Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nafsu Eksploitasi Atas Nama Kemandirian Ekonomi


Perempuan bekerja adalah trend zaman kekinian. Bagi mereka yang membawa titel, menjadi karyawan kantoran adalah ketenaran yang selalu diimpikan. Gaji tinggi dan fasilitas memadai. Namun, bagi mereka yang menjadi pegawai rendahan (buruh), kondisinya berbeda jauh. Tragedi kaum buruh, seakan tiada habis diunduh. Gaji minim, mengalami diskriminasi, PHK sepihak, pelecehan seksual hingga kekerasan yang berujung kematian.

Sebagaimana yang dilansir liputan 6.com (1/1/2018), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memberikan catatan buruk nasib kaum buruh selama 2017. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, catatan pertama adalah turunnya daya beli buruh di tahun 2017. Said menilai, hal itu imbas kebijakan upah melalui PP 78 Tahun 2015. Catatan kedua adalah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut data KSPI, sejak tahun 2015 hingga pertengahan 2017 sudah lebih dari 50 ribu orang pekerja di-PHK. Catatan ketiga ialah merebaknya tenaga kerja asing (TKA) unskill yang berakibat para pekerja Indonesia seperti tersisihkan. Lapangan pekerjaan yang semestinya bisa menyerap tenaga kerja, tidak terjadi. 

Adapun mengenai pelecehan seksual, korbannya masih terus berjatuhan, dari pelecehan secara verbal hingga nonverbal. Banyak di antara para buruh yang masih enggan dan merasa tabu untuk melapor. Riset pada 2017 yang dilakukan Perempuan Mahardhika dan FBLP di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Utara, menunjukkan 93,6 persen dari 437 korban pelecehan tidak melaporkan. Dari 773 buruh, terdapat 56,5 persen yang pernah mengalami pelecehan seksual. Alasan-alasan untuk tidak melaporkan yang sering dilontarkan para korban pelecehan seksual, antara lain menganggap bahwa hal tersebut biasa dan wajar terjadi, malu, risiko kerja, kurangnya akses informasi, repot, dan bukan hal serius. (Tempo.co, 6/3/2018)

Kematian Adelina Lisao asal NTT, di malaysia, menambah panjang daftar kasus kekerasan berujung kematian pada buruh migran Indonesia. Organisasi Migrant Care mengutuk keras tindakan majikan Adelina, yang telah menyiksa dan membiarkannya tidur di emperan rumah selama sebulan, bersama anjing peliharaan. Bahkan, tak diberi makan. Selama 2017, Migrant Care menginventarisir permasalahan yang kerap terjadi sebagai imbas dari praktik perdagangan manusia ini. Menurut mereka, akar masalah penyebab terjadinya banyak kekerasan yang menimpa buruh migran adalah longgarnya penegakan aturan mengenai pengiriman tenaga kerja, yang kemudian melahirkan praktik perdagangan manusia. Praktik tersebut menimbulkan kesewenang-wenangan dari para majikan, yang menganggap tak masalah melakukan kekerasan pada tenaga kerja ilegal. (alinea.id, 23/2/2018)

Kalau kita cermati, keberadaan buruh perempuan tak lepas dari ketidakberdayaan sebuah keluarga dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Jadi, mereka ini bukanlah kelompok pengejar materi demi gengsi, melainkan keterpaksaan demi sekadar bertahan hidup. Kemiskinan telah meminta mereka bertaruh dengan kehidupan keras kaum buruh. Sistem sekuler-kapitalisme memanfaatkan kondisi ini dengan menggiring perempuan ke ruang publik. Para pengusahalah pihak yang paling diuntungkan. Mereka mempekerjakan kaum perempuan karena dianggap lebih rajin, teliti, telaten dan tidak berani menuntut. Pengusaha juga tak perlu memberikan tunjangan beraneka, berbeda dengan buruh pria

Kondisi ini melahirkan kondisi yang ironis, karena berduyun-duyunnya perempuan ke dunia kerja tidak dibarengi dengan penerapan sistem yang kondusif. Sistem sekuler-kapitalisme yang diterapkan saat ini, sama sekali tidak menjamin keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan para buruh perempuan. Lemahnya sistem hukum terhadap pelaku pelecehan seksual, makin menyuburkan tindak kriminal. Hal ini dikarenakan pemerkosa tidak dihukum berat, ia masih bebas berkeliaran memangsa korban selanjutnya
.
Buruknya sistem kerja dan pengupahan, seperti jam kerja yang panjang hingga mengabaikan tugas utama perempuan, upah yang tak layak dan jenis pekerjaan yang menyalahi kodrat, menjauhkan buruh perempuan dari kesejahteraan. Belum lagi dampak ikutan seperti hilangnya mekanisme nafkah, karena lapangan pekerjaan yang ada, diperebutkan antara lelaki dan perempuan.

Merambahnya perempuan di berbagai sektor, akhirnya mengabaikan tugas utamanya di rumah. Fungsi ibu dalam keluarga beralih ke tangan pihak yang tidak atau kurang kompeten. Seperti pembantu, baby sitter, atau alat elektronik (televisi, internet, game), atau bahkan nenek yang faktanya sudah tidak sekuat waktu muda. Ini harus dibayar mahal dengan munculnya fenomena kenakalan anak dan remaja, pergaulan bebas, bunuh diri anak, perceraian, narkoba, kriminalitas dan problem keluarga lainnya. 

Demikianlah nasib perempuan dalam sistem kapitalis. Mereka korban nafsu eksploitasi atas nama kemandirian ekonomi. Berbeda dengan sistem islam, negara yang menerapkan sistem Islam, memberi jaminan kesejahteraan pada seluruh warganya, termasuk perempuan. Negara wajib menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi kaum laki-laki agar mekanisme pernafkahan di pundaknya bisa ditunaikan dengan sempurna. Sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan tersedia dengan mudah dan murah. Sehingga kaum lelaki mampu mencukupi kebutuhan sekunder bahkan tersier. Dengan demikian, perempuan akan dengan senang hati di rumah, tidak perlu keluar dan bersusah-payah. 

Jikapun perempuan harus bekerja dengan alasan syar´i, negara wajib mengayomi. Negara wajib membuat regulasi pengupahan yang manusiawi, dan menegakkan hukuman berat bagi pelaku kriminal, baik berupa kekerasan maupun pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan. Negara juga wajib memaksa perusahaan yang mempekerjakan perempuan untuk mematuhi aturan – aturan islam, baik pergaulan maupun berpakaian.

Oleh karena itu wahai kaum perempuan, sungguh negara seperti inilah yang layak diperjuangkan. Negara penerap hukum – hukum islam. Wallahuálam. [vm]

Penulis : Ririn Umi Hanif, Pemerhati Ibu dan anak – Gresik

Posting Komentar untuk "Nafsu Eksploitasi Atas Nama Kemandirian Ekonomi"

close