Ramadan dalam Bayang-bayang Keterpurukan: Refleksi atas Kondisi Umat Islam dan Analisis Politik Global
Oleh: Ong Hwei Fang
Ramadan, bulan suci yang dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia, seringkali diharapkan menjadi momentum untuk memperbaiki diri, meningkatkan ketakwaan, dan merenungkan perjuangan kolektif umat. Namun, tahun demi tahun, kondisi umat Islam secara global tampaknya belum menunjukkan perubahan signifikan. Meski Ramadan telah berlalu berkali-kali, keterpurukan politik, ekonomi, dan sosial masih menjadi realitas yang harus dihadapi.
Di Indonesia, Ramadan disambut dengan berbagai tradisi dan kegembiraan. Pawai, tablig akbar, dan konvoi kendaraan menjadi pemandangan umum. Namun, di balik euforia tersebut, tersimpan keprihatinan mendalam. Umat Islam di Indonesia masih terjebak dalam berbagai masalah struktural, mulai dari politik oligarki yang korup, kebijakan ekonomi yang tidak pro-rakyat, hingga bencana alam yang semakin sering terjadi akibat eksploitasi lingkungan.
Pemerintah Indonesia, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru seringkali menjadi sumber masalah. Kebijakan seperti pemangkasan anggaran untuk layanan publik demi mendanai proyek-proyek populis seperti Program Makan Siang Gratis, hanya memperburuk kondisi rakyat. Sementara itu, skandal korupsi besar seperti kasus PT Timah dan PT Pertamina menunjukkan betapa sistem pemerintahan yang korup telah menggerogoti kepercayaan publik.
Tidak hanya di Indonesia, umat Islam di seluruh dunia juga menghadapi tantangan serupa. Di Palestina, misalnya, meski gencatan senjata telah diberlakukan, serangan Zionis terhadap warga sipil terus berlanjut. Operasi Iron Wall di Tepi Barat dan pembatasan pergerakan warga di Masjidil Aqsa menjelang Ramadan menunjukkan betapa penjajahan masih menjadi momok yang menghantui umat Islam di sana.
Akar Masalah Umat Islam
Kondisi umat Islam yang terpuruk tidak bisa dilepaskan dari proses sekularisasi dan penerapan sistem kapitalisme-liberalisme secara paksa. Sistem ini telah mengikis spirit perjuangan dan persatuan umat Islam, menggantikannya dengan individualisme dan nasionalisme sempit. Akibatnya, umat Islam kehilangan kekuatan kolektif yang pernah dimiliki pada masa kejayaan Khilafah.
Sekularisasi telah memisahkan agama dari kehidupan publik, sehingga hukum-hukum Islam tidak lagi menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan. Di Indonesia, misalnya, sistem demokrasi yang sekuler telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada kepentingan rakyat. Hal ini terlihat dari maraknya korupsi dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Di tingkat global, umat Islam juga menjadi korban dari sistem kapitalisme yang eksploitatif. Negara-negara adidaya dan korporasi multinasional terus mengeksploitasi sumber daya alam di negara-negara Muslim, sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan penindasan. Kasus Rohingya di Myanmar, Uighur di Cina, dan Muslim India adalah contoh nyata bagaimana umat Islam menjadi korban dari sistem global yang tidak adil.
Ramadan Momentum Perubahan
Dalam konteks ini, wacana tentang Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam global kembali mencuat. Khilafah, yang pernah menaungi umat Islam selama 14 abad, dianggap sebagai solusi untuk mengembalikan kemuliaan umat Islam. Sistem ini tidak hanya mengatur kehidupan individu, tetapi juga mengurus seluruh aspek kehidupan umat, mulai dari politik, ekonomi, hingga pertahanan.
Khilafah diyakini mampu menyatukan umat Islam yang saat ini terpecah-belah oleh batas-batas nasional. Dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, Khilafah diharapkan dapat menjadi pelindung umat dari penindasan dan eksploitasi oleh kekuatan asing. Namun, upaya menegakkan kembali Khilafah tidaklah mudah. Diperlukan keseriusan dan konsistensi dari umat Islam yang sadar akan pentingnya sistem ini.
Dalam pada itu, Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk membangkitkan kembali semangat perjuangan dan persatuan umat Islam. Spirit Ramadan yang penuh dengan ibadah dan ketakwaan seharusnya tidak hanya dimaknai secara individual, tetapi juga kolektif. Umat Islam perlu menyadari bahwa perubahan tidak akan terjadi tanpa upaya serius untuk mengubah sistem yang ada.
Perjuangan menegakkan Khilafah membutuhkan kerja keras dan konsistensi. Umat Islam harus bergerak bersama dalam jemaah dakwah yang konsisten memegang teguh ideologi Islam. Mereka harus menghindari fikrah dan thariqah yang bertentangan dengan Islam, termasuk konsep demokrasi sekuler yang seringkali dianggap sebagai solusi.
Kondisi umat Islam saat ini memang memprihatinkan. Namun, Ramadan bisa menjadi momentum untuk mengubah nasib umat. Dengan mengembalikan spirit perjuangan dan persatuan, serta memperjuangkan tegaknya Khilafah, umat Islam dapat kembali menjadi khairu ummah (umat terbaik) yang memimpin peradaban dunia. Perjuangan ini tidak mudah, tetapi dengan keseriusan dan konsistensi, kemenangan pasti akan datang.
Posting Komentar untuk "Ramadan dalam Bayang-bayang Keterpurukan: Refleksi atas Kondisi Umat Islam dan Analisis Politik Global"