Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

‘Meninju’ Lawan Politik

Presiden Jokowi Latihan Tinju (Presiden Joko Widodo/Youtube)

Setelah olah raga panahan, kini Presiden Jokowi menjejal olah raga tinju. Olahraga yang identik dengan pukulan keras itu tak melunturkan minat Jokowi untuk mulai berlatih dan mempelajarinya. Jokowi memamerkan kemampuan bertinjunya melalui sebuah rekaman yang ia unggah di akun pribadinya di Youtube, pada Sabtu (3/3). Dalam video itu Jokowi terlihat sedang berlatih tinju dengan pelatih dari Persatuan Tinju Nasional (Pertina) Bogor bernama Pak Abed (CNN Indonesia)

Bertinju merupakan olah raga yang terbilang ekstrem. Dari sekian banyak olah raga, tinju bisa dikatakan yang paling mengandalkan kekuatan fisik.  Ada pukulan ke depan (hook), ada pukulan cepat setengah siku (Jab) juga ada ring tempat dua petinju bertarung untuk memperebutkan sabuk juara. Tak peduli lawan mau babak belur yang penting dinobatkan jadi pemenang.  Priiiiiit! Sampai-sampai wasit membunyikan peluit untuk menghentikan pertarungan sebab satu di antara petinju terjadi pendarahan karena terhantam pukulan telak atau bahkan permainan dinilai sudah tak berimbang (Referee Stop Contest).

Lain tinju meninju di bidang olah raga, lain juga di  dunia perpolitikan. Memasuki tahun hajatan politik 2018 untuk Pilkada serentak dan 2019 untuk Pilpres, para peserta pemilu tengah mempersiapkan diri untuk memenangi pertarungan politik. Segala macam cara ditempuh untuk melesatkan elektabilitas politiknya. Ada yang sibuk pencitraan, juga cermat menyusun siasat guna ‘meninju’ lawan politiknya.

Bukan sebuah hal yang mengherankan, politik zaman now yang sarat dengan kepentingan ala kapitalis-sekuler akan mengindahkan segala macam cara guna meraih sabuk kemenangan dalam pemilihan. Beberapa jurus meninju lawan politik di antaranya.

Pertama, Penguasaan kemenangan  Pilkada di beberapa provinsi.  Jadilah para petarung politik pragmatis tengah berupaya keras menguasai tiap provinsi untuk dimenangkan dalam kompetisi, terutama di Jawa Barat. Mengapa demikian? Karena Jawa Barat merupakan wilayah paling potensial yang akan mendulang suara guna menghantarkan pada kemenangan Pilpres ungkap Direktur Eksekutif Saiful Munjani Research & Consulting (SMRC), Djayadi Hanan. Tak heran jika ada yang mengaitkan tragedi penganiayaan ulama dengan jurus meninju yang pertama ini.

Kedua, pelabelan negatif terhadap pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintahan pun acap kali dilancarkan. Dikatakanlah mengumbar hoax atau menyebarkan ujaran kebencian. Pencidukkan pelesancar di dunia Maya yang diatasnamakan Muslim Cyber Army pun telah dilakukan. Alih-alih guna meredam hoax dan ujaran kebencian supaya memberikan efek jera. Ini tentu sangat memojokkan identitas Muslim dan aktivitas dakwah Islam.

Ketiga, pengajuan kembali agar UU penghinaan terhadap Presiden dan Wakilnya beralih dari delik aduan menjadi delik umum, padahal sebelumnya telah ditolak MK. Sehingga siapa saja yang berani mengkritisi pemerintahan di forum terbuka tak heran selesai acara ia bisa langsung dipenjarakan ungkap Rocky Gerung (Dosen Filsafat UI) yang kerap tampil bicara di tayangan Indonesia Lawyers Club TV One. Begitulah bentuk proteksi untuk meninju lawan politik ala zaman now (baca:kapitalis-sekuler).

Berbeda dengan pertarungan politik kapitalis-sekuler zaman now yang kental dengan perebutan kekuasaan, Islam memandang politik sebagai pengurusan yang mengatur urusan umat. Kekuasaan bukanlah sebagai tujuan dari politiknya melainkan alat untuk menerapkan syariat Allah yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist. Pertarungan politiknya dilakukan dengan mengadopsi kemaslahatan umat (tabannî mashâlih al-ummah) dan membongkar rancangan jahat penjajah (kasyf al-khuththath).

Adapun ketika datang masa kekosongan kepemimpinan, kala Rasulullah wafat. Maka calon yang ada untuk melanjutkan kepemimpinan umat, tidak ada yang berlomba merauk suara juga meninju lawan politiknya seperti yang terjadi kala ideologi kapitalis-sekuler ini diterapkan. Maka ketika kepemimpinan pasca wafat Rasulullah SAW. Jatuh di tangan Abu Bakar Ash-Shidiq selaku Khulafaur Raayidin yang pertama, sontak ia mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un ( potongan dari ayat Al-Quran, dari Surah Al-Baqarah, ayat 156). Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali. Beliau begitu riskan akan kekuasaan yang diamanahkan kepadanya. Karena layaknya seorang pemimpin dalam Islam di akhirat kelak akan dimintai pertanggung-jawaban atas apa-apa yang diurusnya. Dan inilah khutbah pertama Abu Bakar Ash-Shidiq saat dilantik menjadi khalifah yang pertama.

“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah diantara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Shaat semoga Allah Subhanahu Wata’ala melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua.” [vm]

Wallahu’alam bishowab

Penulis : Ammylia Rostikasari, S.S. (Akademi Menulis Kreatif)

Posting Komentar untuk "‘Meninju’ Lawan Politik"

close