Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Al-Hujurat ayat 13 Bukan Dalil Keabsahan Negara Bangsa

Nasionalisme dan batas-batas negara bangsa merupakan corak yang mewarnai peta politik kulit bumi pada hari ini, termasuk di dunia Islam. Kaum muslimin pun hidup terpisah dalam puluhan negara bangsa. Bagi kita yang lahir setelah mapannya negara-negara bangsa tersebut, kondisi yang demikian mungkin terasa lumrah dan memang sudah semestinya. Namun sebenarnya, dalam sejarah umat Islam yang merentang sejauh lebih dari 13 abad, format negara bangsa merupakan barang baruyang memainkan debutnya pada abad XX. Sentimen kebangsaan dan tren negara bangsa di dunia Islam menemukan momentumnya bersamaan dengan matangnya gelora untuk membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan Bangsa Barat. Maka tak heran jika batas-batas negara bangsa di dunia Islam secara umum mengikuti batas-batas pemerintahan-pemerintahan kolonial yang dulu pernah ada. Indonesia adalah contoh terbaik dalam hal ini (baca: meninjau ulang keindonesiaan kita).
 
Legalitas konsep negara bangsa dalam Islam seringkali dasarkan pada Surat Al-hujurat ayat 13. Dalam ayat tersebut, Allah SWT menerangkan bahwa keberadaan bangsa dan suku merupakan kenyataan yang alami yang telah Dia ciptakan. Namun apakah kemudian ayat ini juga cukup memberikan alasan bahwa negara –yang notabene merupakan entitas politik yang bersifat artifisial (man-made)- juga harus dipolakan berdasarkan corak kebangsaan dan kesukuan? Dengan kata lain, jika bangsa merupakan hal yang alami, maka apakah kemudian keberadaan model negara bangsa juga merupakan bagian dari ketetapan Allah atas alam politik umat manusia? InsyaaLlah tulisan ini akan membahasnya
 
Doktrin Kaum Nasionalis Dalam Hubungan Antara Bangsa dan Negara

Sebagai mana diungkapkan oleh Elie Kedourie, kaum nasionalis meyakini : “that humanity is naturraly divided into nations, and that the only legitimate type of government is national self-government” (bahwa umat manusia secara alami dipisah-pisahkan ke dalam berbagai bangsa, dan bahwa satu-satunya model pemerintahan yang sah adalah pemerintahan yang diselenggarakan secara mandiri dengan berbasis kebangsaan). Mereka meyakini bahwa tiap individu itu secara alami terhimpun dan hidup dalam wadah makhluk abstrak yang lebih besar, yaitu bangsa. Dan bahwa bangsa itu, sebagai semacam makhluk abstrak (syakhshun ma’nawiyun) juga memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri (national self-determination), maka ia berhak menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Dari sinilah Ernest Gellner mendefinisikan nasionalisme sebagai “a political principle that holds that the political and the national unit should be congruent” (prinsip politik yang berpendirian bahwa unit politik dan unit kebangsaan haruslah kongruen), artinya bangsa harus menjadi negara dan negara yang sah haruslah berbasis pada suatu kebangsaan. Inilah landasan filosofis dari keabsahan negara bangsa.
 
Surat Al-Hujurat Ayat 13 dan Negara Bangsa

Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ} [الحجرات: 13]

Artinya: “Wahai manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Tahu lagi Maha Mengenal”.

Kalimat kunci yang digunakan untuk menjustifikasi keabsahan model negara bangsa dalam surat Al-hujurat ayat 13 iniadalah “وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ” yang diterjemahkan menjadi “dan telah kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku”. Dari penggalan ayat ini kita dapat memahami bahwa keberadaan syu’uub dan qabaa’il benar-benar merupakan suatu bentuk klasifikasi alami bagi umat manusia yang terwujud karena iradah kauniyyah Allah Ta’ala. Namun kita jangan tergesa-gesa untuk menyimpulkan bahwa model negara bangsa juga merupakan keniscayaan alamiah bagi umat manusia dengan bersandar pada ayat ini. Sebelum sampai ke sana, kita harus memahami dahulu makna kata syu’uub dan qabaa’il di sinisehingga kita dapat menentukan apakah keduanya itu dapat disetarakan dengan model negara bangsa yang kita kenal saat ini ataukah tidak.
 
Makna Syu’ub dan Qabail

Syu’ub (الشعوب) merupakan bentuk plural dari kata sya’b (الشَعب), sementara itu, qaba’il (القبائيل) merupakan bentuk jamak dari qabilah (القبيلة). Keduanya merupakan suatu level  dalam hierarkhi kekerabantan menurut orang Arab. Menurut mereka, manusia ada dalam hierarkhi hubungan kekerabatan mulai dari yang terluas sampai yang tersempit.

Tatkala menafsirkan ayat tersebut, Az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf menyatakan:

“Sya’b merupakan tingkat pertama dari enam tingkatan Bangsa Arab, yaitu: sya’b, qabilah, ‘imarah (العمارة), bathn (البطن), fakhidz (الفخذ) dan fashilah (الفصيلة). Sya’b terdiri dari beberapa qabilah, qabilah terbentuk dari beberapa ‘imarah, ‘imarah terhimpun dari sejumlah bathn, bathn terdiri dari beberapa fakhidz dan fakhidz terbentuk dari beberapa fashilah. Khuzaimah merupakan sya’b, sementara Kinanah adalah sebuah qabilah, adapun Quraisy merupakan sebuah ‘imarah, kemudian Qushai merupakan sebuah bathn, Hasyim merupakan sebuah fakhidz, sedangkan ‘Abbas merupakan fashilah”.

Al-Azhari dalam Tahdzibul Lughah menukil dari al-Kalbi:

“Abu Abaid menukil dari Ibnu Kalbi dari ayahnya dia berkata: sya’b lebih besar dari qabilah, kemudian  tingkat dibawahnya adalah qabilah, lantas imarah, lalu bathn, setelah itu fakhidz. Sya’b itu merupakan induk dari seluruh qabilah yang menisbatkan diri kepadanya”.

Sementara itu al-Jauhari dalam kamus ash-Shihah menuturkan bahwa:

“Sya’b adalah qabilah besar, dia adalah induk dari seluruh qabilah yang menisbatkan diri kepadanya, artinya sya’b itu mengumpulkan dan menghimpun mereka. Abu Ubaid mengutip dari Ibnu Kalbi dari ayahnya yang berkata: sya’b lebih besar dari qabilah, setelah itu baru qabilah, lalu imarah, kemudian bathn, setelah itu fakhidz.”

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan:

“Sya’b lebih umum dari qabilah. Di bawah qabilah ada tingkatan lain seperti fashilah, ‘asyirah, ‘imarah, fakhidz dan seterusnya”.

Ath Thabari menjelaskan:

“Dan FirmanNya “وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ” Allah (seolah) berfirman: dan kami jadikan kalian saling memiliki kecocokan (pertemuan nasab). Ada di antara kalian yang memiliki pertemuan nasab yang jauh, ada sebagian kalian yang memiliki pertemuan nasab yang dekat. Mereka yang memiliki pertemuan nasab yang jauh adalah orang yang bertemu nasab sebagai anggota sya’b. Contohnya apabila dikatakan kepada seseorang arab: “anda dari sya’b mana?”, Dia akan menjawab: “aku dari Mudhor” atau “aku dari Rabi’ah”. Adapun yang memiliki pertemuan nasab yang dekat adalah para anggota qabilah, seperti Bani Tamim dalam suku Mudhor, atau Bani Bakr dalam Suku Rabi’ah. Yang lebih dekat dari Qabilah adalah fakhidz, contohnnya Syaiban dari Bani Bakr dan Darim dari Bani Tamim, dan semisalnya”.
 
Al-Hujurat ayat 13 bukan dalil keabsahan negara bangsa

Berangkat dari semua penjelasan di atas, maka kita tidak menemukan adanya relevansi antara ayat tersebut dengan masalah keabsahan negara bangsa dalam Islam. Bagi mereka yang menggunakannya sebagai dalil atas legalitas negara bangsa, maka kita ada beberapa keberatan yang bisa kita ajukan:

Pertama, dari tafsir yang ada nampaknya jelas bahwa syu’ub dan qaba’il yang dimaksud dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 bukanlah institusi politik, tapi lebih merupakan jenis kelompok manusia yang dikumpulkan berdasarkan level/jenjang hubungan kekerabatan. Eksistensi level kerabatan tersebut merupakan suatu realitas yang alami sebagai bagian dari sunatullah atas alam semesta seisinya.

Lain halnya dengan eksistensi negara di dunia ini. Atas kehendak Allah, negara terbentuk dari aktivitas politik manusia, bukan terbentuk secara alami tanpa campur tangan manusia. Dalam kenyataannya, tidak ada tingkat kekerabatan pada level mana pun yang otomatis dapat menjelma menjadi sebuah negara secara alami. Bahkan, kita dapat menyaksikan dengan mata-kepala sendiri bahwa negara-negara yang ada saat ini, bahkan yang mengklaim sebagai negara bangsa sekali pun, pada kenyataannya tidak terbentuk mengikuti level hubungan kekerabatan seperti itu. Maka, ayat ini jelas tidak menunjukkan naturalitas model negara bangsa. Ini yang pertama.

Yang Kedua, jika sya’b dan qabail itu merupakan suatu level dalam hierarkhi hubungan kekerabatan, maka manakah dari kedua kata tersebut yang memiliki makna yang sepadan dengan kata bangsa? Dan apakah bangsa-bangsa yang saat ini ada benar-benar merupakan kategorisasi yang didasarkan kepada tingkat kedekatan nasab? Saya rasa sangat naif sekali jika kita masih percaya bahwa bangsa-bangsa yang ada sekarang merupakan kategorisasi yagn didasarkan atas kesamaan nenek-moyang (nasab). Jika demikian niscaya orang-orang suku Melayu seharusnya membentuk satu negara sendiri, namun kenyataannya mereka justru terpisah dan bergabung dengan suku bangsa lain di negara Indonesia, Malaysia, Brunei dan Thailand. Ini menunjukkan bahwa kata bangsa yang selama ini kita gunakan tidak dapat disamakan dengan kata syu’uub dan qabaa’il dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 tersebut.

Yang ketiga, ayat tersebut juga tidak menunjukkan adanya perintah syar’i bahwa suatu level kelompok kekerabatan harus menjelma menjadi sebuah negara. Artinya, tidak ditemukan adanya perintah untuk menghubungkan level-level kekerabatan itu dengan pembentukkan negara, seperti perintah syara’ bahwa setiap sya’b atau qabilah harus membentuk negaranya sendiri. Bahkan sebaliknya, dalam nash-nash yang lain terdapat perintah bagi umat islam di seluruh dunia untuk bernaung di bawah satu pemerintahan. Artinya, memahami ayat ini sebagai perintah untuk mendirikan negara bangsa akan bertabrakkan dengan perintah untuk bersatu dalam satu pemerintahan. Di samping itu, sejak pada awal Rasulullah saw hijrah ke Madinah, beliau dan para shahabat ra telah mendirikan sebuah negara yang menghimpun kaum muslimin dari beberapa suku, paling tidak ada Muhajirin dan Anshar di dalamnya.

Dalam ayat ini, Allah hanya menyatakan bahwa hikmah dari keberadaan syu’ub dan qabail itu ada lain agar manusia saling mengenal (lita’aarafuu). Ath-Thabari menjelaskan, “Firman Allah “لتعارفوا” Allah (seolah) berfirman: “Agar kalian saling mengenal dalam soal nasab”, Allah Ta’ala dzikuHu (seolah) berfirman: Kami jadikan berbagai sya’b  dan qabilah ini wahai manusia tiada lain hanyalah agar kalian saling mengenal, mana yang memiliki kedekatan kerabat dan mana yang jauh, bukan karena terdapat keistimewaan pada diri kalian dalam hal tersebut, bukan pula menjadi perkara yang dapat mendekatkan kalian kepada Allah, akan tetapi orang yang paling mulia di antara kalian bagi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian.” Kemudian beliau juga mengutip penjelasan Mujahid, “Kami menjadikan itu agar kalian saling mengenal, fulan bin Fulan dari kabilah itu dan itu”.

Jadi, fokus dari ayat ini bukan perntah untuk mendirikan negara berdasarkan identitas kekerabatan, namun ayat ini hanya menegaskan bahwa faktor kekerabatan dan kesukuan itu bukan penentu kemuliaan seseorang. Identitas dan komunitas kesukuan hanya digunakan sebagai sarana agar manusia bisa saling mengenal. Adapun faktor penentu kemuliaan manusia bagi Allah tiada lain adalah ketaqwaan mereka. Tekanan ini juga bisa kita tilik dari sebab turunya Surat Al-Hujurat ayat 13 tersebut.

As-Suyuthi dalam Lubabun Nuqul menyatakan, “Ibnu Abi Hatim telah mengeluarkan sebuah hadits melalui Ibnu Abi Malikah yang telah menceritakan bahwa ketika penaklukkan kota Makkah, Bilal langsung naik ke atas Ka’bah kemudian mengumandangkan adzan. Lalu sebagian orang ada yang mengatakan, “apakah budak hitam ini berani adzan di atas Ka’bah?” Sebagian dari mereka mengatakan, “jika Allah murka niscaya Dia akan mencegahnya”. Lalu Allah Ta’ala menurunkan FirmanNya (yang artinya), “wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan…”.
 
Kesimpulan

Surat Al-Hujurat ayat 13 tidak bicara mengenai negara bangsa yang ada dalam benak umat manusia pada masa sekarang. Ayat tersebut juga tidak memerintahkan manusia untuk membuat negara berdasarkan pola-pola kebangsaan. Titik tekan Al-Hujurat ayat 13 adalah bahwa identitas kesukuan tidak menentukan kemuliaan seseorang. Konsep negara bangsa justru bertentangan dengan perintah kepada kaum muslimin untuk bernaung dalam satu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang imam atau khalifah. Wallahu a’lam [Titok Priastomo, (13/12/12)]

Posting Komentar untuk "Al-Hujurat ayat 13 Bukan Dalil Keabsahan Negara Bangsa"

close