Ditangkal dan Tawakal, Inilah Cara Khilafah Mensikapi Bencana
Nilometer yang dibangun al-Farghani untuk peringatan dini banjir Sungai Nil |
Banjir kembali terjadi dan kembali menelan korban . Di Jakarta,
banjir sekecil apapun akan berakibat macet amat parah hingga ke daerah
yang tidak kebanjiran. Dan kalau sudah musim bencana ini, tiba-tiba
kita seperti diingatkan lagi, bahwa Indonesia memang bukan hanya negeri
yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga negeri dengan potensi
bencana alam yang berlimpah.
Kita berada tepat di batas-batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia
dan Pasifik. Kita punya 129 gunung api aktif. Semua ini berpotensi
gempa, longsor, tsunami dan erupsi yang mampu menghancurkan kehidupan
dalam seketika. Kita juga berada di persimpangan angin dan arus laut
antara Asia – Australia dan antara Hindia – Pasifik. Maka bencana
banjir, abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga
kebakaran hutan juga rajin berkunjung.
Namun, kenyataannya bangsa ini masih belum banyak belajar.
Seharusnya mereka adalah maestro-maestro dunia dalam menghadapi
bencana. Seharusnya bangsa-bangsa lain banyak belajar ke Indonesia.
Namun yang terjadi, bencana belum benar-benar ditangkal, namun baru
dihadapi dengan sebatas tawakal.
Apakah demikian juga yang terjadi di masa lalu, ketika Daulah Islam masih tegak?
Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga bersentuhan
dengan berbagai potensi bencana alam. Wilayah sekitar gurun di Timur
Tengah dan Afrika Utara amat rawan kekeringan. Lembah sungai Nil di
Mesir atau sungai Eufrat-Tigris di Irak amat rawan banjir. Sementara
itu Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga masih sangat rawan
gempa. Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18
belum diketahui pasti penyebab maupun obatnya datang menghantam,
misalnya cacar (variolla) atau pes. Namun toh Daulah Islam tetap
berdiri tegak lebih dari 12 abad. Kalaupun Daulah ini kemudian sirna,
itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena
kelemahan di antara mereka sendiri, terutama elite politisnya, sehingga
dapat diperalat oleh para penjajah untuk saling bertengkar, membunuh dan
memusnahkan.
Untuk menangkal kekeringan (yang penyebabnya kini telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-NiƱo)
para penguasa Muslim di masa itu telah membangun bunker gudang
makanan. Bunker ini biasanya berupa ruangan di bawah tanah yang dijaga
agar tetap kering. Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum,
kurma, minyak goreng dan sebagainya yang cukup untuk persediaan selama
dua musim. Bunker ini tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila
ada bencana tetapi juga persiapan bila ada serangan musuh yang mengepung
kota. Saat Perang Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya menemukan
beberapa bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya
beberapa puluh tahun. Yang luar biasa, hampir semua bahan makanan di
bunker itu masih bisa dikonsumsi.
Sementara itu untuk antisipasi banjir, para penguasa Muslim membangun
bendungan, terusan dan alat peringatan dini. Insinyur Al-Farghani
(abad 9 M) telah membangun alat yang disebut Nilometer untuk
mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai
tempat. Setelah bertahun-tahun mengukur, al-Farghani berhasil
memberikan prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning system ala
al-Farghani. Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan
bendungan. Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun
bendungan itu. Adalah Ibn al-Haitsam yang akhirnya memenangkan kontrak
pembangunannya. Namun tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna
menentukan lokasi untuk bendungan, dia tertegun menyaksikan
piramid-piramid raksasa yang dibangun Fir’aun. Dia berpikir, “Fir’aun
yang sanggup membangun piramid saja tak mampu membendung sungai Nil,
apalah artinya aku?” Karena malu dan takut menanggung konsekuensi
karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila,
sehingga oleh penguasa Mesir dia dikurung di rumah dan hartanya diawasi
negara. Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam mendapat waktu
untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga akhirnya menjadi
Bapak Optika. Dia baru dilepas beberapa tahun setelah penguasa Mesir
ganti dan orang sudah mulai lupa kasusnya. Meski Ibn al-Haitsam tak
berhasil membangun bendungan di masanya, namun fisika optikanya adalah
dasar bagi Galileo dan Newton dalam mengembangkan mekanika. Dengan
fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil membendung sungai Nil
dengan bendungan Aswan.
Di Turki, untuk menangkal gempa, orang membangun gedung-gedung tahan
gempa. Sinan, arsitek Sultan Ahmet yang fenomenal, membangun masjidnya
itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola
lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara
merata. Semua masjid yang dibangunnya juga diletakkan pada tanah-tanah
yang menurut penelitiannya saat itu cukup stabil. Gempa-gempa besar di
atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tak membuat
dampak sedikitpun pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di
Istanbul yang justru roboh.
Jadi bencana-bencana alam selalu ditangkal dengan ikhtiar, tak cukup
sekadar tawakkal. Penguasa Daulah Islam menaruh perhatian yang besar
agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai
bencana. Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode
peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker
cadangan logistik, hingga melatih masyarakat untuk selalu tanggap
darurat. Aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat
selalu siap menghadapi situasi terburuk. Mereka tahu bagaimana harus
mengevakuasi diri dengan cepat, bagaimana menyiapkan barang-barang yang
vital selama evakuasi, bagaimana mengurus jenazah yang bertebaran, dan
bagaimana merehabilitasi diri pasca kedaruratan.
Para pemimpin dalam Daulah Islam juga orang-orang yang terlatih dalam
tanggap darurat. Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus
dikerjakan dalam situasi normal maupun genting. [Prof. Dr. Fahmi Amhar]
Posting Komentar untuk "Ditangkal dan Tawakal, Inilah Cara Khilafah Mensikapi Bencana"