Gubernur Zuhud Itu Menjadi Kuli Di Pasar
Ilustrasi Pasar Islam (Sumber : Istimewa) |
Di antara sejumlah peperangan yang paling dahsyat adalah Perang
Khandaq. Kala itu kaum Yahudi Madinah melakukan persekongkolan dengan
musyrikin Makkah yang terdiri atas berbagai golongan, dan bergabung
menjadi satu untuk menghancurkan umat Islam di Madinah.
Blokade dilakukan oleh tentara gabungan itu, didukung dengan sabotase
dari dalam oleh orang-orang Yahudi. Umat Madinah sudah mulai dihinggapi
kelelahan dan putus asa, kelaparan dan kehilangan semangat, sementara
setiap saat tentara musuh bakal menyerbu dengan sengit.
Dalam kekalutan itulah muncul sebuah nama ke permukaan, nama yang
tadinya tidak terlalu diperhitungkan milik seorang mualaf muda kelahiran
negeri Persia. Ia adalah Salman yang dijuluki al Farisi sesuai tanah
tumpah darahnya. Pemuda ini menyarankan agar digali parit panjang dan
dalam melingkari kota Madinah.
Rasulullah menyambut gagasan itu dengan gembira. Dan itulah awal
kebangkitan semangat umat Islam untuk mempertahankan kedaulatannya dan
awal kehancuran musuh-musuh umat Islam.
Sejak itu nama Salman al Farisi mencuat naik. Di zaman pemerintahan
Umar bin Khaththab, Salman mendaftarkan diri untuk ikut dalam ekspedisi
militer ke Persia. Ia ingin membebaskan bangsanya dari genggaman
kelaliman Kisra Imperium Persia yang mencekik rakyatnya dengan
penindasan dan kekejaman. Untuk membangun istana Iwan Kisra saja, ribuan
rakyat jelata terpaksa dikorbankan, tidak setitik pun rasa iba terselip
di hati sang raja.
Di bawah pimpinan Panglima Sa’ad bin Abi Waqash, tentara muslim
akhirnya berhasil menduduki Persia, dan menuntun rakyatnya dengan
bijaksana menuju kedamaian Islam. Di Qadisiyah, keberanian dan
keperwiraan Salman al Farisi sungguh mengagumkan sehingga kawan dan
lawan menaruh menaruh hormat padanya.
Tapi bukan itu yang membuat Salman meneteskan air mata keharuan pada
waktu ia menerima kedatangan kurir Khalifah dari Madinah. Ia merasa
jasanya belum seberapa besar, namun Khalifah telah dengan teguh hati
mengeluarkan keputusan bahwa Salman diangkat menjadi amir negeri Madain.
Umar secara bijak telah mengangkat seorang amir yang berasal dari
suku dan daerah setempat. Oleh sebab itu ia tidak ingin mengecewakan
pimpinan yang memilihnya, lebih-lebih ia tidak ingin dimurkai Allah
karena tidak menunaikan kewajibannya secara bertanggung jawab.
Maka Salman sering berbaur di tengah masyarakat tanpa menampilkan
diri sebagai amir. Sehingga banyak yang tidak tahu bahwa yang sedang
keluar masuk pasar, yang duduk-duduk di kedai kopi bercengkrama dengan
para kuli itu adalah sang gubernur.
Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang
kerepotan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria
bertubuh kekar dengan pakaian lusuh. Orang itu segera dipanggilnya;
“Hai, kuli, kemari! Bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.”
Tanpa membantah sedikitpun, dengan patuh pria berpakaian lusuh itu
mengangkut bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dituju.
Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia
segera menyapa dengan hormat, “Wahai, Amir. Biarlah saya yang
mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat seraya bertanya pada orang itu,
“Siapa dia?, mengapa seorang kuli kau panggil Amir?”. Ia menjawab,
“Tidak tahukah Tuan , kalau orang itu adalah gubernur kami?”. Dengan
tubuh lemas seraya membungkuk-bungkuk ia memohon maaf pada ‘ kuli
upahannya’ yang ternyata adalah Salman al Farisi.
“Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu. Tuan adalah amir
negeri Madain, “ ucap si pedagang. “ Letakkanlah barang itu, Tuan.
Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.” Salman menggeleng, “Tidak,
pekerjaan ini sudah aku sanggupi, dan aku akan membawanya sampai ke
kedai yang kau maksudkan.”
Setelah sekujur badannya penuh dengan keringat, Salman menaruh barang
bawaannya di kedai itu, ia lantas berkata, “Kerja ini tidak ada
hubungannya dengan kegubernuranku. Aku sudah menerima dengan rela
perintahmu untuk mengangkat barang ini kemari. Aku wajib melaksanakannya
hingga selesai. Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk
meringankan beban saudaranya?”
Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang
berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli. Mengapa tidak ada
pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang
gubernur?
Ia barangkali belum tahu, begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin
menurut ajaran Islam. Tidak bersombong diri dengan kedudukannya, namun
ia dituntut merendah di depan rakyatnya. Karena sejatinya, menjadi
pemimpin adalah pelayan. Ya seperti, Salman Al Farisi, Gubernur Zuhud
yang menjadi kuli di Pasar. [Novelan, Sumber: Kisah Orang-orang Sabar] [islampos/visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Gubernur Zuhud Itu Menjadi Kuli Di Pasar"