Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Larangan Polwan Memakai Jilbab; Cermin Kegagalan Kapitalisme

Berkembangnya isu pelarangan Polisi Wanita (Polwan) untuk memakai jilbab mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan. Cukup banyak anggota korps polisi wanita (polwan) yang ingin berseragam dengan memakai kerudung. Sayangnya, keinginan itu terbentur peraturan institusinya yang mengatur tentang penggunaaan seragam polwan berkerudung/busana muslimah di luar Polda Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Di Aceh, polwan diperbolehkan memakai kerudung karena daerah tersebut memiliki aturan tersendiri mengenai otonomi. Namun, di daerah lain belum ada aturan seperti itu.

Siti Noor Laila Ketua Komnas HAM menjelaskan pelarangan penggunaan jilbab bagi polisi wanita (polwan) muslim bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Lantaran setiap orang berhak menggunakan hal-hal yang berkaitan dengan agamanya masing-masing. “Penggunaan jilbab itu berkaitan dengan keyakinan yang dianut oleh sebuah agama. Jika penggunaan jilbab terhadap polwan dilarang, maka itu sudah melanggar HAM karena berkaitan dengan keyakinan,” (Republika.co.id, Sabtu 8/6 ).

Wacana keinginan para Polwan yang ingin memakai kerudung ditanggapi positif oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI berjanji untuk memperjuangkan keinginan para polisi wanita (polwan) yang ingin mengenakan jilbab.

Kewajiban Muslimah

Ketika kita berbincang tentang para perempuan yang memeluk agama Islam, bagaimana keadaan mereka saat ini? Kehidupan mereka penuh dengan budaya-budaya non Islami yang semakin mendekatkan diri mereka pada kebiasaan kufur. Ironis memang, perempuan- perempuan yang mengaku Islam malah lebih bangga menggunakan busana ala selebritis dengan pakaian tanktop dan celana pendeknya. Mereka merasa sexy dan mengagumkan dengan pakaian tersebut, lebih tepatnya pakaian “kurang bahan”. Astagfirullah..

Allah telah memberikan batasan yang jelas tentang aurat perempuan yaitu seluruh badan perempuan kecuali muka dan telapak tangan. Sehingga leher perempuan adalah aurat, rambutnya sekalipun sehelai saja juga termasuk aurat. Kepala perempuan dari sisi manapun adalah aurat. Maka semua hal selain wajah dan telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutupi. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’aala surat Al-Ahzab : 59 dan surat Annur: 31.

Al-Qur’an surat An-Nur ayat 31:

Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, danjanganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampakdaripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, danjanganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayahmereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suamimereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudaralaki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanitaIslam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yangtidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengertitentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahuiperhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah,hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Dari sini jelas bahwa menutup aurat bagi muslimah adalah wajib, sekaligus bagian dari kesempurnaan iman. Sebagaimana perintah Allah Subhanahu Wa Ta’aala untuk masuk Islam secara kaffah. Artinya, iman akan berkonsekuensi untuk melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Kewajiban mengenakan Jilbab yang dapat menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan adalah hukum syara’. Bagaimana seharusnya seorang muslimah mentaati Syari’at Allah dengan mengenakan jilbab ketika berada dalam kehidupan umum (di luar rumah).

Pembenaran yang menggelikan

Walaupun para muslimah mengetahui bahwa mengenakan jilbab adalah kewajiban, tetapi kenapa masih banyak juga perempuan yang mengaku Islam tapi lebih memilih berpakaian dengan kiblat barat? Padahal aturan dari AllahSubhanahu Wa Ta’aala ini untuk menjaga, melindung dan memuliakan perempuan, bukannya mengkungkung perempuan seperti yang difitnahkan oleh bangsa barat.

Di satu sisi negeri ini mengkampanyekan kebebasan beragama, namun melarang perempuan muslimah untuk menjalankan kewajiban agama yang diyakininya. Perempuan-perempuan semi telanjang yang mengumbar aurat mereka dibiarkan dengan alasan kebebasan. Namun, wanita-wanita Muslimah yang menutup aurat mereka sebagai cerminan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala justru dipertanyakan dan dipermasalahkan.

Tudingan-tudingan untuk membenarkan larangan jilbab ini pun tidak kalah lucunya. Mereka mengatakan jilbab merupakan simbol belenggu terhadap kebebasan wanita. Padahal wanita Muslimah yang memakai jilbab sendiri tidak pernah merasa bahwa jilbab yang dikenakannya adalah belenggu mereka, karena mereka menjalankannya dengan ikhlas sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala.

Argumentasi bahwa pelarangan menutup aurat bagi Polwan atas alasan aturan seragam dinas, jelas bertentangan dengan hukum syara’. Di samping itu, paham kedaerahan dan kesukuan seolah menguatkan dalih pembolehan menggunakan seragam dinas dengan berkerudung hanya di daerah tertentu. Pembolehan menutup aurat bagi Polwan di Aceh bukanlah dalih pembenaran untuk hanya mengizinkan mereka saja yang menutup aurat, sementara Polwan muslimah di daerah lain dilarang. Aturan demikian jelas bernafaskan pluralisme, yang di dalamnya menyamaratakan tiap agama.

Kapitalisme-Liberalisme Gagal !

Makin nyata, demokrasi makin mengotak-ngotakkan kaum muslimin. Jati diri muslim makin terkikis atas alasan solidaritas suku dan asal daerah. Padahal, mereka seorang muslim yang terikat dengan Hukum Syara’. Bagaimana bisa aturan Islam jadi berbeda-beda untuk daerah yang berbeda seperti ini? Sungguh tidak masuk akal.

Kapitalisme tentu telah menutup pintu dialog tentang masalah ini. Argumentasi yang menggunakan nalar kekuasaan negara bukan nalar intelektual dan kemanusiaan. Ini sekaligus mencerminkan kegagalan ideologi Kapitalisme untuk memenangkan secara intelektual perdebatan ini. Nalar kekuasaan selalu berujung pada larangan.

Larangan atas jilbab bagi polwan hanyalah tindakan putus asa berkedok kebijakan/aturan yang gagal mencoba untuk membendung bertambahnya perempuan Muslim yang menolak liberalisme Barat dan mengadopsi Islam sebagai jalan spiritual, sosial dan jalan politik dalam hidup. Larangan ini merupakan penindasan sistem sekular untuk memaksa perempuan Muslim meninggalkan nilai-nilai Islam mereka dan mengambil nilai-nilai Barat.

Inilah negeri kita. Negeri yang memakai sistem kufur buatan manusia, yang telah membuat kita jauh dari agama yang shahih. Jauh dari fitrah kita untuk beribadah kepada Allah. Jika saja negara kita menerapkan syariat Islam pastilah semua umat muslim di negeri ini baik perempuan maupun laki-laki akan menjadi insan yang taat dan patuh terhadap hukum-hukum Allah Subhanahu Wa Ta’aala.

Demokrasi sebagai sistem kehidupan kufur yang saat ini masih bisa pongah, memang takkan pernah sedikitpun memberikan ruang bagi kaum muslimin untuk melaksanakan aturan Islam secara kaffah. Menutup aurat secara sempurna adalah KEWAJIBAN, bukan HAK. Konsekuensi tidak terlaksananya sebuah kewajiban adalah dosa. Karena pembuat aturan menutup aurat bukan atasan, melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’aala, Sang Khaliq. Dan karena menutup aurat adalah kewajiban individu muslimah, maka dalih dosa kolektif yang ditanggung oleh pembuat kebijakan tidaklah bisa menjadi argumentasi. Itu jelas argumentasi bathil. Wallahu A’lam Bis-Shawaab. [
Henny (Ummu Ghiyas Faris)]

Posting Komentar untuk "Larangan Polwan Memakai Jilbab; Cermin Kegagalan Kapitalisme"

close