Tanggapan Atas Tokoh Yang Ucapkan Natal
Ust. Hafidz Abdurrahman |
Pertama: Keharaman Merayakan Hari Raya kaum Kafir dan Mengucapkan Selamat “Hari Raya”
Kaum Muslim
haram mengikuti Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) merayakan Hari Natal
atau hari raya mereka, serta mengucapkan ucapan “Selamat Natal”, karena
ini merupakan bagian dari kegiatan khas keagamaan mereka, atau syiar
agama mereka yang batil. Kita pun dilarang meniru mereka dalam hari raya
mereka.
Keharaman itu dinyatakan dalam al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Pertama, dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً [الفرقان:72]
“Dan
orang-orang yang tidak menyaksikankemaksiatan, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.s. al-Furqan [25]: 72)
Mujahid, dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan, “az-Zûr
(kemaksiatan) itu adalah hari raya kaum Musyrik. Begitu juga pendapat
yang sama dikemukakan oleh ar-Rabî’ bin Anas, al-Qâdhî Abû Ya’lâ dan
ad-Dhahâk.” Ibn Sirîn berkomentar, “az-Zûr adalah Sya’ânain.
Sedangkan Sya’ânain adalah hari raya kaum Kristen. Mereka
menyelenggarakannya pada hari Ahad sebelumnya untuk Hari Paskah. Mereka
merayakannya dengan membawa pelepah kurma. Mereka mengira itu mengenang
masuknya Isa al-Masih ke Baitul Maqdis.”[1]
Wajh ad-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, jika Allah memuji orang-orang yang tidak menyaksikanaz-Zur (Hari
Raya kaum Kafir), padahal hanya sekedar hadir dengan melihat atau
mendengar, lalu bagaimana dengan tindakan lebih dari itu, yaitu
merayakannya. Bukan sekedar menyaksikan.
Kedua, mengenai as-Sunnah, dalil yang menyatakan keharamannya adalah hadits Anas bin Malik ra, yang menyatakan:
قَدَمَ رَسُوْلُ الله [صلم] اَلْمَدِيْنَةَ
وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَا
اْليَوْمَانِ؟ قَالُوْا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ،
فَقَالَ رَسُوْلُ الله[صلم]: إنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ [رواه أبو داود، وأحمد، والنسائي على شرط مسلم]
“Rasulullah
saw. tiba di Madinah, sementara mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua
hari, dimana mereka sedang bermain pada hari-hari tersebut, seraya
berkata, ‘Dua hari ini hari apa?’ Mereka menjawab, ‘Kami sejak zaman
Jahiliyyah bermain pada hari-hari tersebut.’ Rasulullah saw bersabda,
‘Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih
baik: Hari Raya Idul Adhha dan Hari Raya Idul Fitri.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasa’i dengan syarat Muslim)
Wajh ad-dalâlah (bentuk
penunjukan dalil)-nya adalah, bahwa kedua hari raya Jahiliyyah tersebut
tidak diakui oleh Rasulullah saw. Nabi juga tidak membiarkan mereka
bermain pada kedua hari yang menjadi tradisi mereka. Sebaliknya, Nabi
bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik.” Pernyataan Nabi yang menyatakan, “mengganti” mengharuskan
kita untuk meninggalkan apa yang telah diganti. Karena tidak mungkin
antara “pengganti” dan “yang diganti” bisa dikompromikan. Sedangkan
sabda Nabi saw,“Lebih baik dari keduanya.” mengharuskan digantikannya perayaan Jahiliyah tersebut dengan apa yang disyariatkan oleh Allah kepada kita.
Ketiga,
tindakan ‘Umar dengan syarat yang ditetapkannya kepada Ahli Dzimmah
telah disepakati oleh para sahabat, dan para fuqaha’ setelahnya, bahwa
Ahli Dzimmah tidak boleh medemonstrasikan hari raya mereka di wilayah
Islam. Para sahabat sepakat, bahwa mendemonstrasikan hari raya mereka
saja tidak boleh, lalu bagaimana jika kaum Muslim melakukannya, maka
tentu tidak boleh lagi.
‘Umar pun berpesan:
إِيَّاكُمْ
وَرِطَانَةَ الأَعاَجِمِ، وَأَنْ تَدْخُلُوْا عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ
يَوْمَ عِيْدِهِمْ فِيْ كَنَائِسِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَتَنَزَّلُ
عَلَيْهِمْ [رواه أبو البيهقيإسناد صحيح].
“Tinggalkanlah
bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian memasuki (perkumpulan)
kaum Musyrik dalam hari raya mereka di gereja-gereja mereka. Karena
murka Allah akan diturunkan kepada mereka.”(Hr. al-Baihaqi dengan Isnad yang Shahih)
Ibn Taimiyyah berkomentar, “Umar
melarang belajar bahasa mereka, dan sekedar memasuki gereja mereka pada
Hari Raya mereka. Lalu, bagaimana dengan mengerjakan perbuatan mereka?
Atau mengerjakan apa yang menjadi tuntutan agama mereka. Bukankah
melakukan tindakan mereka jauh lebih berat lagi? Bukanlah merayakan hari
raya mereka lebih berat ketimbang hanya sekedar mengikuti mereka dalam
hari raya mereka? Jika murka Allah akan diturunkan kepada mereka pada
hari raya mereka, akibat tindakan mereka, maka siapa saja yang terlibat
bersama mereka dalam aktivitas tersebut, atau sebagian aktivitas
tersebut pasti mengundang adzab tersebut.”[2]
Hal senada juga dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya, Ahkam Ahl ad-Dzimmah,
Juz I/161. Beliau menyatakan, para ulama’ sepakat tentang keharaman
mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka, tidak ada perselisihan
pendapat.
Kedua: Mereka yang Membolehkan
Dr. Quraisy
Shihab menyatakan, memberikan ucapan selamat Natal sudah diajarkandalam
al-Qur’an, seperti tertuang dalam surah Maryam ayat 34.
“Itu tentang Isa putera Maryam, yang merupakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.” (Q.s. Maryam [19]: 34)
Ayat ini sama
sekali tidak membahas tentang hukum kebolehan mengucapkan “Selamat
Natal”. Menurut al-Qurthubi, ayat ini menjelaskan tentang siapa Nabi
‘Isa –‘alaihissalam. Dia adalah putra Maryam, tidak seperti
yang dituduhkan orang Yahudi, sebagai putra Yûsuf an-Najjâr, atau
seperti klaim orang Kristen, bahwa dia adalah Tuhan (anak), atau putra
Tuhan.[3]
Dr. Yusuf
al-Qaradhawi mengatakan, bahwa merayakan hari rayaagama adalah hak
masing-masing agama,selama tidak merugikan agamalain. Termasuk hak tiap
agama untuk memberikan ucapan selamat saatperayaan agama lain. Dia
mengatakan, “Sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak melarangkami untuk
untuk memberikan ucapan selamat kepada non-Muslim warga negarakami atau
tetangga kami dalam hari besar agama mereka. Bahkanperbuatan ini
termasuk dalam kategori al-birr (perbuatan yangbaik).
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(Q.s. al-Mumtahanah: 8)
Kebolehan memberikan mengucapkan selamat ini terutama bila pemeluk agama lain itujuga telah memberikan ucapan selamat kepada kita dalam perayaan hari rayakita:
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (Q.s. an-Nisa’: 86)
Begitu, kata Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Padahal, Q.s. al-Mumtahanah: 8 di atas, khususnya frasa “Tabarrûhum wa tuqsithû ilaihim”(berbuat
baik dan berlaku adil kepada mereka) tidak ada kaitannya dengan
mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada kaum Kafir yang tidak memerangi
kita. Karena bersikap baik dan adil kepada mereka dalam hal ini terkait
dengan mu’amalah, bukan ibadah.Sedangkan mengucapkan “Selamat
Hari Raya” kepada mereka bagian dari ibadah. Konteks ayat ini terkait
dengan Bani Khuza’ah, dimana mereka menandatangani perjanjian damai
dengan Nabi untuk tidak memerangi dan menolong siapapun untuk
mengalahkan baginda saw, maka Allah perintahkan kepada baginda saw untuk
berbuat baik, dan menepati janji kepada mereka hingga berakhirnya waktu
perjanjian.[4] Jadi,
konteks “berbuat baik” di sini sama sekali tidak ada kaitannya dengan
“Selamat Hari Raya” kepada mereka, yang merupakan bagian dari “berbuat
baik”.
Demikian juga dengan Q.s. an-Nisa’: 86. Ayat ini menjelaskan tentang tahiyyah (ucapan salam) yang disampaikan kepada orang Mukmin. Tahiyyah juga
bisa berarti doa agar diberi kehidupan. Menurut at-Thabari, “Jika
kalian didoakan orang agar diberi panjang umur, maka diperintahkan untuk
mendoakannya dengan doa yang sama.”[5]Namun, menurut al-Qurthubi, tahiyyah di
sini bisa berarti ucapan salam. Jadi, “Jika kalian diberi salam, maka
jawablah salamnya dengan lebih baik.” Hanya, menurut al-Qurthubi,
balasan lebih baik ini dikhususkan kepada orang Islam, jika mereka yang
mengucapkan salam. Jika yang mengucapkan salam orang Kafir, termasuk
Ahli Dzimmah, maka tidak boleh membalas salam mereka, kecuali dengan
jawaban yang diajarkan oleh Nabi, “Wa ‘alaikum.” [6]
Jadi,
menggunakan ayat ini untuk membolehkan kaum Muslim mengucapkan “Selamat
Hari Raya” kepada kaum Kafir jelas tidak tepat. Bahkan, bertentangan
dengan sejumlah dalil, baik al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ Sahabat.
Meski begitu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi secara tegas mengatakan, bahwa
tidak
halal bagi seorang Muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan khas agama
lain.
halal bagi seorang Muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan khas agama
lain.
Adapun Dr.
Mustafa Ahmad Zarqa’ menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secarategas
melarang seorang muslim mengucapkan selamat kepada orang Kafir.Beliau
mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut jenazah tersebut.
Menurut beliau,
ucapan “Selamat Hari Raya” kepada para pemeluk Kristiani yang sedang
merayakan hari besar mereka, juga tidakterkait dengan pengakuan atas
kebenaran keyakinan mereka, melainkanhanya bagian darimujamalah (basa-basi) dan muhasanah seorang
Muslimkepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda agama.Dia juga
memfatwakan, bahwa karena ucapan selamat inidibolehkan, maka pekerjaan
yang terkait dengan hal itu seperti membuatkartu ucapan selamat natal
pun hukumnya ikut dengan hukum ucapannatalnya.
Namun dia juga menyatakan, bahwa ucapan selamat ini harus dibedakan dengan ikut merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan menghadiri
perayaan natal yang digelar di berbagai tempat.Menghadiri perayatan
natal dan upacara agama lain hukumnya haram dantermasuk perbuatan
mungkar.
Mengenai
berdiri atau duduknya Nabi ketika jenazah Yahudi lewat, sebenarnya bukan
dalil khusus, tetapi ini merupakan tindakan yang dilakukan Nabi secara
umum terhadap jenazah, baik Muslim maupun non-Muslim. Karena dalam
riwayat al-Hasan maupun Ibn ‘Abbas dinyatakan, bahwa Nabi terdakang
berdiri dan terkadang duduk, saat ada jenazah melintas di hadapan
baginda saw. Ini juga tidak ada kaitannya dengan mengucapkan “Selamat
Hari Raya” kepada mereka. Karena konteksnya jelas-jelas berbeda.
Tentang pembuatan kartu Natal atau pernak-pernik Natal jelas haram, karena ini menyangkut madaniyyah khâshash yang terkait dengan peradaban lain, di luar Islam, yang nota bene adalah Kufur. Karena itu, hukum membuat, menjual, memanfaatkan dan mengambil harga dan keuntungan darinya juga haram.
Mengenai
pernyataan Menteri agama yang menyatakan, bahwa ini hanyalah masalah
mu’amalah, juga merupakan pernyataan yang tidak cermat. Karena tidak
memilah mana yang ibadah dan mu’amalah. Merayakan Natal Bersama adalah
bagian dari ibadah, yang haram dilakukan oleh kaum Muslim. Bahkan bisa
menjerumuskannya dalam kemurtadan. Sedangkan memberi ucapan “Selamat
Hari Raya” bagian dari mu’amalah yang haram dilakukan oleh kaum Muslim
kepada non-Muslim, apapun alasannya. Apakah untuk mujamalah(basa-basi), yangnota bene adalah sikap nifaq, maupun tasamuh (toleransi).
Pernyataan yang
juga menggelikan adalah pernyataan MUI, yang menyatakan boleh
menghadiri, asal serimonialnya bukan ritualnya. Pernyataan seperti ini
juga batil, yang sama sekali tidak ada dalilnya. Sebab, siapapun yang
menelaah dalil-dalil yang dikemukakan di atas, pasti paham, bahwa
jangankan untuk menghadiri seremoninya, karena melihatnya saja
jelas-jelas tidak boleh.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan:
1- Hukum
mengucapkan “Selamat Natal” atau “Selamat Hari Raya” bagi orang
non-Muslim dalam hari raya mereka jelas haram. Dalam hal ini, menurut
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama’.
2- Hukum
mengikuti ritual maupun seremoni hari raya orang non-Muslim juga haram,
tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’.
3- Membuat kartu atau pernak-pernik natal atau hari raya agama lain juga diharamkan, karena ini menyangkutmadaniyyah khashahyang bertentangan dengan Islam.
4- Dalil-dalil
yang menyatakan keharamannya juga jelas, baik dalam al-Qur’an,
as-Sunnah maupun Ijma’ Sahabat. Sedangkan dalil-dalil yang digunakan
untuk menyatakan kebolehannya sama sekali tidak ada kaitannya, baik
langsung maupun tidak. Karena itu, tidak layak dijadikan hujah dalam
masalah ini.
Wallahu a’lam.
Biodata Penulis
Nama : Hafidz Abdurrahman
TTL : Lamongan, 10 Juli 1971
Pendidikan
Alumnus Ponpes Darul Ulum, Widang, Tuban, Jawa Timur (1989)
Sarjana Bahasa Arab, IKIP Malang, Jawa Timur (1994)
Magister Akidah dan Pemikiran Islam, Univesity of Malaya, Malaysia (2001)
Organisasi
Anggota Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama’ (1986);
Anggota Himpunan Mahasiswa Muslim (1989);
Bendahara Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa Arab, IKIP Malang (1990-1991);
Ketua Umum BDM al-Hikmah, IKIP Malang (1991-1992);
Ketua DPO BDM al-Hikmah, IKIP Malang (1992-1993);
Ketua Dewan Syura BDM al-Hikmah, IKIP Malang (1993-1994);
Ketua Pusat Komunikasi Pusat LDK se-Indonesia (1991-1992);
Ketua Umum DPP HTI (2004-2009);
Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI (2009-sekarang)
Buku
1. Diskursus Islam Politik dan Spiritual, (1998);
2. Metode Praktis Belajar Bahasa Arab,(2003);
3. Metode Belajar Ulumul Qur’an Praktis,(2004);
4. Ushul Fiqih: Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i,(2004);
5. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam,(2003);
6. Membangun Indonesia Tanpa Pajak dan Hutang: Membedah APBN 2005-2010 Versus APBN Khilafah, (2010);
7. Muqaddimah Sistem Ekonomi Islam: Kritik Atas Sistem Ekonomi Kapitalisme hingga Sosialisme Marxisme,(2010);
8. Buku Pintar Bisnis Syar’i: Rancangan Undang-Undang Perdagangan Negara Khilafah, (2011).
Di samping itu,
penulis menerjemahkan belasan kitab adopsi Hizbut Tahrir, tafsir,
sirah, ushul fiqh dan menulis ratusan artikel di berbagai media massa
nasional.[globalmuslim/visimuslim.com]
[1] Lihat, Ibn Taimiyyah,Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/537; Anis, dkk, al-Mu’jam al-Wasith, Juz I/488.
[2] Lihat, Ibn Taimiyyah, Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/515.
[3] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz XI/105.
[4] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz XVIII/59.
[5] Lihat, at-Thabari, Tafsir at-Thabari, Juz V/119.
[6] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz V/297.
Posting Komentar untuk "Tanggapan Atas Tokoh Yang Ucapkan Natal "