Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Atas Nama Kebebasan


Oleh : Ainun Dawaun Nufus 
(MHTI Kab. Kediri) - Pengamat Sosial Politik

Politisi Belanda anti-Islam, Geert Wilders menolak datang ke pengadilan pekan depan. Pada Jumat (28/10), ia menyebut upaya peradilan terhadap dirinya bermotif politik. Wilders dituduh melakukan diskriminasi dan memicu ketegangan rasial saat siaran langsung di televisi pada 2014 lalu. Saat itu, ia memandu satu ruangan untuk menyerukan pengurangan komunitas Islam Maroko di Belanda. Politisi sayap kanan ini sedang naik daun untuk pemilu pada 15 Maret mendatang. Jajak pendapat mengindikasikan Freedom Party akan sengit dengan VVD Party, partai konservatifnya PM Mark Rutte. "Senin depan, peradilan melawan kebebasan berpendapat dimulai, melawan seorang politisi yang mengatakan apa yang tidak ingin didengar para elit," kata Wilders dalam pernyataan. Ia juga menolak bekerja sama.  (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/16/10/28/ofr4x5382-wilders-tolak-diadili-untuk-seruan-kebencian-pada-muslim)

Sebelumnya Ia mengaku bahwa dirinya tidak membenci Muslim, tapi ideologi “(Islam) yang ingin memerintah setiap aspek kehidupan.” Hal itu ia sampaikan kepada jaringan media lokal Sun News, Senin (9/5/11). “Mayoritas Muslim taat hukum, mereka menginginkan kehidupan yang baik bagi keluarga mereka Ada muslim moderat tetapi tidak ada Islam moderat. Semakin kuat orang menjadi, semakin sulit untuk melawan ideologi,” bebernya.

Kebijakan pemerintah Belanda lebih memilih menumbangkan prinsipnya sendiri dengan memelihara kebebasan menghina Islam melalui berbagai propaganda. Hubungan antara propaganda dengan media massa dan para politikus adalah hal yang lumrah. Sebab, propaganda untuk mengubah pemikiran dan sikap sasarannya membutuhkan media massa sebagai alat yang efektif. Sementara itu, para intelektual sering dimanfaatkan sebagai narasumber yang dipercaya oleh masyarakat untuk memperkuat sebuah propaganda.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Belanda sejak awal  berkomitmen membatasi “kebebasan berekspresi”.  Karena itu  Belanda menentukan sanksi-sanksi bagi siapa saja yang menghina keluarga Ratu, kelompok atau menyerukan kebencian dan rasisme. Adapun  dengan “Wilders”, jaksa penuntut umum  menutup mata sejak lama.  Jaksa tidak berupaya menentang aksi salibis Wilders meski Wilders mengucapkan kata-kata yang menyerang kelompok.  Bahkan menurut banyak analis, kata-kata Wilders itu merupakan ungkapan kebencian dan rasisme. Adapun penguasa Belanda terbukti dengan pasti  bahwa penguasa mendukung Wilders.  Sebab penguasa mengerahkan segenap daya upaya yang dimilikinya untuk membebaskan Wilders supaya bisa melanjutkan misi salibisnya menentang islam dan kaum muslim.

Pemerintah rezim Barat harus berani mengubah politik dalam dan luar negerinya yang cenderung memusuhi Islam di dalam negeri mereka maupun di berbagai negeri. Pembunuhan dan kekerasan yang ditampakkan oleh tentara Amerika dan Inggris di negeri-negeri muslim cenderung membangkitkan para pemuda Islam yang menyaksikannya untuk membalas.

Bisa dibaca gelagat umum para rezim di Barat, salah satu cara untuk menciptakan kebencian dan melepaskan frustasi adalah menciptakan kambing hitam. Propaganda kapitalis acapkali menuduh terorisme sebagai pengacau kemakmuran dunia, penyebab kemelaratan dan kemiskinan, dan pengganggu kebebasan dunia dan demokrasi. Padahal semua itu justru merupakan buah dari sistem kapitalisme yang keji. Syariat Islam dituduh merendahkan wanita dan menjadi pangkal kemunduran wanita, padahal sistem kapitalismelah penyebabnya. Tuduhan ‘pemecah-belah’ sering dilontarkan terhadap pejuang syariat Islam. Padahal pada faktanya, justru ide nasionalisme, kebebasan menentukan nasib sendiri, dan ide-ide kapitalisme lainnyalah yang menyebabkan terpecahbelahnya kaum Muslim. Bukankah ini terjadi pada Timor Timur yang melakukan referandum untuk memisahkan diri? Alasannya, kebebasan menentukan nasib sendiri.

Tidak ada yang pernah membayangkan sebelumnya bahwa pada abad modern ini ada anggota masyarakat yang merasa terancam dengan masyarakatnya sendiri. Namun, itulah yang terjadi pada masyarakat Barat. Peristiwa teror dari banyak kasus pemuda yang hidup paranoid di lingkungan sosialnya adalah salah satu indikasi kronisnya penyakit masyarakat Barat. Penyakit masyarakat di Barat semua berpangkal pada ideologi Kapitalisme yang cacat sejak lahir dan mengandung bibit-bibit kanker sejak awal. Ideologi Kapitalisme telah merusak individu, pemikiran dan perasaan yang ada pada masyarakat Barat dalam jangka panjang.

Penjajah Barat kapitalis tidak berhenti melakukan melakukan evaluasi dan studi tentang kaum Muslimin dan Islam. Mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa kekuatan Islam dan umatnya ada pada akidah Islam dan pemikiran-pemikiran yang lahir darinya. Karena itu, mereka tetap berkepentingan untuk memusnahkan Islam. Caranya adalah dengan menghapuskan Islam sebagai akidah siyâyisah (dasar sistem politik) dan menggantikannya dengan akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Mereka pun gencar mengembangkan ide-ide yang muncul dari aqidah sekularisme ini seperti nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, HAM, kebebasan, dan politik pasar bebas.

Di samping itu, untuk menjauhkan keinginan kaum Muslim untuk kembali ke Islam, mereka secara sistematis melakukan pendiskreditan Islam dengan predikat-predikat seperti teroris, fundamentalis, konservatif, ekstremis, dan sebutan-sebutan penghinaan lainnya. Mereka juga melakukan perang propaganda seperti melakukan obfuskasi (pembingungan), disformasi (pemberian informasi yang tidak benar), desepsi, deversi, dan cara-cara propaganda lainnya. Intinya, mereka melakukan penyesatan opini terhadap kaum Muslim. Semuanya itu, sekali lagi, bermuara pada satu hal: memberangus Islam sebagai kekuatan politik dan ideologis. [VM]

Posting Komentar untuk "Atas Nama Kebebasan"

close