Tidak Ada Metode Baku Meraih Mandat Kekuasaan Dalam Islam?
Ilustrasi |
Menjelang PEMILU 2014 selalu menampilkan dua kutub. Ada yang begitu
menggebu agar bisa memenangkan pemilu, dengan berbagai cara, termasuk
meminta fatwa ulama’, organisasi massa. Karena memang sejak awal
menganggap, bahwa pemilu merupakan metode konstitusional demokratis
dalam meraih kekuasaan. Termasuk bagi mereka yang menginginkan perubahan
ke arah Islam. Namun, sebaliknya, ada yang sejak awal menganggap, bahwa
pemilu bukan merupakan metode perjuangan untuk mewujudkan perubahan,
sampai masyarakat yang apatis, karena tidak lagi melihat relevansi
pemilu dengan perubahan nasib mereka.
Bagi pihak yang menginginkan perubahan ke arah Islam, selain mereka
tidak mempunyai master plan, atau proyek peradaban Islam (masyru’
hadhari), sehingga ketika mereka duduk di kursi kekuasaan, maka tidak
identik dengan kemenangan Islam, karena mereka tidak pernah membawa dan
menerapkan Islam, sebagaimana yang terjadi pada era Mursi di Mesir,
dengan koalisi Ikhwan dan Salafi-nya, atau Turki di era Erdogan. Dengan
pemilu yang mereka menangkan, mereka juga tidak pernah memiliki
kekuasaan yang utuh (hukm[an] kulliy[an]), tetapi hanya kekuasaan
parsial (hukm[an] mujazza’), yaitu sejumlah kursi di parlemen, dan
kekuasaan eksekutif. Dengan anggapan, bahwa semuanya itu sudah cukup
untuk melakukan perubahan. Tetapi, nyatanya tidak. Bahkan, kekuasaan
Mursi di Mesir begitu rapuh, dan hanya mampu bertahan satu tahun. Itupun
karena restu AS.
Mungkin ada yang bertanya, kalau memang rapuh, mengapa kekuasaan
Partai Keadilan dengan Erdogannya di Turki, bisa bertahan sampai
sekarang? Maka, jawabannya, bukan karena faktor kursi di Parlemen, dan
kekuasaan eksekutifnya, tetapi karena secara politik Turki terbelah
menjadi dua, antara pro AS dan Inggris. Kaum Kemalis dengan militernya,
secara tradisional, adalah agen Inggris, dan tentu pro Inggris. Mereka
bekerja untuk kepentingan Inggris. Sementara, Partai Keadilan dan
Erdogan adalah agen AS, dan tentu pro AS, dan bekerja untuk kepentingan
AS. Karena itu, AS mensupport habis-habisan PK dan Erdogan agar tetap
bisa berkuasa, supaya Turki tetap dalam genggaman AS. Ini berbeda dengan
Mesir, yang secara total dalam genggaman AS.
Meski demikian, ada fenomena yang sama, ketika kekuasaan yang
dimiliki oleh para penguasa tersebut bersifat parsial (hukm[an]
mujazza’), maka dengan mudah dimanfaatkan oleh berbagai pihak, baik
oposisi maupun negara Kafir penjajah, untuk memanfaatkan peluang ini
untuk melakukan tawar-menawar kekuasaan. Akibatnya, terjadilah praktik
politik dagang sapi. Dampaknya, kekuasaan yang ada menjadi tidak
efektif.
Masalahnya, Karena Tidak Bisa Membedakan Thariqah dan Uslub
Tuduhan, bahwa Islam tidak mempunyai metode baku dalam proses
kekuasaan, jelas keliru. Karena, bagaimana mungkin Islam bisa
diterapkan, jika hanya menjelaskan konsep, sementara metode untuk
mewujudkan, mempertahankan dan mengemban konsep itu tidak dijelaskan.
Masalah ini memang telah menjadi permasalahan serius ulama’ sejak
sebelum runtuhnya Khilafah, dan menjadi semakin akut setelah Khilafah
tiada. Bagaimana tidak, di masa Khilafah, sudah ada ulama’ yang
mengeluarkan fatwa tentang cara menghadapi serangan musuh dengan membaca
kitab Shahih al-Bukhari. Bukan dengan mengangkat senjata, menyiapkan
pasukan dan berperang.
Ini adalah bukti, bahwa ketidakpahaman tentang hukum metode
(thariqah) dalam Islam ini bukan baru terjadi setelah Khilafah tiada,
tetapi sudah terjadi sejak Khilafah masih ada. Selain tidak paham
tentang hukum thariqah, juga tidak bisa memilah, mana thariqah yang
bersifat baku, dan mana uslub, yang berubah-ubah. Karena ketidakpahaman
ini, maka ketika terjadi perbedaan uslub dalam pengangkatan Khalifah,
disimpulkan, bahwa Islam tidak mempunyai metode baku dalam pengangkatan
Khalifah. Padahal, yang berbeda hanya uslub-nya, sementara metode
bakunya tidak berubah.
Karena itu, perlu ditegaskan, bahwa hukum thariqah itu jelas ada, dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Islam. Bahkan, adanya hukum
thariqah ini merupakan keniscayaan bagi Islam, sebagai ideologi. Dengan
begitu, Islam bukan hanya mengandung konsep (fikrah), tetapi juga metode
(thariqah) baru untuk mewujudkan, menjaga dan mengemban konsep
tersebut.
Hanya saja, hukum thariqah (metode) ini mempunyai ciri khas yang
berbeda, dengan fikrah (konsep). Dalam hal ini, al-‘Allamah Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, merumuskan hukum thariqah tersebut sebagai hukum
yang tetap, tidak berubah. Bersifat fisik (madiyah), bukan non-fisik
(ghaira madiyah), dan bisa dirasakan (mahsusah). Hasilnya juga bersifat
fisik (madiyah), dan bisa dirasakan (mahsusah). Selain itu, hukumnya
sendiri wajib, bukan sunah atau mubah. Karena itu, tidak akan berubah.
Dengan ciri-ciri ini, maka banyak hukum syara’ yang bisa diidentifikasi
sebagai hukum thariqah.[1] Seperti dakwah, jihad, sanksi, termasuk thalab an-nushrah, dan bai’at itu sendiri.
Namun, jika kita tidak jeli, dan cermat, maka kita akan salah
memposisikan hukum-hukum tersebut. Sebagai contoh, thalab an-nushrah
(mencari dukungan/kekuasaan) adalah metode yang baku untuk mendapatkan
kekuasaan. Pertama, thalab an-nushrah adalah aktivitas fisik, bisa
dirasakan. Kedua, bersifat tetap, dan tidak berubah. Karena tidak pernah
ditinggalkan oleh Nabi saw. Ketiga, hasilnya juga bersifat fisik, dan
bisa dirasakan. Keempat, hukum thalab an-nushrah itu sendiri wajib.
Namun, cara untuk mendapatkannya, bisa banyak, dengan berbagai uslub.
Bisa begini, dan begitu, sesuai dengan situasi dan kondisi. Jadi, yang
berubah-ubah, mengikuti situasi dan kondisi, bukan thalab
an-nushrah-nya, melainkan uslub-nya.
Hal yang sama juga terjadi pada bai’at. Bai’at adalah hukum thariqah
dalam pengangkatan seorang Khalifah. Karena, ini merupakan hukum yang
baku, dan tetap, tidak berubah. Hukumnya juga wajib, sehingga tidak sah,
jika ada seorang Khalifah menjadi Khalifah, tanpa bai’at. Bai’at juga
merupakan aktivitas fisik, bisa dirasakan. Hasilnya juga nyata, yaitu
terangkatnya Khalifah yang sah. Karena itu, bai’at ini merupakan metode
yang baku dalam pengangkatan Khalifah. Adapun caranya, bisa begini dan
begitu, itu adalah uslub.
Islam Mempunyai Metode Baku
Meski demikian, harus dicatat, bahwa tidak semua hukum thariqah bisa
digunakan sembarangan. Namun, tetap harus sesuai dengan peruntukannya.
Misalnya, jihad adalah hukum thariqah untuk melenyapkan kekufuran yang
menghalangi sampainya cahaya Islam kepada umat manusia. Jihad juga
merupakan metode untuk membela diri, jika kita diserang. Namun, jihad
bukan metode untuk meraih kekuasaan. Jihad juga bukan metode untuk
mengangkat Khalifah.
Demikian halnya pemilu juga bukan merupakan metode untuk meraih
kekuasaan. Juga bukan metode untuk mengangkat Khalifah. Namun, ini
hanyalah uslub. Bisa digunakan, dan bisa juga tidak, sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada. Islam telah menetapkan, bahwa metode baku
untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Sedangkan metode
baku untuk mengangkat Khalifah adalah bai’at. Meski dalam praktiknya,
bisa saja dengan menggunakan uslub pemilu.
Karena itu, mengerahkan seluruh potensi untuk melakukan uslub yang
mubah, atau melakukan jihad yang wajib, tetapi tidak sesuai dengan
peruntukannya, namun meninggalkan metode baku yang wajib, yaitu thalab
an-nushrah dan bai’at, jelas tidak tepat. Meski harus dicatat, bahwa
thalab an-nushrah tidak akan didapatkan begitu saja, tanpa proses dakwah
dan adanya jamaah (partai politik Islam idelogis) yang mengembannya.
Sebagai contoh, Nabi saw. telah melakukan thalab an-nushrah, setelah
mempersiapkan Hizb ar-Rasul, yang dibangun dengan serius, cermat dan
rapi. Sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul tahun 622 M, Nabi Muhammad
adalah sel pertama. Dari sel pertama ini, baginda saw. membentuk sel-sel
berikutnya. Khadijah, Abu Bakar dan ‘Ali bin Thalib direkrut dan
dibina, hingga menjadi sel-sel berikutnya. Setelah Abu Bakar merekrut
‘Utsman bin Madhghun, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah bin ‘Ubaidillah,
‘Ustman bin ‘Affan, dan generasi awal Islam yang lainnya.
Dari sana, Nabi membentuk halqah-halqah. Mereka yang telah dibina
Nabi, dijadikan pembina halqah berikutnya. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Hubab bin al-Art saat membina keluarga Sa’id bin Zaid dan Fatimah
binti al-Khatthab.[2]
Selain halqah sebagai pembinaan intensif, mereka juga dibina oleh Nabi
saw. di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam, di sebelah barat bukit Shafa.[3] Di sini, mereka dibina oleh Nabi secara umum (tsaqafah jama’iyyah).
Setelah jumlah orang yang direkrut dan kelompok halqah-nya banyak,
maka mereka diorganisir oleh Nabi sebagai jamaah, dimana Nabi sebagai
pemimpinnya. Mereka diikat oleh ikatan akidah, dengan fikrah dan
thariqah yang sama. Semuanya tunduk dan taat pada kepemimpinan Nabi saw.
Setelah tiga tahun dipersiapkan oleh Nabi, dan mereka sudah waktunya
keluar untuk melakukan dakwah terbuka, maka turun Q.s. al-Hijr [15]: 94.[4]
Turunnya ayat ini menandai permulaan interaksi dengan umat (bidayat
at-tafa’ul). Setelah itu, Hamzah bin ‘Abdul Muthallib masuk Islam, enam
bulan kemudian ‘Umar bin al-Khatthab juga memeluk Islam. Setelah masuk
Islamnya dua orang kuat ini, Nabi pun menyempurnakan interaksinya dengan
umat, dengan mendemonstrasikan Hizb ar-Rasul di hadapan penduduk
Makkah, seraya thawaf mengelilingi Ka’bah.[5]
Setelah fase ini, Nabi dan para sahabat mengalami berbagai ujian,
mulai dari penyiksaan, stigmatisasi hingga pemboikotan. Pada saat
itulah, thalab an-nushrah dilakukan oleh Nabi dengan dua tujuan:
Pertama, untuk melindungi dakwah (li al-himayah). Kedua, untuk
mendapatkan mandat kekuasaan (li istilam al-hukm). Untuk tujuan yang
pertama, Nabi saw. telah meminta nushrah dari pamannya, Abu Thalib.
Demikian juga dengan sahabat yang lain. Mereka ada juga yang meminta
nushrah hingga ke Habasah. Sedangkan untuk tujuan kedua, Nabi telah
meminta nushrah kepada Bani Kindah, Bani Hanifah, Bani Amir bin
Sha’sha’ah, Bani Tsaqif di Taif, dan Bani-bani lain, hingga akhirnya
berhasil mendapatkannya dari suku Aus dan Khazraj.
Keberhasilan thalab an-nushrah yang terakhir ini ditandai dengan
peristiwa Bai’at ‘Aqabah I dan II. Bai’at ‘Aqabah yang pertama adalah
bai’at untuk menyatakan keislaman, disertai dengan segala
konsekuensinya, seperti meninggalkan zina, tidak mencuri, dan
sebagainya. Sedangkan Bai’at ‘Aqabah yang kedua adalah bai’at untuk
memberikan perlindungan kepada Nabi dan Islam, sebagaimana melindungi
diri, harta dan keluarga mereka. Karena itu, bai’at yang kedua ini
menandari penyerahan kekuasaan dari kaum Anshar kepada Nabi saw.
Setelah itu, Nabi saw. pun menyuruh para sahabat untuk hijrah ke
Madinah. Baginda saw. menyusul mereka, dan disambut dengan shalawat
Badar, sebagai seorang pemimpin dan kepala negara. Inilah proses
pengkondisian yang dilakukan oleh Nabi saw. hingga nushrah ini
benar-benar berhasil diperoleh dengan sempurna. Semuanya ini membutuhkan
waktu, karena memang Nabi saw. hendak mewujudkan negara. Membangun
masyarakat dan peradaban yang luhur dan mulia.
Peralihan Kekuasaan dari Nabi kepada Khalifah
Setelah Nabi saw. wafat, Islam sebagai tuntunan hidup telah
diwariskan oleh Nabi kepada para sahabat dan umat Islam dengan gamblang
(muhajjat al-baidha’), hingga digambarkan, Lailuha ka nahariha (malamnya
sama dengan siangnya).[6] Nabi pun telah menjelaskan, baik secara lisan maupun praktis, mekanisme pengangkatan Khalifah, melalui bai’at.[7]
Para sahabat pun memahami dengan tepat mekanisme ini. Karena itu,
setelah Nabi saw. mereka segera membai’at Abu Bakar sebagai Khalifah.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kaum Muslim setelah wafatnya Abu
Bakar. Mereka segera mambai’at ‘Umar bin al-Khatthab, dan begitu
seterusnya.
Memang benar, saat sebelum pembai’atan Abu Bakar ada perselisihan
dalam menentukan siapa yang layak menggantikan Nabi saw. sebagai
Khalifah. Karena Nabi saw. tidak menunjuk penggantinya. Ketika Abu Bakar
menjadi Khalifah, menjelang akhir kepemimpinannya, beliau meminta
masukan penduduk Madinah tentang siapa sosok yang layak menggantikannya.
Munculnya dua nama, ‘Umar dan ‘Ali, namun akhirnya mengerucut pada
‘Umar. Ketika Abu Bakar merasa ajalnya hampir tiba, maka berdasarkan
masukan penduduk Madinah beliau pun menunjuk ‘Umar sebagai penggantinya.
Demikian halnya dengan ‘Umar, ketika menjelang ajalnya tiba, beliau
menunjuk 6 sahabat sebagai ahli syura, untuk memilih di antara mereka
sebagai Khalifah setelahnya. Begitu seterusnya.
Ketika Mu’awiyah menjadi Khalifah, Mu’awiyah beragumen mengikuti
sunah (tuntunan) Abu Bakar dan ‘Umar, dengan menunjuk Yazid bin
Mu’awiyah sebagai putra mahkota, namun dibantah oleh para sahabat. Di
antaranya ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau berkomentar, bahwa itu bukanlah
sunah Abu Bakar dan ‘Umar, tetapi sunah Heraklius dan Mukaukis.[8]
Mereka berkomentar, “Jika Anda tidak menunjuk pengganti, maka
lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi. Jika Anda mau menunjuk
pengganti, maka lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar.” [9] Maksudnya, menunjuk pengganti, tetapi berdasarkan aspirasi umat.
Jadi, ketika Nabi saw. tidak menunjuk pengganti, dan Abu Bakar
melakukannya, tidak bisa dikatakan, bahwa tindakan Abu Bakar menyalahi
sunah Nabi. Demikian halnya dengan apa yang dilakukan oleh ‘Umar, dengan
tidak menunjuk satu orang, tetapi 6 orang, juga tidak bisa dikatakan
sebagai menyalahi sunah Nabi. Karena ini hanyalah uslub, yang mubah dan
tidak tetap. Uslub ini diambil sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada. Itulah yang dipahami oleh para sahabat.
Namun, ketika uslub itu dilakukan dengan cara yang salah, sebagaimana
yang dilakukan oleh Mu’awiyah kepada Yazid, dengan menunjuknya sebagai
putra mahkota, tanpa memperhatikan aspirasi umat, maka para sahabat pun
menolaknya. Tidak hanya itu, Mu’awiyah juga melakukan kesalahan, dengan
membai’at Yazid di saat Mu’awiyah, sebagai Khalifah yang sah, masih
hidup. Tidak hanya itu, bahkan dia pun memaksa kaum Muslim untuk
membai’atnya dengan carrot and steak. Bagi yang mau membai’at Yazid
diberi hadiah uang, sedangkan yang tidak mau akan dibunuh dengan pedang.
Kesimpulan
Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa Islam mempunyai metode baku
dalam meraih kekuasaan (istilam al-hukm). Islam juga mempunyai metode
baku dalam mengangkat pemimpin (nashb al-imam). Islam telah menetapkan
thalab an-nushrah sebagai metode baku dalam meraih kekuasaan, bukan
kudeta, revolusi, jihad, pemilu maupun yang lain. Islam juga telah
menetapkan bai’at sebagai metode baku dalam mengangkat Khalifah.
Adapun aktivitas detail untuk melaksanakan metode baku itu adalah
uslub. Karena uslub ini mubah, maka bisa berubah, dan bersifat tidak
baku (tetap). Nah, posisi pemilu dalam konteks pengangkatan pemimpin
adalah uslub yang mubah. Hukum kemubahannya mengikuti maqashid-nya. Jika
digunakan untuk mengangkat pemimpin yang menerapkan hukum Islam jelas
mubah, tetapi jika digunakan untuk mengangkat pemimpin yang tidak
menerapkan hukum Islam, jelas tidak boleh.
Jika ada yang mengatakan, bahwa Islam tidak mempunyai metode baku
dalam masalah ini, maka bisa dipastikan, orang itu tidak paham hukum
thariqah, tidak bisa membedakan antara thariqah dan uslub. Bahkan, lebih
parah lagi, tidak mengimani, bahwa Islam mempunyai metode yang baku,
dan ini yang berbahaya. Karena klaim ini bisa meruntuhkan akidahnya. Na’udzu billah. [Hafidz Abdurrahman
(Ketua Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI)]
[1] Al-Hafidh Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
[2] Al-Hafidh Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
[3] Al-Hafidh Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
[4] Al-Hafidh Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
[5] Al-Hafidh Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
[6] Al-Hafidh Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
[7] Al-Hafidh Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
[8] Al-Hafidh Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
[9] Al-Hafidh Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
Posting Komentar untuk "Tidak Ada Metode Baku Meraih Mandat Kekuasaan Dalam Islam?"