka matinya adalah mati jahiliyyah".

Hadis-hadis tersebut menunjukkan urgensi, tugas dan fungsi penguasa. Juga menyebut bahwa yang memimpin dan mengatur kaum muslimin setelahnya adalah para khalifah—sebutan kepala negara yang memimpin kaum muslimin pasca beliau wafat. Ini menunjukkan adanya tuntutan untuk mendirikan negara, yakni negara yang menjalankan fungsi pengurusan atas rakyatnya dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah.

Negara itulah yang kemudian disebut khilafah. Salah satu hadits tersebut ada yang menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar dari penguasa. Hal itu menegaskan bahwa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin merupakan hal urgen, keharusan (wajib).

Selain itu, juga terdapat hadis Rasululah SAW: "Siapa saja yang telah membai'at seorang Imam (Khalifah), lalu ia memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya, hendaknya ia mentaatinya sesanggup-sanggupnya. Apabila ada orang lain hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu". (HR. Imam Muslim). Rasulullah saw memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Ini menunjukkan perintah untuk mengangkat seorang penguasa (Khalifah) dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya.

Perintah mentaati Imam/Khalifah berarti pula perintah mewujudkan sistem politik/pemerintahannya (khilafah). Sedang perintah memerangi orang yang merebut kekuasaannya merupakan isyarat (qarinah) yang menegaskan adanya keharusan melestarikan adanya Penguasa (Imam/Khalifah) yang tunggal. Hadis-hadis tersebut sekaligus menunjukkan adanya bentuk baku negara, pemerintahan atau sistem politik dalam Islam.

Terkait Ijma' Shahabat, Taqiyuddin an-Nabhani (1997) menguraikannya dalam Sistem Pemerintahan Islam bahwa yang menunjukkan adanya keharusan mewujudkan negara dan kekuasaan, dan secara khusus mengangkat penguasanya, dapat dilihat dari peristiwa awal pasca wafatnya Rasulullah saw.

Bahwa para shahabat, setelah mengetahui wafatnya Rasulullah saw, baik yang berada di rumah duka maupun yang diluar, telah bersepakat menundah pemakaman jenazah Rasulullah saw. Padahal mereka pasti mengetahui tentang keharusan menyegerakan memakamkan jenazah, sebagaimana yang diperintahkan Raulullah saw. Merekapun mampu melakukan itu, menyegerakannya, walau mereka seorang diri. Tapi faktanya, mereka semua menunggu sampai terbai’atnya salah seorang dari mereka (Abu Bakar) untuk menggantikan beliau sebagai pemimpin kaum muslimin. Tentu mereka tidak melakukan hal itu jika tidak memahami urgensitas keberadaan seorang pemimpin. Dan ini jelas bahwa pemimpin yang mereka baiat adalah pemimpin sebuah isntitusi politik, pemimpin umat islam yang akan mengurusi mereka dengan hukum-hukum Islam.

Urgensitas adanya pemimpin, negara dan kekuasan yang menerapkan hukum Islam, mereka tunjukkan bukan saja dalam peristiwa itu, tapi dalam mengangkatan khalifah pengganti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan.

Perbedaan yang ada hanya pada siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai keharusan mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian para Khalifah Rasyidah yang empat. Dan perbedaan itu kemudian dapat diselesaikan hingga terpilih salah seorang diantara mereka setelah melalui musyawarah dan pemilihan.

Oleh karena itu Ijma' Shahabat menunjukkan urgensitas mengangkat penguasa (khalifah), mewujudkan kekuasaan, dan terpeliharanya negara.

Selain itu, karena adanya perintah menegakkan agama dan melaksanakan hukum syara' pada seluruh aspek kehidupan, maka menjadi kewajiban adanya seorang penguasa untuk melaksanakan hal itu. Dan penguasa yang dimaksud adalah penguasa sebuah negara atau dalam level negara. Kaidah syara' menyatakan: "Apabila suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya adalah wajib."

Semua dalil tersebut—ayat-ayat al-Qur’an, hadis, ijma’ sahabat—menunjukan dan menegaskan keharusan adanya pemerintahan dan kekuasaan bagi kaum muslimin; dan juga menegaskan wajibnya mengangkat seorang penguasa (khalifah) untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan dan kekuasaan berdasarkan hukum-hukum Allah.

Kalaupun pembacaan kita belum jelas tentang pola dan model sistem politik/pemerintahan yang tertoreh dalam kitab-kitab siroh tersebut, maka ulama pun telah merincinya dalam susunan yang lebih rapi. Yang pertama melakukan itu adalah Imam al-Mawardi dalam kitabnya “Ahkam as-Sultaniyah” dan Imam Abu Ya’la al-Farra dengan judul kitab yang sama. Kedua kitab itu merinci struktur negara islam (khilafah)—sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh ilmuwan manapun di Barat dalam merinci sistem politiknya atau bentuk pemerintahannya serinci itu. Rincian struktur negara islam (khilafah) juga dituliskan oleh Hizbut Tahrir dalam buku ad-Daulah al-Islamiyah (Daulah Islam), Nizhomul Hukmi Fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam), dan Ajhizah Fil Daulah al-Khilafah (Struktur Negara Khilafah; Pemerintahan dan Administrasi).

Atas dasar informasi yang terekam dalam Hadis-Hadis Rasulullah, Siroh Nabawiyah, Siroh Khulafaurrasyidin, dan apa yang dirumuskan oleh Imam al Mawardi dan Imam al-Farra, serta Hizbut-Tahrir menunjukkan adanya sistem politik dan bentuk pemerintahan yang baku dalam ajaran islam.

Beberapa hal yang dilakukan dimasa Rasulullah dan juga dilakukan dimasa Khulafaur Rasyidin, yang menunjukkan hal itu baku adalah sebagai berikut:

1) Baiat yang menjadi penentu resminya seseorang menjadi Kepala Negara (Khilafah);

2) Kepala Negara (Khalifah) menunjukkan Wali (Kepala Daerah) bukan menyerahkannya kepada penduduk wilayah untuk memilih Wali (kepala daerah);

3) Kepala Negara (Khalifah) mengangkat Hakim (Qadhi);
4) Hukum yang digunakan dalam menyelesaikan perkara adalah Hukum Islam;

5) Kepala Negara (Khalifah) membentuk pasukan, mengangkat Amirul Jihad, dan menyerukan Jihad;

6) Mengirimkan utusan ke negara lain untuk berdakwah dan menerima utusan negara lain;

7) Melakukan pengurusan urusan rakyatnya khususnya terkait penarikan zakat dan pembagiannya, penarikan jizyah (bagi non-muslim) dan pemberian perlindungan keamanan kepada mereka;

8) Melakukan pengumpulan harta negara (ganimah, rikaz, zakat, dan yang lainnya), mencatatnya dan membagikannya kepada rakyat.

Dan beberapa yang lainnya yang menunjukkan aktifitas pemerintahan.

Perkara tersebut jelas dalam hadis (sunnah), dan tidak ada perbedaan dalam memahaminya kecuali terhadap beberapa perkara teknis yang menjadi "khilafiyah" (perbedaan ulama). Seperti perbedaan dalam menetukan syarat sahnya calon khalifah, yakni ada yang menyebut harus keluarga Nabi saw, ada yang menyebut harus suku Qurays, ada yang menyebut tidak mesti suku Qurayis. Mereka tidak berbeda pendapat tentang wajibnya pemimpin (khalifah).

Semua itu menunjukkan ada hal baku (sama dan tetap) yang menunjukkan ada sistem pemerintahan yang khas yang berlaku dimasa Rasulullah saw di Madinah dan dimasa Khulafaur-Rasyidin yang kemudian diikuti khalifah setelahnya sekalipun dengan adanya kualitas yg berbeda-beda pada masing-masing pemimpin. [vm]

Penulis : Mustajab Al-Musthafa (Analis Politik LP3S)

Posting Komentar untuk "Bentuk Baku Pemerintahan Islam"

close