Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tanggapan Ketua KSHUMI atas Kajian Ustadz Felix yang Dihalangi

Chandra Purna Irawan.,M.H.


REZIM PERIZINAN DAN REZIM PIDANA
Kritik atas penggunaan pasal 510 KUHP

Tadi siang ada yang bertanya kepada saya, bahwa ia dimintai keterangan oleh pihak penegak hukum terkait acara pengajian yang ia selenggarakan di masjid dengan pembicara Ustadz Felix Siauw tema yang dibahas terkait remaja dan anti narkoba.

Bahwa ada rasa kuatir dari pihak panitia, bahwa ketika dimintai keterangan pihak berwajib menyatakan bahwa ia (panitia) berpotensi melanggar pasal 510 KUHP.

Menanggapi hal diatas, saya akan memberikan Pernyataan Hukum sebagai berikut;

#1. Beberapa hari ini, banyak pertanyaan dari masyarakat terkait ‘izin’ unjuk rasa atau pawai menyampaikan pendapat. Saya tersentak kaget, ketika polri mempertanyakan “izin” unjuk rasa atau pawai menyampaikan pendapat. “Kekagetan” didasarkan, didalam alam rezim yang sudah terbuka seperti ini, paradigma masih “salah kaprah” dan cenderung melihat persoalan dari sudut pandang “kekuasaan” masih berparadigma orde baru.

#2. Kekagetan bertambah, ketika “membicarakan” hal ikhwal “ Pengajian, Tablig Akbar, unjuk rasa, menyampaikan pendapat”, aparat penegak hukum menggunakan pendekatan pidana yaitu pasal 510 KUHP.

#3. Atas dasar hal ini, saya akan meluruskan pandangan tersebut, jika tidak saya luruskan, maka tentu saja yang terjadi “kemunduran” didalam melihat persoalan pengajian, tablig akbar, unjuk rasa atau pawai menyampaikan pendapat dari sudut pandang sempit kekuasaan. Bahkan Mimbar Akademik dan Kegiatan Keagaamaan mendapatkan pengkhususan didalam UU No. 9 Tahun 1998 tidak wajib izin dan pemberitahuan.

#4. Membicarakan “unjuk rasa atau pawai menyampaikan pendapat” tidak terlepas dari UU No. 9 Tahun 1998. Secara tegas limitatif, disampaikan, “bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia”. Makna filosofi dari UU ini sebenarnya dengan tegas menyatakan “menyampaikan pendapat” adalah hak.

#5. Dalam UU secara tegas sudah dinyatakan, yang dimaksudkan dengan “menyampaikan pendapat dimuka umum” adalah “unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan atau mimbar bebas”

#6. Dalam konsep hukum, membicarakan “hak” dengan padanan kata “right” artinya “kebebasan yang diberikan oleh hukum”. Bandingkan dengan konsep hukum “izin” dengan padanan kata “pembolehan”, maka apabila menggunakan literatur yang ada, dimana “izin” adalah “pembolehan” dimana esensi sebelumnya merupakan “tidak boleh”.

#7. Dalam praktek penegakkan hukum, kata-kata “izin” dapat kita lihat didalam UU Kehutanan. Misalnya, pada “pokoknya” orang tidak boleh “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan”, atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan dan seterusnya.

#8. Maka “seseorang” dapat dijatuhi pidana apabila “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan. Namun, “seseorang” dibenarkan untuk “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan, atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan” apabila telah “ada izin”. Ini ditandai dengan kalimat “Secara tidak sah” atau kalimat “memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”

#9. Dengan demikian, maka seseorang tidak dapat dipersalahkan apabila “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” secara “sah”. Atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan” apabila “memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”

#10. Sehingga membicarakan hak tidak diperlukan “izin”. Sebuah konsep hukum yang tidak tepat apabila “hak” disandingkan dengan kata-kata “izin”. Dengan merujuk kepada prinsip yang berbeda antara “izin” dan “hak” maka mempunyai konsekwensi hukum.

#11. Izin memerlukan “persetujuan” dari pejabat yang “berwenang”, sedangkan hak tidak diperlukan “persetujuan dari manapun.

#12. Makna ini yang diatur didalam UU No. 9 tahun 1998. UU ini lahir untuk menghapuskan pasal 510 KUHP, dimana pasal ini paling sering digunakan kepada rakyat yang akan unjuk rasa atau pawai menyampaikan pendapat.

#13. Dalam UU No. 9 Tahun 1998 kemudian “diatur”, “menyampaikan pendapat dimuka umum” harus dilakukan “pemberitahuan” secara tertulis. Makna kata-kata “pemberitahuan” sekedar konfirmasi adanya “menyampaikan pendapat dimuka umum”. Ini diperlukan agar pihak keamanan dapat “mengatur” rute unjuk rasa atau pawai menyampaikan pendapat yang hendak dilalui, “mengatur lalu lintas” dan sebagainya.

#14. Dengan melihat paparan yang telah disampaikan, maka cara pandang terhadap kegiatan “menyampaikan pendapat dimuka hukum” harus berangkat dari UU No. 9 Tahun 1998. Bukan dari pandangan sempit yang berangkat dari paradigma orde baru sempit yang menganggap “demonstrasi’ seperti kegiatan yang illegal dan ditakuti “mengganggu kekuasaan”.

ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS
#15. Pengaturan mengenai menyampaikan pendapat dimuka umum di Indonesia saat ini diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat dimuka umum.

#16. Dahulu, sebelum adanya undang-undang yang khusus mengatur mengenai menyampaikan pendapat dimuka umum, mengenai menyampaikan pendapat dimuka umum memang dikenakan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) terutama Pasal 510. Setelah adanya UU tersendiri yang mengatur kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat dimuka umum, maka yang harus diberlakukan adalah ketentuan UU No. 9 Tahun 1998 sebagaimana diatur Pasal 63 ayat (2) KUHP: “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”

#17. Bunyi Pasal 63 ayat (2) KUHP inilah yang juga dikenal dalam ilmu hukum sebagai asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum. UU No. 9 Tahun 1998 harus didahulukan karena merupakan aturan hukum yang lebih khusus.
#KERAMAIAN “vermakelijkheid”,
#PESTA “fesstelijkheid”,
#UMUM “openbare”,
#ARAK-ARAKAN “Optocht”

#18. Untuk mengetahui maksud suatu pasal dalam KUHP, maka harus menggunakan bahasa asli darimana asal mula KUHP disusun, yaitu bahasa Belanda. Pesta adalah terjemahan untuk “fesstelijkheid” dan keramaian adalah terjemahan untuk “vermakelijkheid”. Umum adlah terjemahan untuk “openbare”. “Optocht” diterjemahkan dengan arak-arakan.

#19. Keramaian umum yang dimaksud dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 510 ayat (1) KUHP, yaitu keramaian atau tontonan untuk umum dan mengadakan arak-arakan di jalan umum.

#20. Untuk itu kita perlu melihat apa yang disebutkan dalam Pasal 510 KUHP, yaitu sebagai berikut:

1) Dihukum dengn hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp 375, barang siapa yang tidak dengan izin kepala polisi atu pegawai negeri yang ditunjuk oleh pembesar itu:
1. Mengadakan pesta umum atau keramaian umum;
2. Mengadakan pawai di jalan umum.

2) Jika pawai itu diadakan untuk menyatakan cita-cita dengan cara yang hebat, si tersalah dihukum kurungan paling lama dua minggu atau denda paling banyak Rp 2.250.

#21. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 330) merujuk pada Penjelasan Pasal 510 KUHP menjelaskan bahwa yang dinamakan “Keramaian umum” atau pesta umum yaitu pesta atau keramaian bagi khalayak ramai yang diadakan di tempat umum, misalnya pasar malam dan lain-lain. Pesta privat seperti sunatan, perkawinan, ulang tahun dan sebagainya, yang diadakan di rumah dalam kalangan sendiri dan yang diundang saja, tidak masuk di sini.

#22. Sedangkan arak-arakan atau pawai di jalan umum misalnya keramaian Cap Go Meh, Pesta Kembang Api dan sebagainya, bukan pawai dalam arti menyampaikan pendapat.

#23. Dari segi Historis keberadaan pasal 510 KUHP dinyatakan bahwa dalam melakukan penyampaian pendapat harus mendapat ijin dari pihak berwenang, hal ini dilakukan oleh kolonial Belanda untuk mencegah terjadinya kesatuan dalam melawan pemerintah Belanda pada saat itu.

#24. Atas penjelasan diatas, maka pengajian, tablig akbar, unjuk rasa atau pawai dalam menyatakan pendapat dimuka umum, TIDAK WAJIB IZIN, MELAINKAN CUKUP PEMBERITAHUAN.

#25. Setelah menerima surat pemberitahuan, POLRI WAJIB MENGELUARKAN STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan).

#26. Barangsiapapun yang menghalangi atau mencegah hak individu warga negara adlah pelanggaran Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan.

Wallahualambishawab

Palembang, 12 Maret 2018.

Chandra Purna Irawan.,M.H.

Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI
(Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia)

Sumber : dakwahmedia

Posting Komentar untuk "Tanggapan Ketua KSHUMI atas Kajian Ustadz Felix yang Dihalangi"

close