Cara Khilafah Islam Mengelola Budaya
World Culture Forum (Sumber:Istimewa) |
Dalam sistem negara kapitalis, pengelolaan budaya memang akan terus
menjadi persoalan rumit. Akhir November 2013 lalu pemerintah RI
menyelenggarakan WCF (World Culture Forum) di Bali. Penguatan peran
budaya di beberapa negara peserta pun siap dijalankan. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh juga mengharapkan agar budaya semakin
menjadi jiwa bangsa, bahkan mampu menjadi perekat antar komponen.
Sebab, menurutnya budaya memiliki kekuatan lintas agama, etnik, bangsa
dan negara. Itulah mengapa pemerintah dalam berbagai kesempatan
menekankan agar budaya tidak lagi dianggap remeh. Pengelolaan budaya
dalam sebuah Undang-Undang pun dianggap sangat penting. Meskipun,
nyatanya RUU Pengelolaan Budaya ternyata telah mengendap di DPR hingga
10 tahun.
Masalahnya, mampukah negeri ini menghasilkan peraturan yang
benar-benar akan menjadikan budaya sebagai penyelamat bangsa? Ataukah
semua itu hanya akan berakhir dengan berbagai kesemrawutan (dan
persoalan baru) sebagaimana peraturan lain yang dilahirkan dari lembaga
perwakilan rakyat yang tidak mendasarkan proses legislasinya pada
hukum-hukum Allah? Bagaimana sebenarnya sistem Islam mengatur dan
mendudukkan budaya dalam kehidupan masyarakat? Berikut jawabannya.
Pelik Masalah Budaya Kapitalis
Diakui penanganan masalah budaya memang membutuhkan pengaturan yang
ekstra hati-hati dan harus tepat. Dari masa ke masa, perbagai persoalan
besar yang menimpa umat manusia sering terlahir dari sekedar persoalan
budaya. Bahkan diantara tujuan dihadirkannya Islam adalah untuk
membenahi persoalan budaya manusia yang kala itu sudah sangat jauh
menyimpang dan merugikan manusia.
Di Indonesia sendiri, negeri yang konon memiliki ratusan budaya,
puluhan etnik, dengan bahasa dan peri kehidupannya, tentu berpotensi
melahirkan konflik dan masalah. Bukan hanya itu, bahkan tanpa
pengaturan yang jelas, nilai ekonomi sebuah budaya bisa terancam. Kasus
pengambilalihan salah satu bentuk budaya Indonesia (batik, reog, dan
lain-lain) oleh negara tetangga saja bisa menimbulkan keributan besar.
Terkadang dilema pun muncul ketika di satu sisi pemerintah
menghendaki dilestarikannya semua budaya yang lahir dari bangsa
Indonesia, namun di sisi yang lain, kebudayaan tersebut melahirkan
konflik karena dianggap bertentangan dengan budaya dan keyakinan
tertentu. Misalnya, pelestarian budaya “sedekah laut” yang merupakan
bentuk kesyirikan yang bertentangan dengan Islam, tentu berpotensi
melahirkan konflik, bukan malah menyatukan sebagaimana harapan awal
pemerintah.
Gencarnya keinginan pemerintah untuk melestarikan dan mengedepankan
budaya bangsa –apapun bentuknya- memang bisa melahirkan ancaman,
khususnya bagi kaum muslim. Mengapa? Tentu saja, karena Islam sangat
memperhatikan persoalan budaya dan menjaga agar kaum muslim hanya
terikat pada budaya yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam.
Kekhawatiran muncul, apabila pengelolaan budaya tersebut keliru, akan
berpotensi menggeser keterikatan yang wajib dimiliki oleh setiap muslim
terhadap Syariah. Sebab, betapa banyak muslim yang terlibat pada
perayaan “sedekah laut”, dan berbagai jenis budaya lain. Padahal
aktivitas seperti itu dan lainnya dapat mengikis akidah dan mencemari
ibadah umat Islam.
Yang tak kalah merepotkan lagi adalah pengaturan budaya kesenian.
Tidak sedikit bentuk kesenian yang tata cara pelaksanaannya bertentangan
dengan Syariah Islam. Bagaimana jika ia juga diakomodir sebagai budaya
nasional yang harus dilestarikan, bahkan dikembangkan sementara para
pelakunya juga kaum muslim.
Di sisi lain, negara juga berkepentingan mendapatkan keuntungan
finansial dari keragaman budaya bangsa. Dengan dalih peningkatan devisa
negara melalui sektor pariwisata, budaya menjadi aset yang harus
dikembangkan. Tak jarang, demi kepentingan ini, keyakinan (akidah) umat
Islam dikorbankan.
Itulah pengelolaan budaya negara kapitalis seperti sekarang ini. Dan
mampukah demokrasi menghadirkan peraturan yang mengakomodir dan
menyelamatkan kaum muslim? Pengendapan selama 10 tahun di DPR
sebenarnya cukup membuktikan bahwa negara gagal mengatur. Dan akibatnya
pun kini tengah dirasakan umat; ancaman budaya kufur, tak hanya dari
dalam bahkan dari luar.
Oleh karena itu, sudah saatnya umat mengembalikan Khilafah Islam
untuk mengatur keragaman budaya agar tidak terjerumus pada kemunkaran
budaya.
Pengaturan Budaya dalam Sistem Khilafah
Menilik definisinya, maka budaya -menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)- adalah pikiran atau akal budi. Hasil dari budaya bisa
berupa adat istiadat. Sedangkan kebudayaan adalah hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan
adat istiadat. Atau bisa juga berupa keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Dari definisi di atas, maka jelaslah bahwa Islam berkepentingan
mengatur budaya manusia sesuai ketentuan Allah SWT. Berikut beberapa
poin pengaturannya.
Pertama, ragam budaya hakikatnya merupakan sunnatullah. Allah SWT Sang Pencipta manusia telah berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”..(TQS. Al Hujurat [49] : 13).
Juga firman-Nya :
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah penciptaan langit
dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui” (TQS Ar Ruum [30] : 22).
Adanya perbedaan bahasa, adat, suku menunjukkan bahwa manusia memang
diciptakan dengan beragam budaya. Semua itu menunjukkan kekuasaan Allah
SWT. Nash tersebut juga tidak menunjukkan perintah agar kaum muslim
menyatukan atau menyeragamkan budaya. Nash Syara yang lain hanya
menunjukkan mana budaya yang boleh diambil oleh kaum mukmin dan mana
yang tidak.
Kedua, Islam hadir untuk mengubah budaya
kufur. Meski keragaman budaya adalah sunnatullah, namun Syariah juga
menghendaki agar manusia hidup di bawah pengaturan hidup yang benar,
meninggalkan budaya yang dianggap buruk oleh Allah dan hanya mengambil
budaya yang benar.
Islam sendiri diturunkan di tengah beragamnya budaya kufur (merusak)
yang dilakukan mayoritas masyarakat Arab. Kehadiran Rasulullah Saw
menyentak kebiasaan yang sudah turun temurun dilakukan nenek moyang
bangsa Arab. Padahal jauh sebelum mereka telah diturunkan pula Nabi
Ibrahim as. yang juga mendobrak budaya dan keyakinan masyarakat
jahiliyah pada waktu itu.
Kehadiran Islam kembali membersihkan kotoran, adat, kebiasaan dan
budaya buruk. Islam telah mengeliminasi budaya kufur baik berupa
keyakinan, ibadah, akhlak dan hukum kemasyarakatan seperti penyembahan
berhala, penentuan hari baik, kehinaan mendapatkan anak perempuan,
budaya minum khamer, budaya saling membunuh, semangat kabilah yang kuat,
dan lain sebagainya.
Semua itu menunjukkan bahwa Islam sangat berkepentingan mengatur
budaya. Paham liberalisme dan Hak Asasi Manusia yang mengedepankan
kebebasan berekspresi sesungguhnya telah bertentangan dengan konsep
Islam tersebut.
Ketiga, budaya kaum muslim tidak boleh
bertentangan dengan syariah Islam. Budaya atau kebudayaan berkaitan
erat dengan perilaku bahkan juga sudut pandang kehidupan (akidah
seseorang). Dengan pengertian ini, maka Islam telah menetapkan bahwa
budaya muslim tidak boleh keluar dari aturan Syariah. Hal ini merupakan
konsekuensi dari akidah Islam yang telah dipeluknya.
Allah SWT berfirman :
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan. “(TQS. an-Nisa [4]: 65)
Menjadikan Rasulullah Saw sebagai hakim (pemutus perkara)
berarti menjadikan Islam sebagai penentu apakah seseorang boleh atau
tidak melakukan perbuatan. Apalagi Allah SWT juga telah menjadikan
masalah ini sebagai syarat (konsekuensi) keimanan.
Para ulama Ushul juga menyatakan Kaidah Syara’ bahwa “al ashlu fi al-af’al at taqoyyadu bi al hukmi asy syari’iy” (asal
dari perbuatan (selalu) terikat dengan hukum syara). Hal ini berarti
seorang muslim tidak boleh mengerjakan sesuatu kecuali setelah
mengetahui lebih dahulu hukum syara’nya sehingga ia bisa beramal sesuai
yang diperintahkan Syariah. Itulah mengapa tidak semua budaya boleh ada
dalam kehidupan umat Islam.
Keempat, negara mengatur budaya non
muslim. Dalam daulah Khilafah, warga negara non muslim (kafir dzimmi)
diberikan kebebasan untuk mengikuti budayanya sepanjang hal itu
berkaitan dengan hal-hal privat seperti akidah, ibadah dan kekeluargaan
(pernikahan, perceraian). Adapun jika budaya tersebut berkaitan dengan
kehidupan di masyarakat umum, maka pengaturannya disesuaikan dengan
hukum Islam yang berlaku di masyarakat. Misalnya, tentang budaya
berpakaian, maka mereka tetap harus menjaga batas-batas berpakaian dalam
kehidupan umum sesuai syariah Islam. Demikian juga untuk masalah
(budaya) lainnya.
Adapun terhadap berbagai bentuk peninggalan budaya kufur yang ada,
maka jika masih digunakan untuk peribadatan bagi pemeluknya, maka negara
membiarkannya, dan tidak akan memugarnya jika rusak. Sedangkan jika
sudah tidak dipakai untuk beribadah , maka negara akan menutupnya bahkan
menghancurkannya.
Daulah Khilafah tidak akan menjadikan budaya kufur sebagai aset atau
sumber pemasukan keuangan negara. Sebaliknya, negara hanya menjadikan
kekayaan budaya kaum muslim sebagai bentuk (sarana) dakwah kepada orang
kafir, baik di dalam maupun di luar negeri agar mereka semakin meyakini
Allah SWT dan keagungan sistem Islam. Misalnya, kekayaan budaya
arsitektur, kesenian, dekorasi, kuliner, bahasa, dan lain-lain. Inilah
perbedaan yang mendasar antara pengelolaan budaya di negara kapitalis
dan Daulah Khilafah.
Kelima, mewaspadai budaya merusak. Negara
berkewajiban melindungi warga negaranya dari tersusupinya budaya kufur.
Oleh karenanya, Negara akan menjaga akidah umat, memberikan kesadaran
dan pemahaman tentang akidah dan hukum Syariah sehingga umat memiliki
ketakwaan yang tinggi untuk menolak setiap budaya kufur. Hadits
Rasulullah Saw juga bersabda :
“Sesungguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum
kalian sejengal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya
mereka masuk lubang dhab (biawak) niscaya akan kalian ikuti. Maka para
shahabat bertanya, “ya Rasulullah (maksudnya) orang-orang Yahudi dan
Nasrani? (jawab rasulullah) : siapa lagi ?“ (HR. Bukhari dan Muslim).
Di samping itu, Negara juga akan memberikan sanksi yang tegas, baik berupa peringatan maupun takzir terhadap semua warga negara yang nyata-nyata menyebarkan budaya kufur, apalagi memanfaatkannya.
Penutup
Sesungguhnya kaum muslim terikat dengan budaya yang disyariatkan
Allah SWT. Namun, kehidupan kapitalis ternyata cenderung mendorong
tumbuhnya budaya yang tak sedikit bertentangan dengan Syariah Islam.
Oleh karena itu, kaum muslim selayaknya bangkit menyuarakan tegaknya
Khilafah Islam yang akan mengelola budaya yang ada untuk kemaslahatan
kaum muslim dan manusia pada umumnya. Mari kita perjuangkan bersama! [Noor Afeefa]
Posting Komentar untuk "Cara Khilafah Islam Mengelola Budaya"