Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Deforestasi Korporasi yang Tak Manusiawi


Oleh: Iga latif (Pegiat Sosial Media) 

Dua tahun sudah kabut asap tak lagi bertamu dan kembali menyelimuti sejumlah daerah. Sebut saja pekanbaru yang menjadi salah satu wilayah yang paling parah terpapar imbas kabut asap karhutla Riau karena angin bertiup ke kota madani yang bertuah ini. Satu bulan suah kabut asap telah melumpuhkan segala aktivitas di wilayah ini, diantaranya lumpuhnya aktivitas pendidikan dan terganggunya penerbangan di bandara Sultan Syarif Kasim II. 

Tak hanya berimbas sampai pada lumpuhnya sebagian besar kegiatan sehari-hari ,keselamatan warga pun mulai terancam. Sebagaimana dilansir oleh Republika Online, anak-anak yang jatuh sakit akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama sebulan terakhir semakin banyak. Berdasarkan data Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Kementerian Sosial di Pekanbaru terhitung hingga hari Rabu 18 September 2019, ada dua korban dari balita dan bayi yang menderita sakit yang cukup parah akibat terpapar asap.

Salah satu korban yang bernama Zikra yakni balita berusia dua tahun lima bulan,datang ke posko Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus dalam kondisi sesak napas,setelah sebelumnya mengalami sesak napas selama dua hari. Anak dari pasangan Roni Kurniawan dan Marvel itu akhirnya harus bernafas dengan menggunakan bantuan selang dan tabung oksigen. Orang tua Zikra pun terpaksa mengungsi bersama Zikra dan kakaknya di posko dan meninggalkan mata pencahariannya demi keselamatan anak-anaknya. Kepala BRSAMPK Sutiono menambahkan, selain balita bernama Zikra ada satu bayi berusia lima bulan yang akhirnya dirujuk ke rumah sakit umum karena juga mengalami sesak napas. Diduga bayi tersebut juga merupakan korban paparan kabut asap karhutla.

Kabut asap mulai merenggut satu demi satu hak-hak kehidupan. Ratusan titik kebakaran membuat masyarakat setempat tak berkutik menghadapi paparan kabut asap. Sebanyak 1.313 titik panas yang diduga indikasi awal kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah terpantau di sumatera pada rabu 18 september lalu. Staf analisis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) stasiun Pekanbaru, Bibin Sulianto mengatakan bahkan ada sekitar 400an titik api di Jambi dan Sumsel. Sementara di Riau ada 300an titik api. Lebih jelas lagi melalui pantuan satelit Terra Aqua terdapat 484 titik panas di Jambi. Belum Bangka Belitung dengan 27 titik panas, Lampung 21 titik, Kepulauan Riau 9 titik, Sumatera Barat 7 titik, Sumatera Utara dengan 6 titik, dan terakhir Bengkulu dengan 1 titik panas.

Udara yang menjadi satu-satunya sumber utama kehidupan kini tak lagi mampu dinikmati. Bernafas dengan leluasa kinipun menjadi hak yang paling dinanti masyarakat Riau dan sekitarnya.

Bagaimana solusi yang diberikan pemerintah saat ini?

Seperti yang telah dilansir oleh banyak media, pemerintah terus berupaya untuk mengatasi persoalan pembakaran hutan yang menimbulkan paparan asap di sejumlah wilayah. Sekembalinya dari kunjungan luar negeri di tiga negara di timur tengah, pemimpin negeri ini telah memerintahkan panglima TNI untuk menambah personil dalam upaya memadamkan titik api.

Sementara itu Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan bahwa, polri telah menetapkan 10 perusahaan tersangka dari 132 kasus pembakaran hutan yang terjadi di indonesia. Dari data yang disampaikan ini jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut yang tengah menimbulkan polemik berkepanjangan ini dilakukan oleh sejumlah oknum yang bernaung dibawah korporasi. Bagaimana mungkin sebuah korporasi mampu melakukan ini? Atau mungkin lebih tepatnya bagaimana sebuah korporasi diberi hak untuk menentukan nasib ratusan bahkan jutaan orang?

Berdasarkan data yang tercantum dalam www.rimbawan.com daftar anggota Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) di 23 provinsi indonesia setidaknya terdapat 451 perusahaan pengelola hutan. Ini menunjukkan banyaknya pihak korporasi yang telah diberikan hak atau dengan kata lain kebebasan dalam mengelola hutan. Bahkan berdasarkan hak konsesi yang diberikan pemerintah melalui UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tepatnya di pasal 69 ayat 2,ada regulasi yang memperbolehkan rakyat adat atau bahkan korporasi dengan pertimbangan tertentu boleh membakar dua hektar per KK (kartu keluarga), yang hal inipun diamini  oleh Eddy Martono selaku Ketua Bidang Agraria Dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia pada m.detik.com

Ini membuktikan bahwasannya pemerintah memberikan hak penuh pada korporasi untuk mengelola hutan,bahkan memberikan subsidi karena pihak korporasi ini dianggap memilki peran penting dalam pengelolaan hasil hutan untuk bahan baku pengolahan produk-produk lanjutannya. Hak pengelolaan tanpa batasan yang jelas inilah yang telah mengakibatkan rakyat berada dalam kungkungan pesakitan yang tak jelas kapan berakhirnya.

Dan apakah kemudian pernyataan tentang pihak-pihak yang merupakan pelaku dari pembakaran hutan dan lahan gambut ini menjamin berakhirnya paparan asap yang kian meluas bahkan hingga ke negeri jiran? 

Sebagaimana kita ketahui bahwa dua tahun lalu pada kasus yang sama yakni kebakaran hutan dan lahan yang melanda Kalimantan Tengah, terbukti bahwa pelaku pembakaran bukanlah masyarakat adat, melainkan korporasi. Dan lagi-lagi pernyataan tegas penguasa tak mampu memadamkan kobaran api yang kini kembali menyulut Riau di bulan yang sama yakni September, karena yang menjadi penyebab utama yakni tetap diberikannya hak konsesi pada para pelaku korporasi,tak hanya itu pemerintah bahkan memberikan subsidi hingga kebakaran lahan sangat rentan terjadi sebab semua berlandaskan kepentingan intern korporasi.Penyegelan terhadap sejumlah perusahaan yang menjadi tersangka kasus pembakaran pun tak memberi solusi yang berarti. Jika sudah seperti ini kemana arah keberpihakan pemimpin negeri yang termasyur dengan sebutan zamrud khatulistiwa ini? Lantas tindakan apa yang seharusnya diambil oleh pemimpin untuk mengakhiri wabah sesak napas penduduk negeri?

Pertama,agar fungsi ekologi dari lahan gambut benar-benar berjalan maksimal,maka pemerintah harus benar-benar melakukan proses restorasi. Sebagai negara yang beriklim tropis,indonesia yang telah diketahui memiliki potensi alam yang beragam, yang salah satu potensi tersebut adalah lahan gambut. Indonesia sendiri memiliki lahan gambut yang luasnya mencapai 14,9 juta ha atau sekitar 50 persen dari luasan hutan secara nasional. Lahan gambut berperan penting dalam menyimpan cadangan karbon dunia hingga sepertiganya. Sementara lahan gambut di indonesia sendiri memiliki daya serap hingga 75 persen karbon di dunia. Sebuah angka yang fantastis. Belum lagi peran penting gambut sebagai habitat hewan perairan. Sangat jelas bahwa proses restorasi lahan gambut akan mengembalikan fungsi ekologinya yang luar biasa. 

Kedua, menghentikan kebijakan pemberian konsesi pengolahan lahan dan hutan pada korporasi besar. Karena meski telah dikukuhkan oleh Undang-Undang pada kenyataannya kebijakan yang memberikan wewenang seluas-luasnya pada pihak korporasi untuk memanfaatkan lahan hutan ini terbukti merusak. Sementara pihak korporasi akan bertindak sesuai apa yang akan mendatangkan keuntungan pihaknya sendiri tanpa mempertimbangkan resiko kerusakan ekosistem di sekitarnya termasuk jika itu kawasan hutan yang dekat dengan pemukiman penduduk. Sebagaimana dua tragedi karhutla terparah yang beberapa tahun terakhir menjadi bencana yang rutin menyapa kawasan hutan di Indonesia. Jika telah terbukti merusak dan menimbulkan kerugian terutama bagi rakyat mengapa tidak di stop saja? 

Selanjutnya,negara harus melakukan tindakan tegas terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran baik itu individu maupun korporasi atau kelompok. Yang pastinya keberpihakan pemerintah haruslah pada kepentingan rakyat. Seperti kepentingan rakyat akan hutan dan lingkungan yang baik.Tidak seperti sekarang yang justru memberikan konsesi kepada korporasi bahkan memberikan subsidi karena melihat bahwa mereka juga ikut andil dalam menyukseskan program pemerintah untuk menanggulangi climate change.

Bagaimana Pandangan Islam

Hutan dan lahan gambut adalah lahan yang sangat luas, serta memiliki manfaat yang luar biasa dalam kehidupan. Tidak hanya untuk masyarakat sekitar namun juga seluruh masyarakat di negeri ini,bahkan di seluruh dunia. Lahan gambut memiliki fungsi ekologis yang harus dijaga kelembapannya,karena jika kering akan mudah untuk terbakar dan menimbulkan kebakaran yang tidak sedikit. Proses untuk merestorasinya pun menjadi sangat sulit,serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi jika kita melihat deforestasi yang dilakukan korporasi adalah sebagai konsekuensi pemberian hak pengelolaan secara penuh pada pihak mereka untuk menghasilkan bahan baku produksi seperti kayu,dan juga bahan-bahan pembuatan kertas. Sementara, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwasannya hutan adalah hak milik rakyat.

Islam tidak akan mengizinkan sumber daya alam yang menjadi hak mulik rakyat dimiliki oleh perseorangan atau bahkan dinikmati segelintir orang, sebagaimana hutan yang menjadi milik bersama terutama rakyat ini dimiliki dan dikuasai oleh korporasi. Sebagaimana yang telah tercantum dalam suatu hadis yang berbunyi,

”kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR Abu Daud,Ahmad Al Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

Inilah yang hari ini tidak diberlakukan sebagai landasan untuk mengelola hutan dan lahan gambut. Bisa disimpulkan bahwasannya yang sedang kita rasakan pada saat ini adalah buah dari diterapkannya sistem kapitalisme, yakni sistem yang menempatkan harta publik  sebagai harta pribadi yang boleh dikelola secara bebas demi kepentingan dan menimbun kekayaan bagi sekelompok orang, tanpa memperhatikan akibatnya bagi rakyat. 

Berlakunya sistem yang dewasa kini jauh dari keberpihakannya pada rakyat, dan justru berpihak pada korporasi adalah buah dari tidak diterapkannya hukum-hukum yang berlandaskan syariat islam, yang bersumber dari Al Quran. Jika kita menggunakan hukum syariat dalam mengolah hutan dan lahan gambut yang hari ini kita miliki, maka tidak akan terjadi petaka dan bencana yang tengah kita alami saat ini, justru yang akan didapat adalah kebaikan dan kemaslahatan bukan hanya untuk kaum muslimin namun bagi seluruh umat manusia. [www.visimuslim.org]

Posting Komentar untuk "Deforestasi Korporasi yang Tak Manusiawi"

close