Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia
ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar (TQS Fushilat [41]:
34-35).
Seorang Muslim harus menghiasi dirinya dengan berbagai
akhlak mahmudah, sifat-sifat terpuji. Banyak ayat dan hadits
memerintahkannya. Juga menjelaskan berbagai sifat yang terkategori
sebagai sebagai sifat terpuji yang diperintahkan syara’. Di antara sifat
tersebut adalah akhlak dalam menghadapi orang-orang yang berbuat
keburukan terhadap kita. Ayat ini memberikan tuntunan kepada kaum Muslim
dalam menyikapi kejadian tersebut.
Membalas dengan Kebaikan
Allah SWT berfirman: Walâ yastawî al-hasanah wa lâ al-say`ah (dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan). Menurut al-Raghib al-Asfahani,
secara bahasa kata al-hasanah digunakan untuk menyebut semua kenikmatan
menyenangkan yang diperoleh manusia, baik pada diri, badan, maupun
kondisinya. Sedangkan al-syay`ah berarti sebaliknya. Dalam ayat ini juga
ditegaskan bahwa keduanya lâ yastawî (tidak sama). Sebagaimana
diterangkan Ibnu Katsir, antara keduanya terdapat farq[un] azhîm[un]
(perbedaan besar).
Diterangkan al-Syaukani, al-hasanah yang
dimaksud adalah al-hasanah yang diridhai Allah SWT dan diberikan pahala.
Sebaliknya, al-syay`ah adalah al-syay`ah yang dibenci Allah SWT dan
diberikan hukuman atasnya. Penjelasan senada juga dikemukakan
al-Thabari. Dikatakan oleh mufassir tersebut, tidak sama antara beriman
dengan Allah dan mengerjakan ketaatan dengan menyekutukan-Nya dan
melakukan perbuatan maksiat kepada-Nya.
Di antara mufassir ada
yang menafsirkan al-hasanah dan al-syay`ah dalam ayat ini menunjuk
kepada jenis tertentu. Fakhruddin al-Razi, misalnya, mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan al-hasanah (kebaikan) di sini adalah dakwah
Rasulullah SAW kepada agama yang haq, sabar terhadap kebodohan
orang-orang kafir, tidak melakukan pembalasan, dan tidak berpaling
kepada mereka.
Sedangkan al-say`ah (keburukan, kejahatan)
adalah perkataan buruk yang mereka tampakkan, “Hati kami telah terkunci
dari apa yang kalian serukan kepada kami”; perkataan yang mereka
sampaikan, “Janganlah kalian mengikuti Alquran ini dan anggaplah tidak
ada gunanya!” Seolah-olah Dia berfirman, “Wahai Muhammad, perbuatanmu
baik sementara perbuatan mereka buruk. Tidak sama antara kebaikan dan
keburukan, dalam arti: Jika engkau membawa kebaikan, maka meniscayakan
penghormatan di dunia dan pahala di akhirat. Sedangkan mereka berlaku
sebaliknya. Maka tindakan buruk mereka tidak seharusnya mencegah kamu
melakukan kebaikan.
Perbuatan tersebut jelas termasuk dalam
cakupan al-hasanah dan al-syay`ah al-syay`ah yang disebutkan ayat ini.
Namun, karena lafadz ayat ini bersifat umum, maka tidak terbatas hanya
perbuatan tersebut. Sebagiamana dijelaskan al-Syaukani, tidak ada
indikasi yang menunjukkan al-hasanah (kebaikan) yang dimaksud untuk satu
jenis ketaatan tertentu. Demikian pula dengan al-syay`ah (keburukan),
tidak ada kekhususan yang membatasi hanya untuk jenis kemaksiatan
tertentu.
Kemudian Allah SWT berfirman: Idfa’ bi al-latî
hiya ahsan (tolaklah [kejahatan itu] dengan cara yang lebih baik).
Diterangkan al-Syaukani, pengertian dari ayat ini adalah: Tolaklah
keburukan jika datang kepadamu dengan pembalasan yang lebih baik; yakni
membalas keburukan dengan kebaikan, dosa dengan maaf, kemarahan dengan
kesabaran. Dikatakan Mujahid dan ‘Atha, bi al-latî hiya ahsan berarti
dengan salam jika bertemu dengan orang yang dimusuhi.
Selanjutnya Allah SWT menjelaskan tentang faedah dari sikap tersebut
dengan firman-Nya: faidzâ al-ladzî baynaka wa baynahu ‘adâwah ka annahu
waliyy hamîm (maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia). Kata
waliyy halîm berarti al-shadîq (sahabat). Dikatakan Ibnu Katsir, apabila
kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu, maka
kebaikan itu akan menuntun dia untuk mencintai dan condong kepadamu
hingga dia berubah seolah-olah sahabat dekatmu karena kasih sayang dan
kebaikannya.
Abdurrahman al-Sa’di menjelaskan, apabila ada
orang yang melakukan keburukan kepadamu—khususnya orang-orang yang
memiliki hak yang besar terhadapmu, seperti kerabat, sahabat, dan
semacamnya—baik dengan ucapan maupun perbuatan, maka balaslah dengan
kebaikan. Jika memutuskan silaturahim, maka sambunglah; jika
menzalimimu, maafkanlah; jika membincangkan keburukanmu, baik di depanmu
atau di belakangmu, jangan dibalas, namun maafkan dan perlakukanlah
dengan perkataan yang lembut. Jika memutuskan hubungan dengan kamu dan
tidak menyapamu, maka perbaikilah perkataanmu terhadapnya dan berikanlah
salam. Jika kamu membalas keburukan dengan kebaikan, akan menghasilkan
faedah yang besar.
Anugerahkan bagi yang Sabar
Setelah
diterangkan tentang perintah membalas keburukan dengan keburukan
beserta faedahnya, kemudian Allah SWT berfirman: wa mâ yulaqqâhâ
(sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan). Bahwa Allah SWT tidak
memberikan sifat terpuji tersebut, yakni kesedian membalas keburukan
dengan kebaikan itu: illâ al-ladzîna shabarû (melainkan kepada
orang-orang yang sabar). Yakni oang-orang yang memiliki sifat sabar.
Menurut al-Asfahani, al-shabr berarti menahan diri dalam kesusahan.
Dikatakan al-Thabari, tidak diberikan sifat mau membalas keburukan
dengan kebaikan itu kecuali orang-orang yang sabar.
Ditegaskan
juga: Wamâ yulaqqâhâ illâ dzû hazhzh[in] ‘azhîm[in] (dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan
yang besar). Dikatakan Ibnu ‘Abbas, hazhzh[in] ‘azhîm[in] adalah bagian
yang melimpah dari kebaikan. Sedangkan Mujahid dan Qatadah
menafsirkannya sebagai surga.
Demikianlah. Tindakan membalas
kebaikan dengan kebaikan merupakan akhlak terpuji yang diperintahkan.
Allah SWT berfirman: Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)
(TQS al-Rahman [55]: 60).
Ayat ini memerintahkan lebih dari
itu. Yakni membalas keburukan dengan kebaikan. Tindakan ini bisa
memberikan manfaat besar, baik orang yang membalas atau orang yang
dibalas. Di antara kegunaannya, sebagaimana diungkap ayat ini adalah
dapat mengantarkan kepada orang yang memusuhi menjadi kawan dekat.
Semoga kita termasuk yang diberikan sifat sabar. Wal-Lâh a’lam bi
a-shawâb.
Ikhtisar:
1. Membalas keburukan dengan kebaikan merupakan akhlak terpuji yang diperintahkan 2. Membalas keburukan dengan kebaikan dapat mengantarkan pelakunya (orang yang memusuhi) menjadi sahabat dekatnya 3. Sifat terpuji itu hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki sifat sabar
Berbagi :
Posting Komentar
untuk "Membalas Keburukan dengan Kebaikan"
Posting Komentar untuk "Membalas Keburukan dengan Kebaikan"