Pengadilan Militer Tunisia Halangi Hizbut Tahrir Suarakan Kebenaran
Siaran Pers
Pengadilan Militer Tunisia dengan Serampangan Melanggar Semua Aturan Konstitusional dan Hukum untuk Menghalangi Hizbut Tahrir Menyuarakan Kebenaran
Sepanjang sejarahnya yang penuh tragedi, umat Islam telah menghadapi invasi Mongol dan Tatar, Perang Salib, serta Inkuisisi di Andalusia. Namun, belum pernah umat ini menghadapi musuh yang dengan tega mencincang mereka dan membuka pintu neraka bagi mereka. Para penguasa mereka justru menghalangi bantuan yang seharusnya mereka terima, bahkan sekadar bantuan berupa perkataan yang benar dan hak.
Pada akhir pekan lalu, pengadilan militer di Tunisia mengajukan tuntutan terhadap Ustaz Muhammad Nasir Shuweikha, anggota Kantor Media Hizbut Tahrir Tunisia, karena sebuah artikel yang ia tulis di surat kabar Al-Tahrir. Dalam tulisannya, Shuweikha memperingatkan para pengambil kebijakan dan militer di dunia Islam terkait partisipasi mereka dalam latihan militer berkala yang digelar Amerika Serikat di Tunisia bersama negara-negara Afrika Utara dan Mediterania. Ia juga menyoroti permusuhan AS yang terang-terangan terhadap umat Islam secara umum, serta terhadap saudara-saudara kita di Gaza secara khusus.
Bukankah mantan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, saat mengunjungi entitas Yahudi pada 7 Oktober 2023, secara terbuka menyatakan bahwa ia datang bukan sebagai pejabat AS, tetapi sebagai seorang Yahudi? Bukankah pemerintah AS secara eksplisit menyatakan komitmennya untuk mendukung entitas Yahudi dalam setiap tahap pengepungan? Bukankah AS telah mengerahkan armada militernya yang lengkap untuk menguasai Timur Tengah? Bukankah AS dan sekutu kolonial Salibisnya telah mendanai dan secara langsung terlibat dalam pembantaian rakyat Gaza, penghancuran rumah mereka, serta pengusiran mereka dari tanah airnya? Bahkan, mereka mengancam Netanyahu dan kroninya dengan "membuka pintu neraka" jika mereka tidak tunduk. Bukankah ini adalah bentuk permusuhan yang paling nyata?
Meskipun AS secara terang-terangan menunjukkan sikap permusuhannya dengan menyebut para pejuang yang membela tanah air mereka sebagai teroris, sementara para penjajah dari diaspora mereka anggap sebagai korban, serta dengan meremehkan darah kaum Muslim dan mengabaikan kehidupan orang tua, wanita, serta anak-anak, pengadilan militer Tunisia tampaknya mengambil sikap yang berbeda. Padahal, Presiden Tunisia, Kais Saied, secara terbuka menyatakan bahwa "normalisasi adalah pengkhianatan" dan "dukungan untuk Gaza harus tak terbatas"!
Penahanan Ustaz Muhammad Nasir Shuweikha atas tuduhan yang bisa berujung pada hukuman seumur hidup, berdasarkan distorsi terhadap beberapa kalimat dalam artikelnya, sangat bertentangan dengan garis kebijakan negara dan hukum yang berlaku. Secara konstitusional, Tunisia adalah bagian tak terpisahkan dari umat Islam. Segala sesuatu yang terjadi pada umat ini menjadi kepentingan langsung bagi seluruh individunya. Selain itu, pengadilan militer tidak memiliki kewenangan untuk mengadili warga sipil kecuali jika ada unsur militer dalam perkara tersebut.
Undang-Undang Partai Politik No. 87 secara eksklusif memberikan kewenangan kepada Perdana Menteri untuk mengawasi partai politik, bukan kepada pengadilan militer. Selain itu, Keputusan No. 115 yang menggantikan Undang-Undang Pers telah memberikan perlindungan hukum bagi para penulis artikel di media cetak dari tuntutan seperti ini.
Oleh karena itu, penindasan terhadap kaum Muslim, perampasan hak-hak mereka, dan penghancuran kehormatan, harta, serta darah mereka, ditambah dengan upaya menghalangi mereka untuk menyuarakan kebenaran, adalah bentuk kezaliman yang tidak terbayangkan. Lebih menyakitkan lagi jika kezaliman ini justru datang dari pihak yang seharusnya melindungi mereka. Namun, perlu diingat bahwa amar makruf nahi mungkar tidak akan memperpendek umur seseorang, juga tidak akan mengurangi rezekinya.
Posting Komentar untuk "Pengadilan Militer Tunisia Halangi Hizbut Tahrir Suarakan Kebenaran"