Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gerakan Je ne Suis Pas Charlie: Suatu Analisa Yang Salah



VisiMuslim - Komentar dan analisis yang muncul segera setelah penembakan di kantor Charlie Hebdo, pada 7 Januari 2015 lalu, bisa disebut bodoh dan licik. Harus diperhatikan narasi  yang disemburkan oleh media mainstream. Penembakan ini adalah tindak pidana. Tidak ada individu yang diperbolehkan untuk menegakkan keadilan main hakim sendiri meski karena merasa batas-batas mereka telah dilanggar. Kematian seharusnya tidak terjadi  dan tindakan penembakan tidak sejalan dengan posisi Islam normatif.

Ada kebodohan dan kesesatan yang ditampilkan oleh media dunia segera setelah hal itu terjadi.

Ada curahan simpati, kecaman, dan solidaritas yang tiba-tiba untuk mereka yang tewas. Orang-orang yang melakukan curahan solidaritas itu secara tiba-tiba seperti menderita penyakit demensia dari media Barat, yang ditandai oleh gangguan memori, perubahan kepribadian, dan gangguan penalaran.
Semua keunggulan dari kelompok fasis sayap kanan—seperti Nigel Farage dan Douglas Murray—dan para pendukung kebebasan berbicara sayap kiri—seperti Bill Maher— didukung dengan penuh percaya diri.

Apakah mereka lupa siapa wartawan Charlie Hebdo ini? Ini tentu terlihat sebagai sebuah persoalan. Apakah posisi yang masuk akal bagi mereka untuk menyatakan penembakan itu merupakan tindak kriminal dan tidak boleh terjadi lagi? Apakah sebuah permainan yang adil mereka sekarang menunjukkan solidaritas dengan cara fanatik dan rasis?

Hastag #jesuischarlie langsung menjadi hit di media sosial. Kalimat-kalimat yang tertulis dalam hashtag itu adalah “Kami semua adalah Charlie. Kami mendukung mereka. Kami harus menunjukkan solidaritas. Kami harus mencetak ulang kartun dan menunjukkan pembangkangan.”

Gambar satir telah dipuji sebagai alat untuk melanggar batas dan mulai mengatur hubungan antara penguasa dan orang yang dikuasai. Apakah Islam dan Muslim di Perancis termasuk dalam kategori yang dikuasai? Apakah gambar kartun Muhammad (SAW) adalah kritik sosial yang valid? Apakah kartun Yesus, yang digambarkan sedang dalam (maaf) posisi menyodomi adalah komentar sosial yang valid? Ini adalah solidaritas atas jurang degradasi moral dari nilai-nilai paling dasar manusia.

Para kartunis sengaja menyinggung perasaan umat Islam dengan jahat. Mereka tidak menangani ‘Islam radikal’ . Mereka tidak mengkritik ajaran Islam. Tapi mereka berusaha untuk menghina agama dengan cara yang paling merusak dan menindas. Mereka menargetkan agama yang memiliki pemeluk sebesar 1,7 miliar orang di seluruh dunia.

Sebagian orang berpendapat, “hak untuk mencerca” harus dilestarikan. Mereka berpendaapat kita harus menjunjung tinggi nilai yang membolehkan orang-orang mengekspresikan diri mereka dengan cara-cara yang mungkin akan melanggar sensibilitas orang lain.

Apakah kesopanan tidak memerlukan hal yang sebaliknya? Bahwa kita tidak perlu menyinggung, menyakiti atau menghina? Bahwa kita harus menunjukkan rasa hormat dan menghormati perbedaan? Kami tidak mengajak anak-anak kami untuk menghina orang lain. Kami tidak mengajarkan para lulusan sekolah kami untuk belajar seni yang “melanggar etika secara serampangan”. Tapi kami belajar berdiskusi, berdebat, dan berargumentasi dengan sopan santun yang pantas menjunjung moralitas dan kesopanan manusia.

Bahkan dengan standar paradigma Barat pun, legalitas dan kebenaran dari suatu tindakan tidak sama artinya.

Sebagai analogi, perzinahan adalah hal yang legal di Barat. Namun, apakah itu berarti itu adalah hak bagi seorang individu untuk tidur dengan istri orang lain?

Undang-undang tidak memungkinkan bagi seorang individu untuk membunuh meski dia menemukan orang lain tidur dengan istrinya. Jika itu terjadi, yang namanya pembunuhan akan tetap saja salah jika dilakukan.

Namun, apakah kita akan secara kolektif menunjukkan solidaritas terhadap sang pezina itu? Apakan kita akan mendorong semua orang untuk mengulangi tindakan perzinahan, dengan wanita yang sama, sekedar untuk menegakkan menjunjung ‘kebebasan’?

Lalu apakah  #jesuischarlie adalah suatu permainan yang adil? Apakah mencetak ulang kartun yang menjijikkan itu adalah untuk menjunjung tinggi kebebasan?

Barat memang secara kolektif terlibat dalam perang melawan Islam dan Muslim di seluruh dunia. Jutaan kaum Muslim telah tewas, disiksa, dipenjara, dan diperkosa oleh kemajuan hegemoni dan ekonomi Barat.

Kaum Muslim menjadi menjadi target paling terkenal di seluruh Eropa. Umat Islam adalah kelas yang paling miskin, yang tidak memiliki kendali atas kekuasaan. Diskriminasi terjadi terhadap Muslim dalam pekerjaan dan pendidikan dan merupakan hal biasa dari benteng kebebasan ini.

Lantas, ingatkah kita pada tuduhan anti-Semitisme yang akan ditujukan pada orang-orang yang mengkritik represi brutal Israel di Palestina?

Ingat juga ketika sekelompok kecil umat Islam memprotes kejahatan perang tentara Inggris dengan berbaris di Wooton Bassett.

Lihatlah bagaimana laporan dari pemerintah Inggris dalam menangani ekstrimisme. Mereka berusaha melarang ekspresi dari perbedaan pendapat dengan nilai-nilai Barat, dengan memanfaatkan kekuatan negara terhadap mereka yang tidak setuju dengan demokrasi.

Pada tahun 2009, anggota pendiri Charlie Hebdo, Sine, menghadapi tuntutan pidana dan dipecat dari pekerjaannya karena dituduh menunjukkan bahwa anak Sarkozy akan menikah dengan seorang ahli waris dari seorang businessman Yahudi. Lalu dia dicap sebagai anti-Semit.

Mengapa Jeremy Clarkson dituduh memberikan komentar rasis? Di mana kebebasan berekspresi? Apakah kita akan gunakan istilah-istilah ‘negro’, anti-Meksiko kolektif, untuk menegakkan hak untuk menyinggung perasaan?

Perancis dan Jerman melarang ‘Penyangkalan terhadap Holocaust‘. Kejahatan pembunuhan yang dikenakan pada orang-orang Yahudi di Eropa secara konsisten harus digunakan dalam hak untuk menyinggung, bukan? Lalu kenapa tidak kita menunjukkan solidaritas dengan kaum fasis sayap kanan di seluruh Eropa yang mengadakan aksi unjuk rasa massal ‘Penyangkalan yerhadap Holocaust‘?

Berapa banyak yang akan mereproduksi kartun tersebut untuk menegakkan kebebasan?

Banyak sekali contoh-contoh yang bisa diberikan. Kita tahu bahwa semua orang yang masih waras akan bergidik membayangkan solidaritas atas fanatisme dan prasangka tersebut.

Namun di sini kita yang menjadi masalah adalah Charlie Hebdo.

Yang ada adalah kekejaman yang menunjukkan kepada sebuah kemunafikan. Kecuali kita konsisten dalam sikap kita kepada semua pelanggaran dan penghinaan, kita harus memiliki introspeksi mendalam, mengapa hak khusus untuk mencerca ini tampaknya layak ditegakkan.

Saat saya menulis artikel ini, ratusan ribu orang ditindas menjadi korban rezim tiran dan ditahan di seluruh dunia dengan keterlibatan langsung dan instruksi dari kekuatan Barat. Arab Saudi, Mesir, Uzbekistan, Pakistan dan banyak lagi yang menolak perbedaan pendapat lewat para agen langsung dari kekuatan imperium Barat.

Shaker Amer, seorang warga Inggris tahanan Guantanamo yang tidak bersalah, tidak pernah dibebaskan dan dibersihkan namanya untuk dilepas oleh tentara.

Baber Ahmed ditahan tanpa dakwaan selama bertahun-tahun di penjara Inggris. Jaksa Agung menerima kenyataan bahwa tidak ada kasus yang dituduhkan terhadap dirinya karena kurangnya bukti. Lalu mengapa Inggris mengekstradisinya ke Amerika Serikat, yang melanggar hak-hak dan kebebasannya?

Abu Qatada – seorang yang tidak dikenakam tuduhan dan memenangkan banding berulang-ulang terhadap penahanan dirinya lalu diekstradisi ke Yordania. Pemerintah Inggris menghabiskan jutaan pound dari uang wajib pajak untuk membatasi kebebasan orang ini, dan akhirnya mengekstradisinya kepada rezim Yordania.  Kapan publik Inggris berniat untuk menunjukkan solidaritas terhadapnya dan meminta pemulihan hak-haknya?

Kaum muslim telah melakukan pertanggung jawaban kepada pemerintah dengan kuat, hak atas peradilan yang adil, kebebasan berekspresi dan kritik yang telah jauh sebelum adanya Magna Carta atau ECHR.

Penghinaan kepada Nabi Muhammad (SAW) adalah suatu pelanggaran berat dalam negara Islam.

Kami akan terus mengutuk tindakan keji tersebut namun  menunjukkan solidaritas bagi mereka yang tewas karena melanggar kesucian ini adalah hal yang tidak benar dan suatu respon yang dipaksa.

Kesimpulannya, pembunuhan itu adalah tindakan main hakim sendiri yang salah, tapi jangan tertipu oleh fatamorgana ‘kebebasan’. Ini bukan tentang kebebasan. Ini adalah tentang bagaimana negara tuan rumah memperlakukan komunitas migran yang kurang beruntung yang merasa agama dan cara hidup mereka yang diserang. Ini adalah tentang saling menghormati, atau tidak adanya hal itu.

Saya tidak melakukan solidaritas terhadap para kartunis yang tewas dalam tindakan ini, bahkan jika serangan itu sendiri adalah salah dan tidak Islami. Ini adalah akhir yang tercela dari serangkaian tindakan rasis dan fanatik. Semoga Allah Yang Mahakuasa memperlakukan mereka keadilan-Nya yang tidak terbatas.

Seharusnya yang dikatakan adalah: Je ne suis pas Charlie. Je suis Musulman et j’aime Muhammad (SAW) plus que tout sur terre et dans l’au delà. (Saya bukan Charlie. Saya adalah seorang Muslim dan saya mencintai Muhammad (SAW) lebih dari apa pun yang ada di bumi dandi langit). (rz) [Adnan Khan] 


Sumber :

https://politicalideology1985.wordpress.com/2015/01/10/je-ne-suis-pa-charlie-incorrectly-diagnosed/

Posting Komentar untuk "Gerakan Je ne Suis Pas Charlie: Suatu Analisa Yang Salah"

close