Mengapa Harus Layanan Kesehatan Sistem Khilafah?
Ilustrasi Kesehatan |
Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Siapa saja yang memasuki pagi hari mendapatkan keadaan aman (dalam) kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya”. (HR Bukhari).
Kesehatan adalah Kebutuhan Dasar Publik, Bukan Barang Komersial
Kesehatan menjadi kebutuhan dasar yang mutlak didapatkan oleh setiap
individu. Kesehatan berpengaruh besar terhadap peran, fungsi dan
produktifitas manusia. Dan negara dengan derajat kesehatan rakyatnya
yang tinggi menunjukkan negara yang sejahtera. Karenanya, Islam
menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan ini sebagai sebuah JAMINAN.
Dengan menugaskan kepada negara sebagai pelaksana layanan, jaminan ini
direalisasikan dengan terlaksananya sejumlah sistem hukum. Mengingat
bahwa kesehatan tidak bisa tegak dengan sendirinya tanpa dukungan sistem
politik, ekonomi dan sosial, karenanya jaminan layanan kesehatan wajib
dijalankan oleh Khilafah sebagai institusi politik Islam.
Khilafah akan mengadakan layanan kesehatan, sarana dan pra sarana
pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa
diskriminasi. Kaya-miskin, penduduk kota dan desa, semuanya mendapat
layanan dengan kualitas yang sama. Negara berfungsi sebagai pelayan
masyarakat, dan tidak menjual layanan kesehatan kepada rakyatnya.
Negara tidak boleh mengkomersilkan hak publik, sekalipun ia orang yang
mampu membayar. Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan
tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua
warga negara.
Berbeda dengan Negara kapitalis yang memandang bahwa kesehatan bukan
hak setiap individu, melainkan menjadi hak istimewa bagi seseorang yang
sanggup membayar biaya kesehatan. Karenanya ia mengkomersilkan
kesehatan kepada rakyatnya sendiri. Tidak ada paradigma penjamin
kebutuhan rakyat, yang ada adalah perantara bagi penyedia layanan
kesehatan untuk dijual. Karenanya, biaya dokter tinggi, harga obat
mahal, biaya pengadaan dan pemeliharaan alat-alat dan sarana kesehatan
dibebankan kepada konsumen. Layanan kesehatan menjadi diskriminatif,
bukan lagi menjadi hak bagi setiap orang. Karena mereka yang miskin
tidak akan sanggup membayar layanan kesehatan yang berkualitas.
Layanan Kesehatan Adalah Kewajiban Negara, Bukan Korporasi
Islam menetapkan bahwa institusi Khilafah yang dipimpin Kholifah,
adalah penanggungjawab layanan publik. Negara wajib menyediakan sarana
kesehatan, rumah sakit, obat-obatan, tenaga medis, dan sebagainya secara
mandiri, karena itu adalah tanggungjawabnya. Rasulullah SAW bersabda:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Seorang Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
Rasulullah SAW dan para Khalifah telah melaksanakan sendiri layanan
kesehatan. Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi SAW (sebagai
kepala negara) mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi
SAW mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Beliau menjadikannya
sebagai dokter umum bagi masyarakat. Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa serombongan orang dari Kabilah
‘Urainah masuk Islam lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku
kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta
zakat yang dikelola Baytul Mal di dekat Quba’ dan diperbolehkan minum
air susunya sampai sembuh. Al-Hakim meriwayatkan bahaw Khalifah Umar bin
Khaththab memanggil dokter untuk mengobati Aslam.
Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan
Negara dan bukan yang lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar
maupun bekerjasama dengan pihak lain (swasta).
Sementara itu di dalam negara dengan ideologi kapitalis, negara tidak
wajib melayani rakyat. Ia bermitra dengan perusahaan penyedia layanan
sebagai rekan bisnis. Kemudian Negara menjual layanan kepada rakyatnya
sendiri. Inilah yang terjadi pada program layanan kesehatan ala
pemerintah Indonesia yang dinamai JKN (Jaminan Kesehatan nasional).
BPJS (Badan Pelayanan Jaminan Sosial) adalah perusahaan asuransi yang
bekerjasama dengan pemerintah menyelenggarakan layanan kesehatan.
BPJS Kesehatan, meski merupakan badan hukum publik, namun
prinsip-prinsip korporasi tetap dijadikan dasar tata kelolanya. Hal ini
ditunjukkan antara lain oleh butir b pasal 11, tentang wewenang BPJS,
yaitu, “menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka
pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas,
solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai”.
Artinya yang dikehendaki dan yang terjadi adalah pemberian wewenang
tata kelola finansial dan pelayanan publik (pelayanan Kesehatan) kepada
korporasi, yaitu BPJS Kesehatan.
Seperti lazimnya korporasi, maka ia akan menggunakan dana jaminan
sosial sebagai modal untuk pengembangan produknya. Dan ia akan
berorientasi pada keuntungan, bukan pada pemenuhan layanan. Ia akan
jual jasa layanan kesehatan kepada konsumen, dan bukan menjamin layanan
seutuhnya kepada rakyat. Itulah mengapa Islam mengharamkan pengelolaan
layanan publik diserahkan kepada korporasi.
Khilafah Bukan Pemalak Rakyatnya
Mekanisme pembiayaan asuransi dalam JKN, menunjukkan bahwa untuk
mendapatkan hak dasarnya, rakyat harus membayarnya sendiri. Artinya,
jika ingin mendapat layanan kesehatan, maka ia harus membelinya. Meski
pemerintah mengatakan bahwa JKN ini adalah program gotong royong, namun
tidak lebih dari tindakan pengabaian tugasnya sebagai pelayan kebutuhan
publik. Lebih dari itu, yang sesungguhnya terjadi adalah pengambilan
paksa (baca: pemalakan) uang rakyat, karena kepesertaan yang bersifat
wajib. Dalam JKN, kepesertaan wajib tersebut ditetapkan oleh Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional,
butir ke 3, pasal ke 1, yang berbunyi, “Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib”.
Kepesertaan wajib dalam JKN per Januari 2014 ini, akan diberlakukan
bagi 140 juta jiwa (peserta jamkesmas, jamkesda, askes, astek dan TNI/
POLRI). Sedangkan kepesertaan wajib bagi semua penduduk Indonesia
diberlakukan Januari tahun 2019. BPJS Kesehatan mengambil paksa
(memalak) sejumlah uang masyarakat setiap bulan, selama hidup dan tidak
akan dikembalikan, kecuali berupa pelayanan kesehatan sesuai standar
BPJS Kesehatan, yaitu saat sakit. Tidak hanya itu, pemalakan itu semakin
dipertegas dengan adanya sangsi berupa denda sejumlah uang bagi peserta
wajib yang terlambat membayar iuran.
Sementara itu, Khilafah tidak akan memungut biaya kesehatan kepada
rakyatnya, karena itu adalah tanggungjawabnya. Biaya kesehatan yang
cukup besar akan dipenuhi Khilafah dari sumber-sumber pemasukan negara
yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Diantaranya dari hasil
pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang,
minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan
harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup
untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis
untuk seluruh rakyat.
Pembiayaan kesehatan tersebut diperuntukan bagi terwujudnya pelayanan
kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi semua individu masyarakat.
Yaitu mulai dari pembiayaan pembangunan semua komponen sistem kesehatan,
penyelenggaran pendidikan SDM kesehatan untuk menghasilkan SDM
kesehatan berkualitas dalam jumlah yang memadai; penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dengan segala kelengkapannya; industri peralatan
kedokteran dan obat-obatan; penyelenggaraan riset biomedik, kedokteran,
hingga seluruh sarana pra sarana yang terkait dengan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan, seperti listrik, air bersih dan transportasi.
Islam tidak mengenal pembiayaan berbasis pajak, asuransi wajib,
pembiayaan berbasis kinerja, karena semua itu konsep batil yang
diharamkan Allah SWT. Khilafah bukan pemalak rakyatnya.
Layanan Kesehatan Khilafah Berkualitas Unggul
Kendali mutu jaminan kesehatan khilafah berpedoman pada tiga strategi utama, yaitu administrasi yang simple,
segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh personal yang kapabel.
Berdasarkan tiga hal tersebut, layanan kesehatan khilafah memenuhi
kriteria sebagai berikut: a. Berkualitas, yaitu memiliki standar
pelayanan yang teruji, lagi selaras dengan prinsip etik kedokteran
Islam; b. Individu pelaksana, seperti SDM kesehatan selain kompeten
dibidangnya juga seorang yang amanah; c. Available, semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat mudah diperoleh dan selalu tersedia (continuous); e. Lokasi pelayanan kesehatan mudah dicapai (accessible), tidak ada lagi hambatan geografis.
Ketersediaan rumah sakit di setiap satuan kawasan penduduk dengan
tenaga medis terlatih dan ketersediaan sarana yang memadai, mengeliminir
faktor kelalaian manusia. Paradigma hidup sehat yang diedukasi negara
dengan jaminan ketersediaan kebutuhan pokok individu yang cukup,
meniscayakan kualitas kesehatan yang baik. Ditambah dengan kualitas
layanan kesehatan yang berkualitas, lengkaplah kebahagiaan rakyat yang
menjadi warna negara Khilafah.
Sementara layanan JKN ala kapitalis mengadopsi sistem layanan berjenjang yang tidak simple sehingga
sarat resiko. Di tingkat layanan primer yang merupakan syarat utama
setiap orang mendapatkan layanan selanjutnya, tidak diprioritaskan untuk
layanan pengobatan, melainkan upaya promotif agar rakyat hidup sehat.
Dalam mind set JKN upaya promotif preventif dipusatkan pada
pelayanan kesehatan primer dan fungsi dokter keluarga sebagai
kedokteran pencegahan.
Pertanyaannya, apa jadinya bila kompetensi yang dipersiapkan untuk
dokter keluarga justru untuk upaya promotif preventif, demikian pula
dengan fasilitas medis dan lain-lain di pelayanan kesehatan primer ?
Dan apa jadinya bila ada kekurangan fasilitas kesehatan primer?
Mengingat bahwa pasien yang datang adakalanya mereka yang membutuhkan
tindakan lanjut yang cepat dan tepat?
Sementara itu setiap pasien JKN harus mengikuti sistem pelayanan
rujukan. Meski kondisi pasien harus segera mendapat tindakan operasi
karena kegawat-daruratan obstetrik misalnya, atau butuh penanganan
segera oleh dokter spesialis jantung karena kegawat-darutan jantung
misalnya, ia tidak bisa langsung ditangani di pusat layanan primer.
Akibatnya, biasanya karena waktu tunggu yang lama, hambatan
transportasi, terutama pasien kelas III, yang terjadi adalah
keterlambatan penanganan. Tidak saja penyakit semakin parah, bahkan
sering berujung pada kehilangan nyawa pasien. Tragisnya lagi, pasien
JKN yang tidak mengikuti sistem rujukan meskipun karena alasan kebutuhan
medis yang dirasakannya, namun tidak memiliki bukti kegawat-daruratan
medis yang direkomendasikan tempat layanan primer, maka ia harus
membayar sendiri. Dan jika tidak mampu membayar, maka tidak akan
dilayani.
Berdasar pada paparan diatas, maka tidak ada alasan lagi untuk tetap
melanggengkan penerapan sistem kapitalis yang mengkomersilkan setiap
layanan publik. Tidak ada pilihan lain kecuali segera berusaha menegakan
Khilfah yang melayani kebutuhan rakyatnya dengan gratis dan
berkualitas. Hidup dalam naungan Khilafah adalah pilihan logis
disamping menjadi kewajiban bagi umat untuk mewujudkannya. [Ratu Erma R (DPP Muslimah HTI)]
Posting Komentar untuk "Mengapa Harus Layanan Kesehatan Sistem Khilafah?"