Pepesan Kosong Pilkada Serentak
Pada 9 Desember 2015 akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 269 daerah. Berdasarkan data di situs KPU, Pilkada serentak diikuti oleh 830 pasangan calon (paslon). Sebanyak 20 paslon di 9 propinsi, 698 paslon di 224 kabupaten dan 112 paslon di 36 Kota.
Gagal Mewujudkan Tujuan
Mendagri Tjahjo Kumolo dalam Rakornas Persiapan Pilkada Serentak 2015 di Jakarta (4/5) menyatakan, anggaran Pilkada serentak mencapai Rp 6,745 triliun untuk 269 daerah. Angka itu lebih mahal sekitar 30% dari anggaran Pilkada sebelumnya. Menurut dia, Pilkada serentak, sesuai tujuannya, adalah untuk efektifitas dan efisiensi. Namun faktanya, Pilkada serentak justru jauh lebih mahal.
Di sisi lain, menurut Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), angka partisipasi masyarakat dalam Pilkada, termasuk dalam Pileg dan Pilpres, beberapa tahun terakhir cenderung turun (Viva.co.id, 16/11/2015). Menurut dia, itu terjadi karena jarak antara Pilkada, Pileg dan Pilpres terlalu dekat. Pemilih jenuh. Namun, Pilkada serentak tampaknya juga akan gagal mendongkrak tingkat partisipasi pemilih. Tingkat partisipasi pada Pilkada Serentak diprediksi akan turun. Tingkat partisipasi bisa mencapai 60% saja sudah dianggap bagus.
Tak Sesuai Aturan
Pilkada serentak juga membawa cacat besar karena tak sesuai aturan. Sesuai aturan, ambang batas keterpilihan dalam Pilkada adalah 30%. Artinya, pasangan calon yang mendapat suara minimal 30% pada ranking tertinggi bisa disahkan sebagai pemenang Pilkada. Putaran kedua hanya akan dilakukan jika tak satu pun calon meraih suara sah 30% ke atas. Ketentuan ini menyimpang dari rumus 50% + 1 yang menjadi acuan universal demokrasi tentang keterwakilan mayoritas yang sah.
Hasilnya, pemerintahan daerah sebenarnya didukung oleh minoritas. Andai pemenang mendapat suara 35%, artinya dia hanya didukung 35% dari pemilih yang memilih, 65% sisanya tidak mendukung dia. Jika ditambah dengan jumlah pemilih yang golput, dukungan kepada kepala daerah itu lebih kecil lagi. Bayangkan, dalam demokrasi yang mengklaim pemerintahan dengan suara mayoritas, pemimpin yang ada justru hanya didukung oleh sebagian kecil masyarakat. Ironisnya, hal ini tetap dianggap sah.
Tak Masuk Akal
Menurut mantan Mendagri Gamawan Fauzi dalam desertasinya tentang hubungan antara Pilkada langsung dan perilaku korupsi, salah satu faktor pemicu korupsi adalah besarnya biaya yang harus dibelanjakan oleh para calon dalam Pilkada langsung. Faktor pemicu lainnya adalah gagalnya sistem rekrutmen di lingkungan parpol yang tidak menjadikan kualitas dan kemampuan sebagai syarat pengajuan kandidat kepala daerah.
Biaya tinggi pencalonan itu sudah jadi rahasia umum. Ongkos “perahu” atau “mahar” politik juga masih terjadi. Biaya tinggi juga ditandai oleh maraknya baliho, iklan, pertemuan, penggalangan suara dan kegiatan-kegiatan kampanye lainnya. Semua itu tentu butuh biaya besar. Total bisa mencapai 10 miliar bahkan lebih.
Jumlah besar itu tak mungkin bisa kembali hanya dari pendapatan resmi kepala dan wakil kepala daerah. Sesuai Keppres No. 68 tahun 2001, gaji pokok gubernur Rp 3 juta. Sesuai Keppres No. 59 tahun 2003, tunjangan jabatan gubernur sekitar Rp 5,4 juta. Jadi total gaji gubernur hanya Rp 8,4 juta. Untuk wagub, gaji pokok sekitar Rp 2,4 juta dan tunjangannya Rp 4,32 juta. Totalnya hanya Rp 6,72 juta perbulan.
Sesuai Keppres No. 68 tahun 2011, gaji pokok bupati dan walikota Rp 2,1 juta, tunjangannya Rp 3,78 juta; totalnya Rp 5,88 juta perbulan. Untuk wakil walikota dan wakil bupati, gaji pokok Rp 1,8 juta dan tunjangan Rp 3,24 juta; totalnya Rp 5,04 juta perbulan.
Menurut Yuna Farhan dari FITRA (Viva.co.id, 12/2/2013), pendapatan resmi kepala dan wakil kepala daerah bukan hanya dari gaji dan tunjangan. Sesuai PP No. 69 tahun 2010, kepala daerah juga memperoleh insentif dari pemungutan pajak dan retribusi daerah. Besarnya 6 sampai 10 kali dari gaji plus tunjangan, tergantung jumlah pendapatan pajak dan retribusi Daerah itu. Untuk daerah yang miskin pajak dan retribusi daerahnya, minimal seorang gubernur akan memperoleh penghasilan bulanan sebelum dipotong pajak Rp 58,8 juta dan bupati/walikota Rp 41,1 juta.
Jadi tak masuk akal dengan biaya politik begitu tinggi justru orang bersaing jadi kepala daerah. Yang “masuk akal”, status kepala daerah itu akan bisa mendatangkan pengembalian modal politik di luar pendapatan resmi itu. Di situlah, korupsi, manipulasi, kolusi dan mengakali aturan hampir pasti terjadi.
Pepesan Kosong
Akibat dari semua itu, Pilkada serentak hanya memberikan pepesan kosong. Hasil Pilkada Serentak pada akhirnya tak beda dari Pilkada sebelumnya. Pertama: Kekuasaan tetap dikendalikan oleh sekelompok kecil elit daerah. Sebabnya, paslon hampir semuanya berasal dari petahana dan elit politisi daerah dari DPR, DPRD I dan DPRD II, elit birokrasi daerah, PNS dan pengusaha.
Kedua: Korupsi, suap dan penyalahgunaan wewenang akan tetap marak. Untuk mengembalikan modal pencalonan yang mustahil ditutup dari pendapatan resmi, terjadilah korupsi, penyalahgunaan wewenang dan anggaran, atau tindakan memperdagangkan kekuasaan dan wewenang seperti dalam pemberian berbagai ijin.
Ketiga: Perselingkuhan penguasa dengan pengusaha akan terus berlanjut. Pengusaha memodali paslon. Imbalannya, proyek-proyek akan diserahkan kepada pengusaha itu melalui “pengaturan” tender, meloloskan proyek-proyek yang disodorkan oleh pengusaha atau cara lainnya.
Keempat: Akibat dari semua itu, pemimpin daerah akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya, kelompok, partai dan pemodalnya. Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan dipinggirkan.
Pemimpin Dukungan Rakyat
Berbeda dengan demokrasi, Islam menetapkan bahwa wewenang menunjuk dan memberhentikan kepala daerah ada di tangan Khalifah/Imam sebagai kepala negara. Ia berwenang memberhentikan kepala daerah kapan saja dengan atau tanpa sebab. Hal itu ditunjukkan oleh sirah Rasul saw dan ijmak Sahabat.
Dengan itu kepala daerah khususnya dan pejabat serta masyarakat umumnya paham bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan biasa, bisa diberhentikan kapan saja. Dengan begitu, jabatan kepala daerah tidak akan diagungkan. Orang juga tidak akan terdorong untuk mengejar jabatan itu seperti sekarang.
Lalu bagaimana dengan peran rakyat? Dalam Islam, rakyat sangat menentukan kelangsungan seorang kepala daerah. Jika penduduk suatu daerah menampakkan ketidakridhaan dan mengadukan kepala daerahnya, maka Khalifah wajib memberhentikan kepala daerah tersebut.
Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah memberhentikan Saad bin Abi Waqash semata-mata karena ia diadukan oleh masyarakatnya. Khalifah Umar berkata tentang itu, “Saya tidak memberhentikan dia karena dia tidak mampu atau karena pengkhianatan.”
Ibn Saad di dalam Ath-Thabaqât al-Kubrâ (iv/360-361) menuturkan riwayat dari Muhammad bin Umar: Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada al-‘Ala’ bin al-Hadhrami agar menghadap bersama 20 orang dari Abdul Qays. Ia pun menghadap bersama 20 orang dari mereka yang dipimpin oleh Abdullah bin ‘Auf al-Asyaj. Al-‘Ala’ menunjuk pelaksana atas Bahrain al-Mundzir bin Sawa. Delegasi itu mengadukan al-‘Ala’ bin al-Hadhrami. Karena itu Rasulullah saw memberhentikan dia dan mengangkat Aban bin Said bin al-‘Ash. Beliau berkata kepada dia, “Mintalah nasihat kebaikan kepada Abdul Qays dan hormati para tokoh mereka.”
Dengan ketentuan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah seperti itu, pengangkatan kepala daerah dalam sistem Islam akan:
Pertama, sangat efektif dan efisien, biaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Problem biaya politik tinggi dan akibatnya tidak akan terjadi. Uang rakyat tak tersedot untuk Pilkada yang hasilnya jauh dari harapan layaknya saat ini.
Kedua, pertanggungjawaban kepala daerah akan terjamin. Kepala daerah bisa diberhentikan segera jika melakukan pelanggaran atau kezaliman, lamban dan tidak cepat tanggap, bahkan tanpa kesalahan sekalipun termasuk untuk penyegaran dan peningkatan. Program Pemerintah akan berjalan efektif. Keharmonisan pemerintah dari pusat hingga struktur aparatur paling bawah terwujud.
Ketiga, partisipasi rakyat akan tinggi dan kontrol terhadap kepala daerah akan mudah. Pada proses awal, rakyat dan wakil mereka bisa memberikan masukan sosok kepala daerah yang diinginkan. Khalifah akan sangat terdorong memenuhi aspirasi itu. Sebab, jika rakyat atau wakil mereka menampakkan ketidakridhaan atas kepala daerah itu, khalifah harus memberhentikan dia. Partisipasi rakyat dalam mengontrol kepala daerah akan bangkit.
Wahai Kaum Muslim:
Semua itu akan menjadi jaminan sehingga kepala daerah akan menjadi sosok penguasa daerah yang benar-benar melayani kepentingan rakyat. Namun harus diingat, hal itu hanya akan terwujud jika syariah Islam diterapkan secara kâffah. Tentu juga hanya bisa dengan sistem Islam, yaitu Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus sesegra mungkin diwujudkan bersama. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 783, 22 Shafar 1437 H – 4 Desember 2015 M] [www.visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Pepesan Kosong Pilkada Serentak"