Meneropong Masa Depan Suriah Pasca Revolusi

Oleh: Mizan al-Lamunjaniy

Pada tanggal 8 Desember 2024, Presiden Bashar Assad berhasil digulingkan oleh kelompok oposisi. Kelompok oposisi yang dipimpin oleh HTS (Hayat Tahrir al-Syam). Sebenarnya serangan kilat kelompok oposisi ini dimulai pada 27 Nopember 2024 dengan berhasil menguasai Aleppo hingga merambat menguasai Homs dan Damaskus. Sedangkan Bashar Assad sendiri melarikan diri ke Rusia. 

Istilah oposisi Suriah merujuk kepada kelompok-kelompok politik yang berseberangan dengan semua kebijakan Presiden Bashar Assad. Kelompok oposisi ini memiliki latar belakang ideology yang berbeda dan kepemimpinan yang beragam. Ada yang berhaluan nasionalis sekuler dan Islamis. 

Kelompok Hay’at Tahrir al-Sham

HTS merupakan kelompok oposisi dari Islam sunni yang ikut aktif berperan di dalam perang saudara di Suriah. Kelompok ini dibentuk pada 28 Januari 2017 sebagai penggabungan antara Jabhat Fatih al-Sham (dulu Jabhat Nushroh), Front Ansharuddin, Jaysyul Sunnah, Liwaul Haq dan Gerakan Nuruddin Zanki. Penyatuan ini diinisiasi oleh seorang komandan Islamis, Abu Jaber al-Syaikh, amir ke-2 Ahrar al_syam. 

Ahrar al-Syam ingin upaya perlawanan ini sebagai jihad rakyat guna menggulingkan Rezim Bashar Assad dan mengusir Hizbulloh dari Suriah. Selanjutnya, akan bisa dibentuk pemerintahan Islam. Padahal setelah penyatuan ini, HTS hanya ingin menggulingkan rejim Bashar Assad. Jadi tidak ada keinginan dari HTS untuk membentuk pemerintahan Islam. 

HTS mendapat sokongan dari Turki. Pada tahun 2017, HTS mengijinkan pasukan Turki untuk berpatroli di suriah barat laut sebagai bagian dari gencatan senjata melalui negosiasi Astana. Negosiasi Astana merupakan pertemuan antara pemerintah Suriah dengan pihak oposisi, namun gagal menemukan kesepahaman. 

Tentara Nasional Suriah (SNA)

SNA terdiri dari militer yang berseberangan dengan rejim Assad. SNA juga didukung oleh Turki untuk menggulingkan Rejim Bashar al-Assad. Selain berperang dengan pasukan Rejim Assad, SNA juga berperang dengan SDF (Pasukan Demokratik Suriah). 

SDF juga anti dengan Rejim Assad. Oleh karena itu, selain memerangi pasukan Rejim al-Assad, SDF juga berperang melawan SNA. Baik SDF maupun SNA sama-sama ingin mengakhiri rejim al-Assad. Bagi Turki, SDF ini disebut sebagai pasukan teroris. 

SNA merupakan aliansi dari beberapa faksi yang dekat dengan Turki, seperti Brigade Sultan Sulaiman Syah dan Divisi Sultan Murad. SNA dibentuk untuk mencegah dominasi HTS di wilayah yang telah dibebaskan. Peran SNA pasca kejatuhan Rezim Assad adalah menekan HTS agar pemerintahan yang dibentuk merupakan kolaborasi antara HTS dengan SNA, dewan local serta kelompok masyarakat sipil dari berbagai lapisan masyarakat di Suriah. Tentunya HTS sendiri memerlukan legitinasi politik untuk membangun pemerintahan Suriah pasca Al-Assad mengingat statusnya sebagai kelompok teroris. Jadi HTS perlu untuk mendapat dukungan luas dari semua aliansi di Suriah. 

SDF (Pasukan Demokratik Suriah)

SDF merupakan kelompok militer multi etnis (Arab dan Kurdi) yang ikut bertempur dalam perang sipil di Suriah. SDF ini mendapat sokongan dari AS, Inggris, termasuk Perancis. SDF dibentuk untuk memerangi kelompok teroris ISIS dan kelompok jihadis lainnya seperti Jabhat Nushra dan lainnya. Di samping itu, SDF ingin menggulingkan Rejim Assad. Tujuan dari SDF adalah akan membentuk negara federal di bagian utara Suriah. 

Bagi Tuki, SDF ini berafiliasi dengan PKK (Partai Pekerja Kurdistan). Sedangkan PKK sendiri dikelompokkan sebagai teroris oleh AS, Turki dan Uni Eropa. Meskipun begitu, bagi Washington, SDF adalah kelompok yang penting untuk mencegah kebangkitan ekstrimis di kawasan Turki utara. Artinya AS akan tetap menggunakan proksinya dari kalangan milisi yang sejalan dengan kepentingan AS di kawasan guna mencegah dan memberantas kelompok teroris dan ekstrimis dari kalangan Islam tentunya. 

Potensi Strategis Suriah dan Persaingan Kekuatan Regional-Global

Suriah dipandang mempunyai potensi strategis di kawasan regional dan global. Tentunya tidak mengherankan bila negara-negara di kawasan Timur Tengah memperebutkannya, seperti Turki maupun Iran. Bahkan negara besar seperti AS dan Rusia juga ikut menjadi aktor utama perebutan dan konflik di Suriah. Tidak jarang melalui proksinya, mereka mendesain untuk mengamankan kepentingannya di Timur Tengah, dan Suriah khususnya.

Adapun potensi strategis Suriah bisa dilihat dari aspek geostrategis dan potensi SDA-nya. Secara geostrategis bisa dilihat dari beberapa hal berikut ini.

Pertama, Suriah menjadi jantung Timur Tengah. Suriah terletak di persimpangan Benua Asia, Eropa dan Afrika. Hal demikian menjadikan Suriah merupakan poros utama dalam politik regional, strategi militer dan pertukaran budaya.

Ditambah lagi, Suriah berbatasan dengan Laut Mediterania di sebelah barat. Sementara itu di Laut Mediterania terdapat pelabuhan Kota Lattakia yang menjadi pusat aliran minyak dan gas dari Timur Tengah ke Eropa dan sebaliknya.

Kedua, Suriah berbatasan dengan negara-negara tetangga yang strategis. Turki di utara. Irak di timur. Yordania di selatan. Sedangkan di barat daya berbatasan dengan Israel dan Libanon. 

Posisi Suriah ini menjadi pintu penghubung antara dunia Arab dengan Eurasia. Adapun Eurasia (gabungan Eropa dan Asia) mempunyai jumlah penduduk lebih dari 5,4 milyar orang di tahun 2023. Tentunya Suriah bisa mempengaruhi aspek politik, ekonomi dan militer di kawasan. Bahkan Suriah menjadi daerah penyangga saat terjadi konflik di negara tetangganya.

Ketiga, Suriah adalah Persimpangan peradaban. Suriah menjadi jalur sutra kuno bagi aliran barang dan jasa yang menghubungkan barat dan timur. Kota Palmyra menjadi kota transit utama. Sejak 2000 tahun yang lalu, Kekaisaran China mengenalkan kerajinan sutranya ke dunia barat melalui kota Palmyra di Suriah.

Apalagi Suriah berada di tengah simpul jalur sutra. Ke Utara menghubungkan Eropa dan ke selatan ke Afrika. Artinya menguasai Suriah sama dengan menguasai separuh jalur sutra perdagangan dan militer.

Sedangkan potensi ekonomi Suriah bisa dilihat dari aspek berikut ini.

Pertama, Ladang minyak Suriah cukup besar. Bahkan Suriah termasuk produsen minyak dan gas bumi. 

Di sepanjang aliran Sungai Eufrat, tepatnya di Propinsi Dier Az-Zor dan Haskeh, terdapat 1.322 ladang migas dan  25 sumur migas. Di awal tahun 2000-an, Suriah mampu memproduksi 600 ribu barrel per hari menyamai produksi Mesir. Di tahun 2023, Suriah mampu memproduksi 400 ribu barrel per hari. Artinya Suriah memang kecil wilayahnya, akan tetapi mengandung potensi ekonomi yang besar. Hanya saja konflik yang berkepanjangan menjadikan ladang-ladang migas ini dikuasai oleh aliansi-aliansi militer di Suriah. Seperti suku Kurdi yang menguasai sekitar 80 persen migas di Suriah, meskipun SDF yang bertransaksi menjual migas ke pemerintah Suriah.

Kedua, Sepanjang daerah dataran rendah di Suriah terdapat pertanian kacang Pistachio. Ada yang menyebut kacang Pistachio merupakan emas merah dari Aleppo. Sebelum sangsi embargo ekonomi PBB, Suriah bisa menghasilkan 80 ribu ton kacang Pistachio yang diekspornya. Harga kacang Pistachio per kg mencapai ratusan ribu hingga 1 juta rupiah.

Termasuk Suriah termasuk yang kaya minyak zaitun. Sebelum perang tahun 2011 dan embargo ekonomi, Suriah mampu memproduksi 198 ribu ton minyak zaitun dalam setahun.

Persaingan di Suriah 

Melihat konflik yang ada di Suriah, tidak bisa kita hanya melihat yang kasat mata yakni antara Rejim Bashar al-Assad versus Kelompok-kelompok oposisi yang dimotori HTS. Akan tetapi sesungguhnya konflik di Suriah adalah konflik yang kompleks. Konflik antara negara besar yang menggunakan proksinya. Bisa disebut terjadi proxy war di Suriah. 

Sekarang mari kita lihat konflik-konflik antara negara proksi terlebih dulu. Di sini ada Turki, Iran, Libanon dan Israel. 

Turki sendiri mempunyai kepentingan di Suriah. Turki kurang sepakat dengan pembentukan negara federasi atau konfederasi setelah tumbangnya Asad. Dikarenakan negara federasi tentunya akan memberikan peluang bagi Kurdi dengan SDF-nya menjadi berdaulat di wilayahnya bagian Utara Suriah. Sementara Turki berbatasan Utara dengan Suriah. Turki mengklaim jika Kurdi ikut andil dalam pemberontakan di Ankara. 

Oleh karena itu, meskipun Turki juga sepakat memasukkan HTS sebagai kelompok teroris seperti AS dan uni Eropa, Turki tetap punya kepentingan untuk memerangi SDF. Oleh karena itu, Turki mendukung HTS dan SNA untuk memukul SDF. Pada saat yang bersamaan, Turki ingin mengurangi dominasi HTS di wilayah yang dikuasainya dengan memanfaatkan SNA.

Sebenarnya Turki ini adalah proksi AS. Jadi meskipun Turki ingin Suriah yang baru itu negara terpusat meskipun demokratis dan seolah menentang federasi, sebenarnya Turki masih dalam orbit kepentingan AS. Turki juga tidak ingin Suriah menjadi otoriter seperti Asad. Apalagi embargo ekonomi AS pada Suriah masa Asad adalah dalam rangka juga untuk mengurangi kediktatoran Rejim, Turki terkena imbas membanjirnya pil Captagon dari Suriah di wilayah Turki. Pil Captagon ini menyumbangkan aset 10 milyar US dollar per tahun bagi pemerintahan Assad.

Qatar diam-diam juga ikut bermain di Suriah. Qatar sejalan dengan Turki untuk mendukung penggulingan Asad dan mendukung HTS. Artinya Qatar dan Turki bahu-membahu memoderatkan HTS. 

Untuk itu Qatar ingin menaikkan reputasi internasional dengan menjadi mediator gencatan senjata dalam perang Israel-Palestina. Qatar ingin mempunyai pengaruh dalam ikut menentukan pemerintahan Suriah yakni gabungan antara Rejim Assad dan oposisi. Di titik ini, Qatar berbeda dengan Turki. Turki menyadari akan masa depan Suriah secara federasi yang nantinya akan menguatkan pemerintahan federasi Kurdi.

Adapun bagi Iran dan Hizbullah, Suriah adalah penyokong utama milisi Hizbullah. Setelah mengalami kelemahan akibat perang dengan Israel, Hizbulloh dan Iran lemah juga pengaruhnya di Suriah. Oleh karena itu di saat pasukan oposisi Suriah menyerang Damaskus, mereka tidak bisa berbuat banyak. Meskipun sebenarnya, berkurangnya perlawanan Hizbulloh tentunya direstui oleh AS sebagai aktor utama penggulingan Bashar Al-Assad. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Iran yang berharap tetap bisa menjalin kerjasama dengan pemerintahan baru Suriah.

Bagi Israel, penggulingan Bashar Asad memberikan angin segar untuk menekan pemerintahan baru yang akan dibentuk. Artinya Suriah yang baru jangan sampai bekerja sama dengan milisi Hizbulloh dan Houthi serta kelompok ekstremis lainnya untuk ikut campur tangan dalam krisis di Gaza. 

Oleh karena itu, Israel bermanuver dengan membombardir beberapa pusat senjata dan amunisi Suriah. Ini juga memberikan pesan kepada HTS agar pernyataan al-Jolani bahwa HTS sudah moderat harus dibuktikan dengan tindakan. Hal demikian sejalan dengan respon AS terhadap HTS bahwa Biden akan mempercayai tindakan bukan omongan terkait HTS.

Demikian beberapa persaingan dan target dari beberapa negara proksi yang ikut andil dalam perang di Suriah dan penggulingan Bashar Asad pada khususnya. Pertanyaannya, bagaimana dengan negara-negara besar aktor utama dalam perang Suriah ini? Tentunya AS dan Rusia.

Sebenarnya baik AS maupun Rusia sepakat untuk memusuhi terorisme yang waktu itu adalah ISIS. Hanya saja dalam perang Suriah, Rusia mendukung Bashar al-Assad untuk memerangi kelompok oposisi terutama dari kelompok Islam seperti Jabhat Nusroh. Oleh karena itu, Rusia mendirikan pangkalan militer di Tartus dan Hmeimem. Tentunya Rusia ingin menguatkan pengaruhnya di Timur Tengah dan mengurangi pengaruh AS lewat NATO.

Pangkalan Rusia di Tartus digunakan untuk mengawasi setiap pergerakan NATO di kawasan. Sedangkan pangkalan Rusia di Hmeimem merupakan pusat logistik dan persinggahan Rusia.

Sejak digulingkannya Asad, Rusia berencana memindahkan pangkalan militernya ke Libya. Rusia juga menangguhkan ekspor gandum ke Suriah dan HTS menolak tawaran bantuan kemanusiaan Rusia. Ini mengindikasikan adanya perpisahan. Rusia akan membangun pangkalan militer permanen di Libya timur dengan persetujuan Khalifa Haftar. Tentu ini akan meningkatkan suhu di kawasan terutama bagi NATO. Artinya Rusia juga enggan melepaskan Suriah begitu saja.

Di sisi lain, AS sendiri juga sangat enggan untuk melepaskan Suriah untuk menentukan arah pemerintahan barunya. Hal demikian terlihat dari yang disampaikan oleh al-Jalali untuk diadakannya Pemilu. Sedangkan al-Joulani sendiri bersusah payah agar HTS dikeluarkan dari kelompok teroris. Apalagi HTS memang membutuhkan legitimasi politik dari berbagai aliansi. Artinya melalui proksinya, AS berhasil menekan HTS untuk tidak berpikir tentang pemerintahan Islam di Suriah. HTS benar-benar dibonsai. AS ingin tetap bercokol di Suriah. Jika tidak ingin boneka Rusia yang akan menduduki tampuk pemerintahan Suriah yang baru.

Suriah Pasca Assad, Akankah Tegak Khilafah?

Setelah berhasil menggulingkan Bashar Asad, HTS berkeinginan untuk memperbaiki kehidupan pemerintahan Suriah yang berkeadilan, menciptakan lapangan kerja dan keamanan. Tentunya hal demikian akan bisa diwujudkan dengan membentuk pemerintahan baru yang mampu menyatukan seluruh kekuatan yang ada di Suriah, terutama seluruh faksi yang terlibat dalam Revolusi Suriah.

Al-Joulani sendiri menyepakati adanya pemilu sebagaimana usulan perdana menteri Suriah yang lama, Al-Jalali. Hanya saja apakah pemilu yang akan digelar nantinya akan mengikuti suara rakyat Suriah, juga belum tentu. 

HTS ini menyimpan dua potensi yang berbeda. Satu sisi HTS menyadari bahwa dalam Revolusi Suriah ini banyak faksi perlawanan yang terlibat. Oleh karena itu, untuk menyatukan Suriah tentunya harus memberikan otoritas otonomi bagi masing-masing faksi. Sedangkan track record HTS sebagai penguasa Idlib, sekarang harus mengendalikan Aleppo, Homsh, Hama, Damaskus. Apalagi Turki juga berkeinginan mengurangi otoritas HTS di wilayah yang dikuasainya. Artinya pemerintahan yang akan terbentuk nantinya adalah Pemerintahan Demokrasi model Federasi. Singkatnya Negara Federasi Suriah.

Tentu untuk menuju model pemerintahan tersebut harus melewati masa transisi yakni pemilu, sebelum diangkatnya perdana menteri yang baru, Muhammad al-Bashir. HTS tercatat memiliki track record membungkam suara yang berbeda, terutama saat berada di Idlib.

Pada 28 Juni 2020, HTS melancarkan penangkapan-penangkapan tokoh-tokoh kelompok jihadis di Idlib, salah satunya kelompok Hurras al-Diin. Selama 2 pekan HTS melancarkan kampanye militer dan politik guna membungkam suara-suara yang tidak sejalan dengan HTS. Media pemerintahan setempat yang didukung HTS menegaskan bahwa tidak boleh ada kelompok bersenjata yang beroperasi di Idlib kecuali yang berafiliasi dengan HTS.

Dan hari ini HTS menunjukkan karakter aslinya yang bersifat represif. Setelah penggulingan Asad, Hizbut Tahrir Suriah (HTS) menyerukan agar perjuangan tidak hanya berhenti pada penggulingan Asad. Agar mengambil sikap yang tegas dan bergerak menuju tegaknya negara Islam,” demikian siaran pers dari Kantor Media Hizbut Tahrir Suriah, yang diterima media-umat.info, Kamis (12/12/2024).

Dalam hal ini, HT mengajak para mujahidin untuk meraih keridhaan dan persahabatan Allah SWT dengan sungguh-sungguh menunjukkan rasa syukur atas kemenangan yang telah Dia berikan sebelumnya.

Dengan kata lain, hendaknya pujian dan rasa terima kasih kepada Allah diwujudkan dalam bentuk pemerintahan berdasarkan syariat-Nya dan tegaknya negara khilafah di atas reruntuhan rezim sekuler yang jahat dan telah lampau.

Reaksi HTS adalah justru menangkapi para pengemban dakwah dan membredel saluran-saluran resmi media HTS (Hizbut Tahrir Suriah). Artinya HTS menolak tawaran pemerintahan Khilafah dari HTS.

Walhasil pemerintahan Suriah pasca tumbangnya Rejim Assad masih berada dalam kendali penjajahan. Meskipun harus diakui, pasca Arab Spring, AS belum berhasil mengganti Rejim bonekanya di Suriah dari Asad kepada boneka lainnya. Artinya AS gagal mengganti bonekanya sebagaimana di Tunisia, Mesir maupun Libya. Rakyat Suriah tetap bersikukuh untuk tidak mau ada intervensi asing dalam penentuan masa depan pemerintahan Suriah pasca Arab Spring. Pertanyaannya, apakah pemerintahan baru Suriah ini akan menghadapi alotnya suara rakyat Suriah yang berbeda dengan suara HTS di sisi lainnya? Sepertinya kekuatan global dengan proksinya akan memainkan peran sentral dalam mengkondisikannya. Turki sendiri sudah diwanti-wanti AS agar ikut membantu menciptakan kondisi yang kondusif bagi perbaikan kehidupan di Suriah. Akankah ini menjadi strategi politik guna membungkam suara suara negara Islam di Suriah yang justru dipropagandakan hanya akan membawa Suriah kepada pengulangan konflik atau perang saudara?

 Jawabannya tentu kembali kepada faksi-faksi Revolusi Suriah. Jika mereka bersatu dalam mengikuti aspirasi umat Islam di Suriah, tentunya revolusi yang diberkahi di Suriah akan terwujud.

Sebuah Ibroh

Apa yang terjadi di Suriah telah memberikan pelajaran bahwa kaum muslimin hari ini lemah. Mereka menjadi bulan-bulanan negara-negara kafir penjajah. 

Arab Spring telah berhasil mengubah wajah pemerintahan di Tunisia dan Mesir. Di Libya, AS menggunakan tangan besi untuk menggulingkan Rejim Khadafi. Berbeda dengan Suriah. AS gagal membuat skenario pergantian bonekanya. Rakyat Suriah tidak begitu saja mudah mengikuti skenario AS. Oleh karenanya, AS membuat menggerakkan proksinya untuk bermain mendukung kelompok-kelompok oposisi terutama dari Islam Sunni. Mereka dipersenjatai dan dilatih melalui agen-agen rahasia. Apalagi wacana menegakkan pemerintahan Islam Khilafah di Suriah. Walhasil AS mendapat batu loncatan untuk memerangi terorisme sekaligus berusaha mengakhiri pemerintahan Bashar Asad yang terkenal diktator dan menciptakan resistensi di kalangan rakyat Suriah. Dan pada waktu yang tepat, boneka harus diganti dengan boneka yang baru. Lantas apakah rakyat Suriah akan dengan mudahnya mengikuti skenario AS?

Jika rakyat Suriah tetap kokoh dan tabah dengan seruan Islam, tentunya ini adalah kemenangan nyata. Umat Islam sudah menyadari bahwa nasib boneka akan dicampakkan begitu saja diganti dengan boneka baru. Pemerintahan yang baru akan tetap tunduk kepada penjajah. Walhasil perjuangan semesta umat harus tetap tegak berdiri bersama seruan Islam, bukan seruan penjajah.

Kokohnya umat Islam di Suriah terhadap Islam tentunya akan mampu menjadi batu sandungan bagi penjajah untuk memaksakan grand design penjajahannya. Hanya saja kokohnya umat ini menuntut ketabahan dalam memberikan tadhiyah hingga nyawa menjadi harganya. Oleh karena itu, aspirasi umat yang kokoh ini harus bergayung bersambut dengan upaya melakukan tholabun nushroh bagi diterapkannya Islam secara paripurna. 

Hanya saja realitas menunjukkan bahwa Revolusi Suriah bukanlah revolusi untuk Islam. Artinya perjuangan bagi tegaknya Islam masih belum selesai. Terjadinya perubahan menuju Islam mensyaratkan adanya 2 hal yakni Kesadaran atas realitas yang rusak dan Kesadaran pada realitas baru sebagai pengganti realitas yang rusak.

Kesadaran umat Islam termasuk di Suriah terhadap realitas rusak oleh penerapan demokrasi di negeri-negerinya masing-masing diarahkan dengan memutus kepercayaan umat terhadap para penguasanya. Para penguasa ini telah menerapkan sistem dholim yang melahirkan banyak kedholiman. 

Selanjutnya umat Islam harus diarahkan dengan penuh kesadaran akan realitas baru pengganti atas realitas rusak yakni penerapan Islam secara paripurna. Sedangkan penerapan Islam secara paripurna hanya bisa terwujud melalui tegaknya Daulah Khilafah Islamiyyah. Umat Islam harus mempunyai kesadaran politik bahwa semua tawaran dari penjajah hanya akan menjauhkannya dari Islam, bahkan justru menjerumuskannya semakin dalam dalam hegemoni penjajahan. Walhasil umat Islam tidak boleh hanya berhenti pada target mengganti rezim yang berkuasa, akan tetapi harus melangkah pada penggantian sistem penjajah menjadi sistem Islam. 

Sementara itu aktifitas Tholabun Nushroh meruapakan metode untuk menegakkan Khilafah. Umat Islam harus merapat dan berada di sekeliling dakwah ideologis. Pasalnya tatkala Tholabun Nushroh diframing sebagai upaya mengemis jatah kekuasaan tanpa ikut bersusah payah perang, maka umat Islam yang akan melakukan pembelaan. Umat Islam yang memiliki kesadaran politik Islam akan mampu menyikapi framing tersebut sebagai upaya penyesatan politik agar aspirasi politik umat mendukung rejim baru yang sesuai arahan penjajah. 

Berikut cuplikan Tholabun Nushroh yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tentunya bila kita cermati maka framing atas Tholabun Nushroh hanyalah hembusan yang ingin membelokkan perjuangan umat. 

Aisyah radhiyallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah SAW. ‘Apakah ada sesuatu yang lebih berat bagimu Ya Rasulullah melebihi peristiwa Perang Uhud? Rasulullah SAW menjawab: 

‘Aku benar-benar telah mendapatkan dari kaummu, apa yang telah aku alami, itu lebih berat ketimbang apa yang pernah kualami. Ketika aku menawarkan diriku kepada putra Abdi Yalil bin Abdi Kulal, salah seorang pemukaThaif. Namun ia tidak mau memenuhi apa yang aku serukan. Aku pun meninggalkannya dengan raut muka penuh kesedihan. Aku merasakan kesedihan hingga di Qam at-Ta’allib’ (Lihat Ibnul Hajjar dalam Fathul Bari, Juz VI/312-315). 

Bani Hanifah telah didatangi Rasulullah SAW di rumah-rumah mereka. Rasulullah SAW mengajak mereka mengimani Allah Ta’ala. Rasul SAW juga menawarkan dirinya kepada mereka. Tetapi mereka menolak seruan beliau SAW. Bahkan tidak ada satupun bangsa Arab yang lebih buruk penolakannya kepada Rasul SAW yang melebihi penolakan Bani Hanifah.

Rasulullah SAW mendatangi Bani Amir bin Sha’sha’ah. Buhairah bin Firas, salah satu tokohnya menyatakan kepada Nabi SAW: ‘Demi Allah, kalau sampai aku mengambil pemuda Quraisy ini, maka dengannya aku akan menguasai bangsa Arab’. Lalu ia bertanya kepada Nabi SAW: ‘Bagaimana menurutmu, bila kami membaiat kamu kemudian Allah memenangkanmu terhadap siapa saja yang menentangmu, apakah kami berhak atas urusan ini setelahmu?’ Nabi SAW menjawab: ‘Urusan ini milik Allah semata. Dia akan memberikannya kepada siapa saja yang dikehendakinya’. Buhairoh menimpali: Kalau begitu kami tidak membutuhkan urusanmu’. (Diceritakan oleh Ibnu Ishaq dengan ringkas).

Mencermati aktifitas Tholabun Nushroh yang dilakukan Rasulullah SAW, beliau melakukannya tanpa lelah. Satu kabilah menolak maka beliau mendatangi kabilah lainnya. Hingga Allah SWT mempertemukan Rasulullah SAW dengan Suku Aus dan Khajraj di Yastrib. Suku Aus dan Khajraj menjadi ahlun nushroh bagi tegaknya Negara Islam pertama di Madinah. Padahal di dalam aktifitas Tholabun Nushroh itu terdapat masyaqqah (kesulitan). Jadi bisa dipahami bahwa melakukan akifitas Tholabun Nushroh itu merupakan kewajiban. 

Dengan demikian Rasulullah SAW telah menggariskan bahwa menuju tegaknya pemerintahan Islam yakni al-Khilafah adalah dicapai dengan metode melakukan Tholabun Nushroh. Satu-satunya alasan Tholabun Nushroh dilakukan adalah semata-mata dalam rangka meneladani Rasulullah SAW untuk mengembalikan tegaknya Syariah dan Khilafah. Dengan istiqomah di jalan yang ditetapkan Rasulullah SAW niscaya Allah Ta’ala akan menurunkan pertolongan-Nya bagi tegaknya Syariah dan Khilafah. Dan pada waktu itulah bergembiralah kaum muslimin atas pertolongan Allah. Itulah saat kemenangan hakiki umat Islam. Wallahu a’lam bishshowab. []

Posting Komentar untuk "Meneropong Masa Depan Suriah Pasca Revolusi"