Amerika dan The Political Heroin
Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI (pengamat politik Internasional)
Survei Global Obat-Obatan sebagaimana yang dirilis theguardian.com menemukan bahwa kaum perempuan dan anak-anak muda usia 16-20an adalah kelompok yang paling rentan, dan internet telah menggantikan jalanan sebagai pasar. Satu dari lima pengguna narkoba di Inggris telah dimanfaatkan secara seksual yang paling rentan setelah alkohol atau penggunaan narkoba. Hasil temuan ini adalah salah satu hasil penelitian pada tahun 2013 dari Survei Global Mengenai Obat-obatan, yang dilakukan dengan bekerjasama dengan The Guardian, Mixmag dan Majalah GT, yang mensurvei lebih dari 7.000 pengguna.
Kelompok negara Barat khususnya Paman Sam, relatif canggih memainkan modus Perang Opium di berbagai negara. Ibarat bola sodok, di tangan Central Intellegence Agency (CIA) perdagangan candu itu seperti pukulan yang mengenai dua bola sekaligus. Bola pertama berupa rusaknya generasi bangsa (lost generation), sedang bola kedua adalah money laundry (pencucian uang) atas bisnis narkoba yang dikerjakan.
Modus Imperialisme Soft Power
Ada sebuah pernyataan menarik dari Antonio Maria Costa, Direktur Eksekutif United Nations Office of Drug Control (UNODC). Menurut pengungkapan Costa, dana narkoba (black budget) menjadi satu-satunya sumber modal saat krisis pendanaan pada akhir tahun. Dan dana dari narkoba itu seringkali lolos audit dan laporan resmi, karena itu terdapat sejumlah kejadian dimana CIA tidak pernah memberikan laporan detil setiap operasi dengan siapa pun di Washington.
Maria Costa kiranya tidak berlebihan, mengingat CIA sejak dulu punya sejarah kelam bersekongkol dengan beberapa gembong mafia. Pada Perang Dunia II, CIA memanfaatkan pengaruh Lucky Luciano untuk menggalang dukungan rakyat Sicilia sebelum pendaratan pasukan Sekutu di pulau tersebut dan mengusir pasukan Jerman. Kini, CIA merentangkan tali kendalinya di berbagai belahan dunia yang diketahui sebagai pusat-pusat produksi opium di Segitiga Emas dan Afghanistan, kokain di Nikaragua maupun tempat lain. (Sofyan Ahmad, Narko-Kolonialisme Ala CIA, Majalah Intelijen No. 06/Th VIII/2011).
Menyimak pula analisis Dr Peter Dale Scott dalam sebuah konferensi internasional pada 1990. Menurut Scott, adanya campur tangan AS dengan dalih pemberantasan narkoba, bukannya mengurangi justru semakin meningkatan produksi dan arus perdagangan. Ia pun menarik asumsi, bahwa intevensi dan keterlibatan Paman Sam baik militer ataupun politik di suatu negara, adalah bagian dari masalah bukan memecahkan masalah.
Dengan kata lain, bila CIA melakukan intervensi di sebuah negara maka produksi dan perdagangan narkoba cenderung meningkat, sebaliknya jika ia menurunkan (tensi) intervensinya niscaya produksi dan arus perdagangan narkoba bakal menurun. Ini dia! Dari tesis Scott sebenarnya bisa diambil asumsi lagi, bahwa Perang Candu sebagai modus penjajahan diyakini akan senantiasa melekat dalam ragam dan bentuk kolonialisme yang dikembangkan oleh AS dan sekutu di berbagai negara. Ini yang mutlak harus jadi catatan kita bersama.
Mari kita simak sebuah catatan penting berikut ini, terkait peningkatan peredaran narkoba di Afghanistan. Pada akhir invasi Uni Soviet 1989, Afghanistan adalah produsen opium kedua terbesar dunia dengan jumlah 1350 metrik ton, setelah Segitiga Emas : Laos-Thaildand-Burma-Vietnam yang memproduksi 2645 Metrik ton, jauh di atas Amerika Latin yang hanya memproduksi 112 Metrik ton, demikian menurut badan anti narkoba AS.
Saat Amerika di bawah kepresidenan George W Bush menginvasi Afghanistan dengan dalih Taliban dan al Qaeda telah terlibat dalam aksi terror pemboman gedung World Trade Center dan Pentagon pada September 2001. Ketika AS menginvasi Afghanistan, sebenarnya Pentagon punya daftar 25 laboratorium dan gudang obat bius, tetapi ia menolak menghancurkan gudang-gudang tersebut dengan alasan milik CIA dan sekutu lokalnya. Bahkan James Risen mencatat, penolakan untuk menghancurkan laboratorium narkoba justru dari pentolan Neo-Konservatif yang menguasai birokrasi Keamanan Nasional di AS seperti Douglas Feith, Paul Wolfowitz, Zalmay Khalilzad, dan sang patron Donald Rumsfeld. Berarti, peredaran dan penjualan narkoba bukan saja didukung oleh eselon puncak pemerintahan Bush di Gedung Putih, melainkan telah menjadi bagian integral dari strategi pelumpuhan Afghanistan dari dalam negeri.
Sejak Juni 2003 Tak lama setelah Amerika berhasil menduduki Afghanistan secara militer, pemerintahan Bush diam-diam mendanai pembangunan kembali Afghanistan dan mengizinkan para tuan tanah setempat (Warlord) meraih kekuasaan kembali. Mereka ini pada umumnya terlibat dalam bisnis barang-barang terlarang seperti Narkoba dan Candu.
Tak heran ketika itu muncul berbagai pemberitaan mengenai meningkatnya produksi obat-obatan terlarang seperti Narkotika dan Opium di Afghanistan. Mari kita lihat fakta-fakta berikut ini. Kala pasukan multinasional pimpinan Bush Jr menyerbu Afghanistan (2001) berdalih menumpas al-Qaeda dan terorisme pasca WTC, produksi opium seketika meningkat dari 165.000 ton (2006) menjadi 193.000 ton (2007). Kendati dekade 2008-an terdapat penurunan sekitar 157.000 ton semata-mata karena over produksi, barang tidak terserap oleh pasar.
Episode sebelumnya lebih dahsyat lagi. Di Burma (kini Myanmar) misalnya, akibat campur tangan CIA tahun 1950 mampu meningkatkan produksi narkoba dari 40 ton (1939) menjadi 600 ton (1970). Di Thailand pun demikian, dari sebelumnya hanya 7 ton (1939) naik menjadi 200 ton (1968). Luar biasa! Di Laos tidak mau ketinggalan, dari produksi 15 ton tahun 1939 menjadi 50 ton pada tahun 1973. Bahkan catatan Prof Peter Dale Scott untuk kasus di Kolombia (1980) dianggap paling dramatis. Oleh sebab naiknya produksi opium justru diakibatkan kehadiran militer AS dengan modus perang terhadap narkoba. Disini semakin terbukti asumsi Pepe Escobar, bahwa politik praktis itu bukannya yang tersurat melainkan apa yang tersirat (2007). Maksud asumsi Escobar terkait data-data produksi opium di negara-negara tadi adalah: di permukaan seolah-olah Paman Sam gencar memberantas narkoba, namun di bawah permukaan justru mengendalikan produksi dan peredarannya.
Bahkan catatan Prof Peter Dale Scott untuk kasus di Kolombia (1980) dianggap paling dramatis. Oleh sebab naiknya produksi opium justru diakibatkan kehadiran militer AS dengan modus perang terhadap narkoba. Disini semakin terbukti asumsi Pepe Escobar, bahwa politik praktis itu bukannya yang tersurat melainkan apa yang tersirat (2007). Maksud asumsi Escobar terkait data-data produksi opium di negara-negara tadi adalah: di permukaan seolah-olah Paman Sam gencar memberantas narkoba, namun di bawah permukaan justru mengendalikan produksi dan peredarannya.
Masuk akal jika Amerika dan pemerintahan Barrack Obama sekarang bersikeras dan berketetapan hati untuk menambah jumlah pasukan militernya di Afghanistan. Namun, adakah kesungguhan Amerika untuk menanggulangi perdagangan Narkotika dan Opium di Afghan dengan merujuk pada data-data yang tergambar di atas? Apalagi dengan fakta bahwa 75 persen heroin dunia sekarang ini berasal dari Afghanistan.
Tanpa dukungan aktif Pentagon dan CIA, rasa-rasanya tidak mungkin Afghanistan bisa mengekspor 8000 metrik ton opium ke luar Afghanistan. Hal ini bisa dijelaskan melalui fakta bahwa Hubungan AS dengan Aliansi Utara setelah Taliban jatuh ternyata telah member lisensi besar pada seluruh produsen maupun pedagang opium di Afghanistan.
CIA dan Pentagon mempunyai jaringan dengan kelompok-kelompok kriminal untuk mengamankan suplai narkoba dan mengeskpornya dengan pesawat militer AS. Banyak laporan yang menerangkan bahwa pesawat-pesawat militer yang digunakan CIA mengangkut peti mati ternyata berisi narkoba.
Dalam modus tersebut, terbaca hidden agenda agar supaya dalam suatu “negara target” tidak muncul gerakan dan gejolak politik di tengah masyarakat terutama kalangan elit dan pemuda terkait upaya-upaya perlawanan atas kolonialisme di depan mata.
Indonesia dalam Bahaya
Di Indonesia sebanyak 51.000 orang pecandu narkoba di Indonesia meninggal setiap tahun, kata Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Maluku, Benny Pattiasina. “Di Indonesia, 41 pecandu meninggal setiap hari atau dua orang meninggal setiap dua jam karena narkoba,” katanya saat memberikan penjelasan dalam kegiatan Desiminasi Informasi Penyalahgunaan Narkoba dan Dampaknya di Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 1 Ambon, Senin (27/2/2012).
Bahaya besar narkoba sedang mencengkeram negeri ini. Meski polisi mampu menggulung jaringan narkoba internasional, barang haram itu masih bebas beredar di kelab malam. Sebagian besar penyalah guna narkoba ialah remaja berpendidikan tinggi dan sekitar 15 ribu orang setiap tahun mati. Peredaran narkotika dan obat berbahaya (narkoba) sudah sangat mengkhawatirkan. Indonesia sudah berada dalam kondisi darurat narkoba.
Berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) yang bekerja sama dengan Puslitkes UI pada 2011, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba 2,2% atau setara dengan 4,2 juta orang dari total populasi penduduk Indonesia berusia 10 tahun hingga 59 tahun. Angka prevalensi diprediksikan meningkat menjadi 2,8% (5,1 juta orang) pada 2015.
Tren penyalahgunaan narkoba saat ini didominasi ganja, sabu-sabu, ekstasi, heroin, kokain, dan obat-obatan Daftar G. Itulah sebabnya, Koordinator Gerakan Masyarakat Antimadat (Geram) Heru Purwoko di Jakarta, kemarin, mendesak pemerintah segera menetapkan kondisi darurat narkoba. “Ini kondisinya sudah sangat gawat. Indonesia sudah dalam kondisi darurat narkoba,” tegasnya.
Data yang disodorkan Gerakan Nasional Antinarkotika (Granat) lebih mencengangkan lagi. Ketua DPP Granat Henry Yosodiningrat menjelaskan imbas bisnis narkoba telah menjadi duka bangsa. Sedikitnya sudah 5 juta orang divonis sebagai pecandu dan dalam sehari 50 nyawa terenggut akibat penyalahgunaan narkoba.
Ironisnya, kata Henry, Indonesia tidak mendapatkan keuntungan finansial. Keuntungan Rp365 triliun/tahun dari bisnis narkoba dibawa lari ke luar negeri. “Indonesia darurat narkoba. Peredaran gelap jaringan internasional sudah menjangkau oknum di institusi tertentu. Mereka (oknum) menjadi bagian dan kaki tangan sindikat,” tandas Henry.
Peminat narkoba tidak kesulitan mencari pasokan. Meski aparat berhasil menyita narkoba, perkiraan yang lolos masih lebih besar (lihat grafik). Sepanjang 2012, BNN sudah 12 kali memusnahkan narkoba. Total yang telah dimusnahkan sebanyak 28.062 gram sabu-sabu, 44.389 gram ganja, 10.116 gram heroin, dan 3.103 butir ekstasi.
Narkoba terus membanjiri negeri ini lewat darat, laut, dan udara. BNN menangkap seorang pria dari komplotan pengedar narkoba jenis sabu-sabu di Stasiun Gambir, Jakarta, kemarin. Narkoba seberat 713,2 gram itu dikemas dalam bungkusan kopi instan. [VM]
Posting Komentar untuk "Amerika dan The Political Heroin"