Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah HTI Mendaftar Sebagai Ormas Berarti Mencampuradukkan Haq dan Bathil?

 
Pertanyaan & Pernyataan dari Seorang Aktivis Gerakan "Bawah Tanah" (Sekitar Tahun 2008):
"Hizbut Tahrir Indonesia apa bedanya dengan PKS (tidak furqan, berkorporasi dengan pemerintah NKRI)? Karena HTI daftar di Departemen Sosial (DEPSOS)"

Jawaban I (KH. Mushthafa Ali Murtadha’ (Tokoh HTI)) - VIA SMS PANJANG):
  1. HTI bukan daftar di DEPSOS (atau di DEPDAGRI.ed) tapi di DEPKUMHAM. Dengan menyebut HTI tidak furqan artinya HTI tidak memisahkan haq dengan bathil? Karena menurut para ulama’ (misalnya) Al-Imam Ath-Thabari (2/70), makna furqan adalah al-fashlu bainal haq wal bathil (pemisah antara yang haq & yang bathil). HTI mencampuradukkan antara yang haq & yang bathil? Na’udzubillaah tsumma na’udzubillaah,
  2. Sebelum kita kaji bit-tafsil mari kita perhatikan maqalah para ulama’ yang masyhur ketaqwaan, keikhlasan serta ilmunya tentang halal-haram. Imam Asy-Syafi’i ra berkata bahwa yang halal di dalam Daarul Islaam, halal pula di dalam Daarul Kufur, bahwa yang haram di Daarul Islaam juga haram di Daarul Kufur (Kitab Al-Umm, 4/160), dan (dalam hal ini) tidak ada perbedaan di antara para ulama,
  3. Benar bahwa hukum yang berlaku di negeri ini adalah hukum kufur. Lalu apakah registrasi di DEPKUMHAM adalah bertahkim pada hukum kufur/thaghut? Ketika Al-Quraan menyebut orang-orang Yahudi & Nasrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai ’Arbaab’ (QS. At-Taubah : 31), Adi bin Hatim berkata, ”mereka tidak menyembah pendeta dan rahib-rahib mereka?” Nabi pun menegaskan, ”tapi mereka mengharamkan yang halal & menghalalkan yang haram lalu mereka, orang Nasrani & Yahudi, mengikuti mereka, maka itulah (pengertian) bahwa mereka beribadah pada pendeta dan rahib mereka” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/66)
  4. Jadi ketika siapa pun yang menghalalkan yang haram atau sebaliknya, lalu orang-orang mengikutinya, artinya orang-orang tersebut menjadikan mereka sebagai Rabb! Disini HTI perlu tegaskan bahwa kita tidak mengikuti atau membenarkan mereka yang menghalalkan yang diharamkan Allah atau sebaliknya, wal ’iyadzu billaah....
  5. Jika daftar hukumnya bagaimana? Yaa akhil Kariem.. Al-Quran & As-Sunnah tidak melarang kita bermu’amalah di Daarul Kufr sepanjang tidak mengharamkan yang dihalalkan Allah atau sebaliknya. Tentu mu’amalah tersebut ada administrasinya, misalnya berjual-beli barang ada kwitansinya, begitu pula ketika transaksi kredit/cash ada aturannya, kadang complicated kadang simple, tergantung masalahnya. Adakalanya berhubungan langsung dengan negara, dan adakalanya tidak. Misal beli rumah, kita perlu sertifikat, tentu yang mengeluarkan adalah negara, dst. Hal ini sekali lagi (kami tegaskan) secara syar’i mubah dan tidak ada ulama yang terpercaya (‘alim ilmu dan kejujurannya) yang mengharamkannya!
  6. Begitu pula registrasi yang dilakukan HTI, disana tidak ada syarat yang batil, yang mengharamkan yang halal atau sebaliknya, karena jika ada syarat yang seperti itu tentu hal tsb. adalah batil. Nabi saw menegaskan, ”kullu syarthin laisa fii kitabillâh fa huwa bâthilun” (Ibnu Hibban 10/84). Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb

Jawaban II (Sedikit Tambahan & Perincian):

Pertama, menyebut HTI tidak furqan artinya menuduh HTI tidak memisahkan yang haq dengan bathil(?). Karena menurut al Imam Ath-thabari (2/70), makna furqan adalah al-fashlu bainal haq wal bathil (pemisah antara yang haq dengan yang bathil). Apakah HTI mencampuradukkan yang haq dengan bathil? Na'udzu billah tsumma na'udzu billah

Kedua, memang benar bahwa halal dan haram pada darul kufur dan darul Islam adalah sama. Imamunasy-Syafi'i berkata: 'annal halaala fii daaril Islam halaalun fii daaril kufri, wal haraama fi daaril Islam haraamun fii daaril kufri (al-umm, 4/160). Imam Asy-syaukani berkata: 'fainna ahkamasy-syar'i laazimatun lil muslimina fii ayyi makaanin wajaduu, wa daarul harbi laisat binaasikhatin lil ahkaamisy-syar'iyyati aw liba'dhihaa ['sungguh hukum-hukum syara' itu mengikat bagi kaum Muslim di manapun dia berada dan darul harbi tidak bisa menasakh hukum-hukum syara' sec keseluruhan/sebagian'] (as-sailul jaraar, 4/152). Sebagai contoh, uang yang diberikan oleh seorang calon Walikota/Gubernur ketika kampanye adalah tetap dianggap riswah. Mengapa? Sabda Nabi Saw.: "la'natullaahi 'alal raasyi wal murtasyi" (Ibn Majah, 2/775). Dlm kitab aunul ma'bud dijelaskan, Al-qaari berkata: 'maksud (hadits tersebut) yang memberi dan yang mengambil risywah. Yang dimaksud dengan risywah adalah sarana (yg mengantarkan) pada suatu hajah dengan rekayasa. Ada (juga) yang menyatakan bahwa risywah adalah yang diberikan untuk membathilkan yang haq atau menjadikan yg bathil menjadi haq (aunul ma'bud, 8/80). Hal yg sama dinyatakan oleh Al-hafidz Ibn Al-atsir seperti dikutip oleh Ibn Mandzur (lisanul arab, 14/322). Di sisi lain, menjadi gubernur hukumnya adalah haram. Gubernur adalah hakim sebagaimana Presiden. Jadi kita tidak boleh mencalonkan menjadi Presiden atau Gub/Wagub. Maka, hukum memilihpun sama. Dalam hal ini, hukum memberi/menerima uang dalam Pilgub termasuk risywah dan tidak boleh karena Pilgub termasuk aktifts bathil dan menjadikan yang bathil menjadi yang haq. Inilah sehingga memasukkannya ke dalam makna risywah..wallahu a'lam.

Ketiga, para ulama' sepakat bahwa bertahkim pada hukum kufur adalah haram. Wasilah menuju yang haram adalah haram pula. Hukum ini berlaku baik di darul Islam maupun darul kufur. Ketika Al-Qur'an menyebut orang Yahudi dan Nasrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai 'arbaab' (At-Taubah-31), Adi bin Hatim berkata: 'bukankah mereka tidak menyembah pendeta dan rahib-rahib mereka? Nabi Saw. pun menegaskan: "tapi mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Lalu mereka, orang Nashrani dan Yahudi, mengikuti mereka, maka itulah (pengertian) bahwa mereka beribadah pada pendeta dan rahib mereka" (tafsir Ibn Katsir, 2/66). Artinya, siapapun yang menghalalkan yang haram atau sebaliknya, lalu orang-orang mengikutinya, artinya orang-orang tersebut menjadikan mereka sebagai rab!

Keempat, perlu ditegaskan bahwa HTI tidak mengikuti/membenarkan mereka yang menghalalkan yang diharamkan Allah Swt. atau sebaliknya, wal 'iyadhu billah...

Kelima, lantas jika terdaftar sebagai ormas bagaimana? Ya akhil karim.. Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak melarang kita bermu'amalah di darul kufur sepanjang tidak mengharamkan yang dihalalkan Allah atau sebaliknya. Tentu mu'amalah tersebut ada administrasinya, misalnya kita jual-beli barang, kan ada kwitansinya. Begitu juga ketika transaksi kredit atau cash ada aturannya, kadang complicated kadang simple, tergantung masalahnya. Adakalanya berhubungan langsung dengan negara, dan adakalanya tidak. Misalnya, beli rumah. Kita perlu sertifikat, tentu yang mengeluarkan adalah negara, dan betulah seterusnya. Ini sekali lagi secara syar'i mubah dan tidak ada ulama (yang terpercaya) yang mengharamkannya! Begitu pula dengan registrasi dilakukan HTI, di sana tidak ada syarat yang bathil; yang mengharamkan yang halal atau sebaliknya. Karena jika ada syarat yang seperti itu tentu hal tersebut adalah bathil. Nabi menegaskan: "kullu syarthin laisa fii kitabillah fahuwa baathilun" (Ibn Hibban 10/84). wallahu a'lam. [Irfan Abu Naveed]

Posting Komentar untuk "Benarkah HTI Mendaftar Sebagai Ormas Berarti Mencampuradukkan Haq dan Bathil? "

close