Intelektual Satukan Visi
Para Intelektual Muslimah di JICMI 2013 |
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ingin berkontribusi dalam memberi arah
kebangkitan para intelektual Muslim. Menurut Juru Bicara HTI Muhammad
Ismail Yusanto, organisasinya berharap mampu menjangkau intelektual baik
Indonesia maupun internasional.
Ia mengatakan, melalui Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals (JICMI) 2013, HTI menyatukan pemikiran intelektual Muslim untuk mewujudkan kembali peradaban Islam. Acara ini berlangsung sejak Sabtu dan berakhir Ahad (15/12).
“Selama ini sudah didengungkan mengenai kebangkitan intelektual, tapi tak jelas arahnya,” kata Ismail, Ahad. Ia mengatakan, arah yang seharusnya sekarang ditempuh adalah Islam. Ini saatnya kembali ke Islam sebagai panduan.
Semua orang sudah tahu bahwa kapitalisme tumbang. Demikian pula, sosialisme yang kini telah ditinggalkan. Ismail mengatakan, pemberian arah ini ditempuh dengan menghimpun para intelektual di JICMI. Paling tidak ada dua tujuan konferensi tersebut. Yaitu, memaparkan konsep Islam dalam menangani berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia.
Persoalan itu mengerucut pada tujuh hal, yakni perubahan politik global dan dampaknya pada negeri Muslim, tantangan tata kelola pemerintahan, ekonomi, kesehatan, dan ketahanan pangan, manajemen energi dan sumber daya alam, perempuan dan keluarga, serta pendidikan dan iptek.
Konferensi ini juga bertujuan membangun jaringan di antara intelektual Muslim dan mendorong mereka berperan serta lebih jauh dalam usaha kebangkitan Islam. Ismail mengatakan, langkah HTI tak terhenti pada penyelenggaraan konferensi ini.
HTI berencana melakukan roadshow ke kampus-kampus. Ismail ingin menghidupkan serangkaian diskusi lebih mendalam mengenai permasalahan-permasalahan yang ada sekarang. Ia akan terus mendorong peran serta kaum intelektual Muslim.
“Bayangkan kalau kaum intelektual itu turun juga untuk menjelaskan tentang syariat, khilafah, ekonomi, sosial, dan politik Islam. Kan, dahsyat itu. Tidak seperti sekarang ini, kaum intelektual jauh dari Islam,” ujar Ismail.
Ia menganggap kaum intelektual Muslim di Indonesia belum solid. Ia mengritik kaum intelektual justru menjadi hamba kapitalisme. Mereka juga banyak yang bertekuk lutut di hadapan penguasa dan korporasi, bahkan korporasi asing.
Mereka melakoninya sekadar untuk memakmuran dirinya sendiri. Lebih jauh, kata Ismail, mereka meninggalkan umat dan tidak peduli terhadap kemungkaran yang terjadi di sekelilingnya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat HTI Muhammad Rahmat Kurnia menekankan khilafah sebagai solusi bagi persoalan yang kini dihadapi umat Islam. Ia mengatakan, khilafah pernah memimpin dunia di segala bidang, termasuk sains, intelektual, dan kajian keislaman.
Khilafah merupakan sistem unik, bukan demokrasi, bukan pula teokrasi. Khilafah menghasilkan sistem hidup yang khas. Landasannya adalah perubahan prinsip kedaulatan di tangan rakyat menjadi kedaulatan di tangan syara.
Artinya, yang menjadi acuan hukum adalah syariat. Landasan berikutnya, perubahan kekuasaan di tangan pemilik modal menjadi kekuasaan di tangan umat. Pemimpin hanyalah yang dipilih oleh umat untuk menetapkan syariat. Bukan ditetapkan putra mahkota, misalnya.
Landasan terakhir adalah menyatukan kaum Muslimin dengan mengangkat hanya satu orang khalifah untuk seluruh dunia. “Dengan begitu, Muslim benar-benat menjadi umat yang satu. Kegagalan kapitalisme saat ini hanya dapat diperbaiki dengan tegaknya khilafah.” Khilafah, Rahmat melanjutkan, merupakan satu-satunya alternatif kembalinya peradaban Islam setelah komunisme hancur dan kapitalisme sedang “sakaratul maut”. Peradaban Islam, ia mengungkapkan, berhasil memimpin dunia selama 12 abad.
Bandingkan dengan Uni Soviet dan ideologi komunis hanya berkuasa 84 tahun. Amerika Serikat (AS) dengan ideologi kapitalismenya berusia 1,5 abad. Rahmat menegaskan, empat mazhab ahlus sunnah memandang wajib adanya khilafah.
Syekh Abdurrahman Al Jaziri, seperti disebutkan Ibnu Hazm, menyatakan bahwa empat imam mazhab sepakat bahwa imamah atau khilafah itu fardhu. [republika/visimuslim.com]
Ia mengatakan, melalui Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals (JICMI) 2013, HTI menyatukan pemikiran intelektual Muslim untuk mewujudkan kembali peradaban Islam. Acara ini berlangsung sejak Sabtu dan berakhir Ahad (15/12).
“Selama ini sudah didengungkan mengenai kebangkitan intelektual, tapi tak jelas arahnya,” kata Ismail, Ahad. Ia mengatakan, arah yang seharusnya sekarang ditempuh adalah Islam. Ini saatnya kembali ke Islam sebagai panduan.
Semua orang sudah tahu bahwa kapitalisme tumbang. Demikian pula, sosialisme yang kini telah ditinggalkan. Ismail mengatakan, pemberian arah ini ditempuh dengan menghimpun para intelektual di JICMI. Paling tidak ada dua tujuan konferensi tersebut. Yaitu, memaparkan konsep Islam dalam menangani berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia.
Persoalan itu mengerucut pada tujuh hal, yakni perubahan politik global dan dampaknya pada negeri Muslim, tantangan tata kelola pemerintahan, ekonomi, kesehatan, dan ketahanan pangan, manajemen energi dan sumber daya alam, perempuan dan keluarga, serta pendidikan dan iptek.
Konferensi ini juga bertujuan membangun jaringan di antara intelektual Muslim dan mendorong mereka berperan serta lebih jauh dalam usaha kebangkitan Islam. Ismail mengatakan, langkah HTI tak terhenti pada penyelenggaraan konferensi ini.
HTI berencana melakukan roadshow ke kampus-kampus. Ismail ingin menghidupkan serangkaian diskusi lebih mendalam mengenai permasalahan-permasalahan yang ada sekarang. Ia akan terus mendorong peran serta kaum intelektual Muslim.
“Bayangkan kalau kaum intelektual itu turun juga untuk menjelaskan tentang syariat, khilafah, ekonomi, sosial, dan politik Islam. Kan, dahsyat itu. Tidak seperti sekarang ini, kaum intelektual jauh dari Islam,” ujar Ismail.
Ia menganggap kaum intelektual Muslim di Indonesia belum solid. Ia mengritik kaum intelektual justru menjadi hamba kapitalisme. Mereka juga banyak yang bertekuk lutut di hadapan penguasa dan korporasi, bahkan korporasi asing.
Mereka melakoninya sekadar untuk memakmuran dirinya sendiri. Lebih jauh, kata Ismail, mereka meninggalkan umat dan tidak peduli terhadap kemungkaran yang terjadi di sekelilingnya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat HTI Muhammad Rahmat Kurnia menekankan khilafah sebagai solusi bagi persoalan yang kini dihadapi umat Islam. Ia mengatakan, khilafah pernah memimpin dunia di segala bidang, termasuk sains, intelektual, dan kajian keislaman.
Khilafah merupakan sistem unik, bukan demokrasi, bukan pula teokrasi. Khilafah menghasilkan sistem hidup yang khas. Landasannya adalah perubahan prinsip kedaulatan di tangan rakyat menjadi kedaulatan di tangan syara.
Artinya, yang menjadi acuan hukum adalah syariat. Landasan berikutnya, perubahan kekuasaan di tangan pemilik modal menjadi kekuasaan di tangan umat. Pemimpin hanyalah yang dipilih oleh umat untuk menetapkan syariat. Bukan ditetapkan putra mahkota, misalnya.
Landasan terakhir adalah menyatukan kaum Muslimin dengan mengangkat hanya satu orang khalifah untuk seluruh dunia. “Dengan begitu, Muslim benar-benat menjadi umat yang satu. Kegagalan kapitalisme saat ini hanya dapat diperbaiki dengan tegaknya khilafah.” Khilafah, Rahmat melanjutkan, merupakan satu-satunya alternatif kembalinya peradaban Islam setelah komunisme hancur dan kapitalisme sedang “sakaratul maut”. Peradaban Islam, ia mengungkapkan, berhasil memimpin dunia selama 12 abad.
Bandingkan dengan Uni Soviet dan ideologi komunis hanya berkuasa 84 tahun. Amerika Serikat (AS) dengan ideologi kapitalismenya berusia 1,5 abad. Rahmat menegaskan, empat mazhab ahlus sunnah memandang wajib adanya khilafah.
Syekh Abdurrahman Al Jaziri, seperti disebutkan Ibnu Hazm, menyatakan bahwa empat imam mazhab sepakat bahwa imamah atau khilafah itu fardhu. [republika/visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Intelektual Satukan Visi "