[Wawancara] Sadarlah, Sekarang Saatnya Ganti Sistem!
Ust. Rokhmat S Labib (Sumber : HTI) |
Pemilu tinggal beberapa bulan lagi, ruang publik pun sudah
dijejali wajah penuh bedak dan sederet kata-kata manis yang mengemis
suara. Di tengah masyarakat pun berkembang obrolan akan berubahnya
kehidupan ke arah yang lebih baik bila calon pemimpin dan wakil rakyat
tertentu yang dipilih. Namun, kebanyakan dari mereka lupa, baik buruknya
kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak hanya bertumpu pada person
pemimpin tetapi juga sistem yang diterapkan. Di seputar itulah obrolan
wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Ketua DPP Hizbut Tahrir
Indonesia Rokhmat S Labib berkisar. Berikut petikannya.
Sekarang telah beredar banyak nama calon presiden, apakah ada yang layak untuk dipilih?
Inilah di antara kesalahan besar cara berpikir ketika membicarakan
kepemimpinan. Kita selalu terjebak hanya membicarakan siapa yang menjadi
sosok pemimpinnya kemudian kita menggantungkan harapan kepada sosok
tersebut. Padahal, ada perkara lain yang jauh lebih penting dan
menentukan ketika berbicara tentang kepemimpinan.
Apa itu?
Sistem! Yakni sistem yang diterapkan oleh pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinannya. Sebaik apa pun orangnya, jika sistemnya bobrok dan
rusak, tidak akan akan menghasilkan kebaikan. Sebaliknya, justru akan
menghasilkan kebobrokan dan kerusakan.
Mengapa demikian?
Jika sistem benar, baik, dan adil, maka menegakkan sistem itu berarti
menegakkan kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Sebaliknya, jika
sistemnya zalim dan tidak adil, maka menegakkan sistem tersebut sama
halnya dengan menegakkan kezaliman dan ketidakadilan.
Fakta terakhir inilah yang terjadi di negeri ini. Sistemnya
bermasalah. Maka ketika diterapkan hanya menghasilkan masalah, siapa pun
pemimpinnya. Bahkan, semakin taat pemimpin itu dengan sistem tersebut
tersebut, semakin parah pula kebobrokan dan kerusakannya.
Bisa diberikan contoh supaya lebih jelas?
Di negeri ini misalnya, terdapat UU Migas yang membolehkan swasta,
termasuk swasta asing untuk berusaha dalam sektor migas dari hulu hingga
hilir. Ketika UU ini diterapkan, maka sebagian besar tambang-tambang
minyak di negeri ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta asing
seperti sekarang ini.
Hal yang sama juga terjadi pada UU Minerba dan UU SDA. Akibatnya,
kekayaan melimpah ruah di negeri ini lebih banyak dinikmati korporasi
asing. Ironisnya lagi, ketika korporasi-korporasi asing itu bermasalah,
menurut UU Penanaman Modal, tidak bisa diadili di pengadilan negara,
namun harus dibawa ke arbitrase internasional yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
Siapa pun pemimpinnya, jika undang-undang tersebut tidak diubah, maka kekayaan alam itu tidak akan dinikmati oleh rakyat.
Demikian juga maraknya pornografi dan seks bebas. Karena
undang-undangnya tidak melarang total kegiatan maksiat tersebut, maka
siapa pun pemimpinnya tidak akan bisa memberantas kemaksiatan tersebut.
Bagaimana jika ada calon presiden yang berjanji mengubah beberapa undang-undang bermasalah tersebut?
Pertama, tidak mudah mewujudkan janji tersebut. Sebab, hak
membuat undang-undang bukan di tangan presiden, namun ada pada DPR. Di
lembaga legislatif tersebut tentu banyak kepentingan yang berbeda-beda.
Kedua, yang bermasalah bukan hanya undang-undangnya, namun
sistem yang melahirkan undang-undangnya. Sistem inilah yang menjadi
pangkal penyebab semua undang-undang itu ada. Maka, seandainya beberapa
undang-undang itu diubah, jika sistemnya tetap dibiarkan, akan terus
memproduksi berbagai undang-undang yang bermasalah.
Sistem apa yang Anda maksud?
Demokrasi! Sistem inilah yang memberikan hak kepada lembaga
legistlatif yang diklaim sebagai perwakilan rakyat untuk membuat
undang-undang. Dalam sistem tersebut, ketika terjadi perbedaan,
pemutusnya adalah suara terbanyak. Padahal, suara terbanyak tidak selalu
benar, baik, dan adil.
Di samping itu, prinsip itu jelas bertentangan dengan Islam. Dalam
Islam, perkara hukum ditentukan oleh dalil syara’ yang paling kuat.
Bukan oleh suara terbanyak. Suara terbanyak tidak selalu sejalan dengan
kebenaran. Bahkan dalam QS al-An’am [6]: 116 disebutkan: Wa in tuthi’ aktsara man fî al-ardh yudhillûka ‘an sabîlil-Lâh, jika kamu menuruti sebagian besar penduduk muka bumi, niscaya akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Jadi, pembicaraan tentang sosok pemimpin tidak relevan jika sistem yang diterapkan tidak diubah.
Tetapi sosok pemimpin kan juga amat penting?
Benar. Islam juga menetapkan sejumlah kriteria yang wajib dipenuhi
seorang sehingga sah diangkat sebagai pemimpin. Ini yang disebut sebagai
syarat in’iqad, syarat sah seorang khalifah, yakni Mukmin,
baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan memiliki kemampuan.
Selain itu juga ada beberapa syarat keutamaan.
Namun patut diingat, seorang khalifah diangkat untuk menerapkan
syariah. Mereka dibaiat untuk menjalankan al-Kitab dan al-Sunnah. Itulah
dijelaskan oleh para ulama ketika menjelaskan tentang wajibnya nashb al-imâm, mengangkat pemimpin.
Jadi tidak tepat jika kewajiban mengangkat imam itu digunakan untuk menghukumi pemimpin yang tidak menerapkan syariah?
Jelas tidak tepat. Perlu ditandaskan, semua sistem dan hukum selain
Islam adalah kufur. Diharamkan bagi umat umat Islam mengangkat pemimpin
yang menjalankan sistem dan hukum kufur.
Apa alasannya?
Dalam Alquran ada perintah kepada kaum Muslimin untuk
memutuskan perkara dengan hukum-hukum Allah SWT, seperti QS al-Maidah
[5]: 48 dan 49. Dalam QS al-Nisa [4]: 59 juga ditegaskan, ketika terjadi
perselisihan di antara kaum Muslim, diperintahkan kepada kembali kepada
Alquran dan Sunnah.
Sebaliknya, terdapat ancaman keras bagi orang-orang yang tidak
berhukum dengan syariah. Dalam QS al-Maidah [5]: 44, 45, dan 47 mereka
dinyatakan sebagai kafir, zalim, dan fasik.
Yang memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara adalah penguasa,
maka menjadi penguasa yang menerapkan hukum dan sistem selain Islam
haram hukumnya.
Berarti haram dong mengangkat pemimpin semacam itu?
Iya. Bahkan, jika ada pemimpin yang awalnya dibaiat dalam rangka
menjalankan hukum Islam, kemudian di tengah jalan menerapkan hukum
kufur, harus diingatkan. Jika tidak berubah, harus dicabut kekuasaan
dari mereka. Dalam hadits Muslim dari ‘Ubadah bin al-shamit: Rasulullah
SAW telah mengajak kami, dan kami pun membaiat beliau, di antara baiat
yang diminta dari kami “Hendaklah kami membaiat untuk senantiasa
mendengar dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam sulit
maupun mudah, dan mendahulukannya atas kepentingan; dan kami tidak
mengambil kekuasaan itu dari pemiliknya, qâla illâ taraw kufr[an] bawâh[an], beliau bersabda: ” Kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang- terangan yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”
Dalam hadits ini amat jelas, ketika penguasa itu menunjukkan
kekufuran yang nyata, di antaranya dengan menerapkan hukum-hukum kufur,
maka umat tidak boleh membiarkannya. Umat wajib mengambil kekuasaan itu
dari penguasa tersebut.
Berarti kita harus mengubah sistem terlebih dahulu sebelum membicarakan siapa pemimpinnya?
Benar. Itulah yang dilakukan Hizbut Tahrir. Kita senantiasa mengajak
umat Islam untuk mencampakkan sekulerisme, kapitalisme, demokrasi,
liberalisme, dan berbagai sistem kufur lainnya yang kini diterapkan di
negeri-negeri Islam; dan menggantinya dengan sistem Islam. Itulah
syariah dan khilafah. Siapa pun pemimpinnya, tentu yang memenuhi syarat in’iqad, jika
itu yang diterapkan, akan menghasilkan kebaikan. Allah SWT akan membuka
berkah dari langit dan bumi sebagaimana disebutkan dalam QS al-A’raf
[7]: 96.
Maka, sekaranglah saatnya bagi umat segera mengganti rezim dan sistem
sekuler demokrasi yang terbukti menyengsarakan itu dengan pemimpin yang
menerapkan syariah dalam naungan khilafah. [hizbut-tahrir.or.id]
Posting Komentar untuk "[Wawancara] Sadarlah, Sekarang Saatnya Ganti Sistem!"