Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Astaghfirullah… Demokrasi Ternyata


Dulu Eropa menolak teokrasi, munculnya pandangan tentang sparating of power (pemisahan kekuasaan) dalam konsep demokrasi telah diperjuangkan kaum sekuler, lalu konsep trias politica Montesque itu lahir. Legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai representasi kekuasaan dipisahkan satu sama lain, sehingga masing-masing bersifat independen. Dengan klaim, bahwa semuanya merupakan kekuasaan rakyat. Sehingga memunculkan klaim, bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. 

Sistem ini sendiri berdiri di atas dua pilar, yaitu: kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan.  Pilar pertama, dan ini yang terpenting, bahwa yang berhak dalam membuat hukum dan perundang-undangan yang digunakan negara mengurus urusan rakyat adalah rakyat itu sendiri.  Pilar kedua, rakyat juga dijadikan sebagai pemilik hak dalam memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya bahkan mencopotnya dalam sebagian sistemasi.

Dalam demokrasi, rakyat tidak mungkin melakukan peran ini secara langsung, kecuali pemilu kepala negara dalam banyak sistem, maka sistem ini menetapkan, bahwa rakyat mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat dalam hal legislasi  dan penetapan perundang-undangan yang disebut sebagai kekuasaan legislatif.  Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan eksekutif.  Dalam sebagian sistem, parlemen mewakili rakyat dalam memilih kepala negara.

Inilah sistem yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai sistem modern yang dijalankan oleh banyak bangsa dan umat sebagai metode termodern yang berhasil dicapai umat manusia untuk melangsungan kehidupan politik, yaitu kehidupan masyarakat, negara dan pembuatan hukum. Berkembang dan diterapkannya sistem ini di seluruh negara di dunia, baik secara formalis maupun riil, tidak lebih karena dominasi peradaban Barat yang telah menyerang umat Islam sejak dua abad lalu.  Mereka yang diserang peradaban tersebut dengan berbagai pemikiran dan sistemnya adalah dunia Islam, termasuk negeri Indonesia.

Demokrasi dijadikan alat penjajahan oleh barat atas dunia terutama negeri kaum muslimin. Melalui pembuatan undang-undang, Barat bisa memasukkan bahkan memaksakan UU yang menjamin ketundukan kepada barat, mengalirkan kekayaan kepada barat dan memformat masyarakat menurut corak yang dikehendaki barat. Bahkan tak jarang demokrasi dijadikan dalih untuk langsung melakukan intervensi dan invasi atas berbagai negeri di dunia seperti yang terjadi di Panama, Haiti, Irak, dsb.

Demokrasi pun dijadikan jalan untuk memaksakan UU yang menjamin aliran kekayaan ke Barat dan penguasaan berbagai kekayaan dan sumber daya alam oleh para kapitalis asing. UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Migas, UU SJSN dan BPJS, dan sejumlah UU lainnya yang menguntungkan barat sudah diketahui secara luas pembuatannya disetir dan dipengaruhi oleh barat. Melalui mekanisme demokrasi pula penguasaan atas kekayaan alam oleh asing bisa dilegalkan dan dijamin.

Waktu telah menjawab, semuanya itu hanyalah klaim kosong. Karena terbukti, rakyat tidak pernah memerintah. Demikian juga kebijakan pemerintah senyatanya juga tidak berpihak kepada rakyat. Akibatnya, tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu pun terjun bebas. Padahal, pemilu diklaim sebagai medium rakyat dalam menentukan nasib mereka, melalui representasi pemerintahan yang mereka pilih. Menurunnya tingkat kepercayaan publik, dan minimnya partisipasi mereka dalam pemilu, ini selain karena tidak adanya bukti yang sahih, bahwa pemilu ini bisa mengubah nasib mereka. Juga, karena baik partai maupun calon-calon pemimpin yang tampil sebagai representasi rakyat itu sudah jatuh di mata mereka, baik karena korupsi dan moral hazard yang lainnya.

Tak terkecuali dengan partai Islam, partai yang mengklaim Islam, atau berbasis massa Islam. Termasuk barisan politikus berlabel kyai, ustadz dan sebagainya. Meski demikian, dalam situasi dan kondisi seperti ini, masih saja ada yang mencoba peruntungan. Siapa tahu, bernasib baik. Namun, disadari atau tidak, sistem demokrasi, parlemen dan habitatnya bukanlah tempat yang baik, bahkan berlumuran noda. Astaghfirullah. [vm]

Penulis : Eko Susanto (Aktivis BARA) 

Posting Komentar untuk "Astaghfirullah… Demokrasi Ternyata"

close