Naskah Khutbah Idul Fitri 1437 H Oleh Dr. H. Syahrir Nuhun, Lc., M.Th.I
KHUTBAH ‘IEDUL FITHRI 1437 H:
MEMBANGUN KESADARAN KOLEKTIF UMAT AKAN KEWAJIBAN MELAKSANAKAN SYARI’AT SECARA KAFFAH DALAM NAUNGAN KHILAFAH
Oleh : DR. H. Syahrir Nuhun Lc., M.Th.I
الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر
اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوىَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Segala puji hanyalah milik Allah swt. Dialah Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dialah Allah yang Maha Memiliki dan Maha Menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Allah swt sajalah, kita semua beribadah dan hanya kepada Allah swt sajalah kita semua beristi’anah. Dialah Allah yang telah memberikan kenikmatan beribadah, khususnya pada bulan Ramadhan yang baru saja dilalui, bahkan ibadah shalat Ied pada pagi hari ini.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad saw, beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa istiqamah di atas jalan kebenaran hingga hari akhir nanti. Beliaulah Nabi yang diutus oleh Allah swt sebagai pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, pengajak manusia kepada jalan Allah dan pelita yang menerangi.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Ramadhan telah berlalu, seiring dengan berjalannya waktu, namun kepergiannya pasti akan meninggalkan kesan yang mendalam di dalam qalbu. Hati dipenuhi perasaan bahagia, tetapi juga kecemasan. Bahagia karena kita telah melaksanakan berbagai macam amal ibadah yang disyari’atkan di dalamnya, baik ibadah yang diwajibkan seperti puasa Ramadhan dan juga zakat fitri, maupun yang disunnahkan, seperti shalat tarawih, membaca al-qur’an, dzikir, do’a, sadaqah, infaq dan ibadah lainnya. Di sisi lain, kita mesti cemas karena khawatir ibadah tersebut tidak diterima oleh Allah swt.
Oleh karena itu, saya mengajak kepada diri saya dan kepada jama’ah sekalian, marilah kita senantiasa bertaqwa kepada Allah swt dengan taqwa yang sebenar-benarnya. Oleh karena taqwalah yang menjadi tujuan akhir yang diharapkan dari pelaksanaan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya di dalam bulan Ramadhan. Hal ini berarti ukuran keberhasilan dari ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya selama bulan Ramadhan adalah ketika ibadah tersebut mampu menjadikan pelakunya sebagai pribadi yang bertaqwa kepada Allah swt.
Kita juga berharap semoga dapat menjaga dan mengokohkan ketaqwaan kepada Allah swt di luar bulan Ramadhan dan dalam menjalani sisa kehidupan di dunia. Ketaqwaanlah yang mampu mampu mengeluarkan manusia dari berbagai persoalan hidup, mengangkat derajat, memuliakan manusia di hadapan Allah swt dan mendatangkan keberkahan dari langit dan bumi.
Allah swt berfirman dalam QS. QS al-A’raf: 96
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون
Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami, maka Kami menimpakan hukuman kepada mereka disebabkan apa yang terus menerus mereka lakukan.
Keimanan dan ketaqwaan penduduk suatu negeri akan bisa mendatangkan keberkahan bagi penduduk negeri tersebut. Bandingkan misalnya dengan kondisi Indonesia beberapa tahun terakhir ini, dari segi keamanan, ekonomi, kehidupan sosial, hukum dan politik, semuanya memprihatinkan. Rasa aman berkurang yang ditandai dengan jumlah kejahatan yang semakin meningkat. Jumlah kejadian kejahatan pada tahun 2014 sebanyak 325.317 kasus. Setiap 100.000 orang, sebanyak 131 orang berisiko terkena tindak kejahatan. (Sumber: Data BPS tahun 2015). Ekonomi melambat yang mengakibatkan jumlah pengangguran dalam negeri bertambah. Menurut kepala BPS, jumlah pengangguran pada bulan Februari tahun 2015 mencapai 7,45 juta orang. (Sumber; sindonews.com) Kehidupan Sosial memperihatinkan salah satunya permasalahan LGBT yang angkanya berdasarkan estimasi kemenkes sudah sekitar 1.095.970 dan Menurut PBB tahun 2012 sudah mencapai tiga juta (Sumber Republika.co.id). Permasalahan hukum semakin banyak. Untuk kasus korupsi saja. Dari tahun 2004-2016, total penanganan tindak pidana korupsi terdiri dari penyelidikan 762 perkara, penyidikan 475 perkara, penuntutan 396 perkara, inkracht 321 perkara dan eksekusi 338 perkara (sumber kpk.go.id). Untuk Politik; tahun 2015 adalah tahun yang penuh dengan kegaduhan (sindonews.com).
Allah swt telah mengingatkan bahwasanya kekufuran terhadap nikmat-Nya akan menjadikan keberkahan suatu negeri dicabut, sebaliknya kelaparan dan ketakutan akan meliputi mereka.
Allah swt. berfirman dalam QS al-Nahl ayat 112:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Dan Allah telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menjadikan mereka merasakan pakaian lapar dan ketakutan disebabkan apa yang mereka perbuat.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Kekufuran atau pengingkaran terhadap nikmat Allah swt. itulah yang mengangkat keberkahan dari suatu negeri dan tidak ada kekufuran yang melebihi kekufuran dalam bentuk menyekutukan Allah swt. Sesungguhnya tujuan Allah SWT menciptakan makhluk dan mengutus para rasul adalah agar Allah menjadi satu-satunya yang disembah dan tidak disekutukan dengan apapun yang lain.
Ibadah dalam pengertiannya yang paling khusus adalah menjadikan ketaatan dan ketundukan hanya kepada Allah serta berhukum hanya dengan syariah-Nya. Allahlah yang menciptakan makhluk-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan ini. Karena itu, Dia harus dijadikan sebagai satu-satunya yang berhak memerintah. Dialah satu-satunya Pencipta, hanya Dia pula yang berhak memerintah.
أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ
Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah (QS al-A’raf [7]: 54).
Allah SWT juga berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (QS Al-An’am [6]: 57).
Allahlah satu-satunya yang berhak menghalalkan, mengharamkan dan membuat peraturan. Siapapun yang mengklaim berhak ditaati secara mutlak dan berhak membuat peraturan secara mutlak, sungguh ia telah menjadi sekutu bagi Allah SWT dan menempatkan dirinya sebagai tuhan yang lain selain Allah; sama saja apakah ia individu, jamaah, organisasi, institusi, DPR, MPR, parlemen atau apapun namanya.
Setiap orang yang memberikan hak tersebut kepadanya dan mengakui, bahwa mereka berhak untuk melakukannya, maka ia benar-benar telah menyembah selain Allah.
Ketika Allah SWT menurunkan surah at-Taubah ayat 31:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan para ulama dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.
Seorang sahabat, Adi bin Hatim yang sebelumnya adalah seorang Nasrani berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Rasulullah saw. Bersabda, “Bukankah mereka itu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan dan kalian pun mengharamkannya? Mereka menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian pun menghalalkannya?” Adi berkata, “Tentu seperti itu.” Rasulullah saw. Bersabda, “Itulah bentuk penyembahan kepada mereka.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Kaum Muslimin wajib terikat dengan hukum-hukum Allah SWT dan wajib menerapkannya dalam semua aspek kehidupan. Karena itu, umat wajib berhukum dengan hukum-hukum Allah dan wajib berusaha agar hukum-hukum itulah yang mengendalikan dirinya. Itu bukan hanya di dalam masyarakatnya saja, namun di semua penjuru dunia. Dengan begitu, mereka akan memimpin masyarakat dengan keadilan Islam. Rasulullah saw. telah menerapkan perintah Allah itu dan senantiasa beliau jalankan hingga wafat. Selama itu, beliau menjadi pemimpin negara, panglima perang, hakim serta rujukan dalam semua urusan dunia dan agama.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Ramadhan dengan semua ibadah yang disyari’atkan di dalamnya boleh jadi telah menjadikan diri kita sebagai pribadi yang rajin berpuasa, shalat tarawih, banyak membaca al-Qur’an, berdo’a dan berdzikir. Namun perlu dipahami bahwa ketawaan dan keimanan seseorang tidak hanya berkaitan dengan kesalehan individual yang ditandai dengan ibadah personal. Lebih jauh daripada itu, keimanan dan ketaqwaan juga mesti terwujud dalam bentuk kesalehan sosial di masyarakat dan pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah. Itulah takwa yang diharapkan terwujud setelah menjalankan ibadah puasa, yakni kelahiran orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya. Mereka adalah orang-orang yang menaati syariah-Nya secara kâffah atas dasar keimanan.
Karena itu, orang yang bertakwa tidak akan tertarik untuk memilih dan mengangkat orang kafir sebagai pemimpinnya. Apalagi ikut mengkampanyekan calon pemimpin kafir di mana-mana. Tentu karena Allah SWT telah mengharamkan umat Islam mengangkat orang kafir sebagai pemimpin mereka. Allah SWT berfirman:
﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً﴾
Allah sekali-kali tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (QS al-Nisa’ [4]: 141).
Berdasarkan ayat ini dan nas-nas lainnya, umat Islam haram mengangkat orang kafir sebagai pemimpin mereka. Tidak ada ikhtilaf di kalangan para ulama atas keharaman ini. Al-Qadhi ‘Iyadh, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim, berkata, “Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama bahwa kepemimpinan itu tidak sah bagi orang kafir.”
Ibnu Hazm dalam Marâtib al-Ijmâ’ juga berkata, ”Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada perempuan, orang kafir, anak kecil yang belum balig (dewasa) dan orang gila.”
Namun, sekarang muncul pernyaatan yang dilemparkan ke tengah-tengah umat, “Pemimpin kafir yang jujur dan adil adalah lebih baik daripada pemimpin Muslim yang tidak jujur dan tidak adil.”
Jelas, pernyataan seperti ini tidak mungkin keluar dari lisan orang yang bertakwa. Tentu, selain menyalahi al-Quran, as-Sunnah dan ijmak para ulama, pernyataan itu jelas merendahkan umat Islam. Seolah-olah tidak ada seorang pun dari umat Islam ini yang layak menjadi pemimpin lantaran tak ada seorang pun yang jujur dan adil sehingga mereka harus mengemis kepada orang kafir untuk menjadi pemimpin mereka.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Orang yang bertakwa tidak akan mau menerima sistem demokrasi yang telah menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Hukum yang ditetapkan lewat proses demokrasi pun tidak didasarkan pada halal dan haram, tetapi didasarkan pada suara terbanyak. Padahal dalam Islam, pemilik otoritas tunggal untuk membuat hukum hanyalah Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ﴾
Keputusan (hukum) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia (QS Yusuf [12]: 40).
Suara terbanyak jelas tidak boleh dijadikan sebagai penentu dalam ketetapan hukum. Sebab, suara terbanyak tidak selalu sejalan dengan kebenaran. Bahkan Allah SWT menegaskan bahwa jika kalian menuruti kebanyakan manusia yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dari jalan-Nya (lihat QS al-An’am [16]: 116).
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Orang yang bertakwa pasti akan menolak liberalisme. Tentu karena liberalisme meniscayakan kebebasan dan menolak terikat dengan syariah. Liberalisme berlawanan dengan Islam yang justru mewajibkan manusia untuk terikat dengan semua hukumnya.
Orang yang bertakwa juga akan menolak sekularisme yang mereduksi Islam sebagai agama yang hanya mengatur urusan pribadi. Padahal Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Semua aturan Islam wajib diterapkan. Allah SWT berfiman:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴾
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian menuruti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh kalian yang nyata (QS al-Baqarah [2]: 208).
Saat menjelaskan ayat ini, seorang ulama mufassir terkemuka, Abu al-Fida Ibnu Katsir rahimahulLâh, berkata, “Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang Mukmin dan membenarkan Rasul-Nya untuk mengambil semua aspek Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya selama mereka mampu mengerjakan semuanya.”
Ibnu Jarir al-Thabari rahimahulLâh juga menerangkan ayat ini dengan ungkapan, “Wahai kaum Mukmin, amalkanlah syariah Islam secara keseluruhan, dan masuklah ke dalam Islam dengan membenarkan Islam, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Tinggalkanlah upaya mengikuti jalan-jalan setan dan jejak langkahnya karena permusuhan setan kepada kalian adalah nyata. Jalan setan yang dilarang untuk kalian ikuti adalah semua yang bertentangan dengan hukum dan syariah Islam.”
Karena itu, orang yang bertakwa pasti akan menginginkan syariah diterapkan secara kâffah dalam semua aspek kehidupan.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Orang yang bertakwa juga tidak akan menolak Khilafah, apalagi menentang dan menjadi penghalangnya. Tentu karena Khilafah adalah kewajiban yang harus ditegakkan. Tidak ada ikhtilaf di kalangan para ulama tentang kewajiban menegakkan Khilafah ini. Imam al-Qurthubi rahimahulLâh dalam kita tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat maupun para imam tentang kewajiban mengangkat khalifah, kecuali al-‘Asham. Dinamakan al-Asham (orang yang tuli) karena dia tuli dari syariah. Demikian pula orang yang sependapat dengan dia serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.”
Selain itu, penerapan syariah secara kâffah membutuhkan keberadaan Khilafah. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama mu’tabar, Khilafah adalah institusi pelaksana syariah. Imam Abu Zakari an-Nawawi rahimahulLâh dalam Rawdhah at-Thâlibîn wa Umdat al-Muftîn, berkata:
]لاَ بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا[
Umat harus memiliki seorang imam (khalifah) yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang dizalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hak itu pada tempatnya.
Jelaslah, menegakkan syariah adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-lagi lagi. Menegakkan syariah adalah kewajiban yang sudah final dan tidak boleh dibatalkan oleh siapa pun dan dalam masa kapan pun.
Namun mustahil kita menjalankan kewajiban menerapkan syariah secara menyeluruh (kaffah) tanpa adanya Khilafah sebagai pemerintahan yang pro-syariah. Maka dari itu, tepat sekali para ulama mewajibkan Khilafah karena tidak mungkin kita menjalankan kewajiban penegakan syariah, tanpa Khilafah. Kaidah fikih menegaskan maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib (jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya) (Lihat Imam Izzuddin bin Abdis Salaam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih al-Anam).
Khilafah sesungguhnya adalah bagian dari ajaran Islam, seperti halnya ajaran Islam lainnya semisal sholat, zakat, haji, dan sebagainya. Siapakah pemilik ajaran sholat, zakat, dan haji? Tentu bukan milik satu golongan saja, melainkan milik seluruh kaum muslimin. Hanya minoritas umat Islam yang menolak kewajiban Khilafah secara normatif.
Kajian normatif yang objektif akan membuktikan, bahwa Khilafah bukanlah sesuatu ajaran asing atau konsep kafir yang disusupkan ke dalam Islam atau dipaksakan atas kaum muslimin. Khilafah adalah benar-benar bagian asli dari ajaran Islam.
Dalam kitab al-Fiqh ’ala al-Mazhahib al-Arba’ah, karya Syaikh Abdurrahman al-Jaziry, Juz V hal. 362 (Beirut : Darul Fikr, 1996) disebutkan :
"Para imam-imam [Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad] –rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam [Khalifah] yang akan menegakkan syiar-syiar agama serta menyelamatkan orang-orang terzalimi dari orang-orang zalim. [Imam-imam juga sepakat] bahwa tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam [Khalifah], baik keduanya bersepakat maupun bertentangan..."
Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Imamah (atau Khilafah) adalah wajib hukumnya menurut Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Selain itu, mereka berempat juga menyepakati kesatuan Imamah [wihdatul Imamah]. Tidak boleh ada dua imam pada waktu yang sama untuk seluruh kaum muslim di dunia.
Mereka yang sepakat tadi adalah para imam yang empat dari kalangan Ahlus Sunnah. Kesepakatan ini hanya salah satu dari sekian kesepakatan jumhur Ahlus Sunnah. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M) ketika menjelaskan Ahlus Sunnah dalam kitabnya Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 248-249 (Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2005) mengatakan, terdapat 15 (lima belas) masalah pokok agama (arkan al-din) yang telah disepakati oleh Ahlus Sunah. Masalah pokok agama yang nomor 12 (dua belas) adalah wajibnya Imamah atau Khilafah.
Pada kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 270, Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menjelaskan :
"Mereka [Ahlus Sunnah] berkata mengenai masalah pokok agama ke-12… Sesungguhnya Imamah [Khilafah] adalah fardhu atau wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam [khalifah], yang akan mengangkat bagi mereka [umat Islam] para hakim dan orang-orang kepercayaan (umana`), yang akan mengamankan tapal batas mereka, memberangkatkan para pasukan ke medan perang, membagikan fai` di antara mereka, serta menyelamatkan orang-orang yang dizalimi dari orang-orang yang menzaliminya."
Tidak hanya itu, bahkan Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menegaskan sikap Ahlus Sunnah yang memandang sesat siapa saja yang menyimpang dari ke-15 masalah pokok agama tersebut (Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 248).
Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa Khilafah (Imamah) adalah bagian dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bagaimana dengan kalangan non Ahlus Sunnah? Sama saja, merekapun juga mewajibkan Khilafah. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashlu fi al-Milal wa al-Ahwa` wa an-Nihal Juz IV hal. 78 menyatakan :
"Telah sepakat semua ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syia’ah, dan semua Khawarij mengenai wajibnya Imamah [Khilafah], dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil yang akan menegakkan hukum-hukum Allah dan di tengah-tengah mereka dan mengatur mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah SAW..."
Dari berbagai kutipan di atas, jelaslah bahwa secara normatif, Khilafah sesungguhnya adalah ajaran milik semua Islam, karena mereka semua menyepakati akan kewajibannya.
Ketentuan normatif itulah yang diamalkan secara nyata oleh umat Islam dalam sepanjang sejarah mereka, sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat sebagai khalifah pengganti Rasulullah tahun 632 M hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M akibat ulah agen Inggris, yaitu Mustafal Kamal Ataturk yang murtad.
Namun hancurnya Khilafah itu bukanlah akhir sejarah umat Islam. Allah SWT tetap mempunyai hamba-hamba yang selalu berjuang dengan ikhlas untuk kembali menegakkan agama-Nya. Bangkitlah kemudian para tokoh ulama dan banyak gerakan Islam untuk mengembalikan Khilafah.
Maka dari itu, wahai kaum muslimin, marilah kita bangkit berjuang menegakkan syariah dan khilafah secara bahu membahu dan bergotong royong! Marilah kita raih kemuliaan dunia dan akhirat dengan menegakkan syariah dan khilafah! Sungguh, ini adalah perjuangan yang menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin, bukan hanya kewajiban satu golongan saja. Semua komponen umat harus memiliki kesadaran yang sama, kesadaran kolektif akan hal tersebut. Tentu saja, para alim ulama yang merupakan ahli waris para Nabi mestinya berdiri di garda paling terdepan untuk memperjuangkannya karena merekalah yang dengan ilmunya memahami benar akan kewajiban tersebut. Kewajiban adanya khilafah bagi umat Islam tidak hanya untuk dijadikan sebagai kajian ilmiah, tetapi untuk diamalkan dalam kehidupan nyata.
Ketahuilah!!! wahai kaum muslimin, tanpa tegaknya Khilafah, Anda hanya akan dapat menerapkan sebagian syariah, bukan seluruh syariah. Apakah Anda sudah puas dengan secuil penerapan syariah ini? Apakah hanya itu yang Anda kehendaki? Apakah itu diridhoi oleh Allah Rabbul ’Alamin? Sungguh, tidak!
Marilah kita merenungkan firman Allah SWT berikut agar kita semakin terdorong menerapkan Islam secara total, bukan Islam setengah-setengah. Allah SWT berfirman :
"Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar kepada sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Dan Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (QS Al-Baqarah [2] : 85)
Tanpa Khilafah, niscaya banyak sekali hukum syariah yang terabaikan dan tidak diterapkan dalam kehidupan, sebagaimana saat ini. Karena itu, orang bertakwa akan merindukan dan mendambakan Khilafah, bahkan turut berjuang untuk mengembalikan tegaknya Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Orang yang bertakwa tidak akan menganggap syariah dan khilafah sebagai ancaman. Tentu karena syariah dan khilafah adalah risalah dari Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah saw. Penerapan syariah dan penegakkan khilafah akan mewujudkan rahmat bagi alam semesta. Allah SWT berfirman:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ﴾
Kami tidak mengutus kamu [Muhammad] kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Menurut Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahuLlâh, ayat ini menjelaskan bahwa tujuan Rasulullah saw. diutus adalah agar risalahnya menjadi rahmat bagi manusia. Konsekuensinya, risalah ini diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan (jalb al-mashalih) mereka dan mencegah kemafsadatan (dar’u al-mafasid) dari mereka.
Khilafah juga akan menjadi junnah (perisai) yang melindungi umat Islam. Tidak seperti sekarang, umat Islam benar-benar seperti anak yatim tanpa pelindung. Agama mereka dilecehkan. Darah mereka ditumpahkan. Harta kekayaan mereka pun dijarah oleh musuh-musuh mereka. Semua itu menimpa mereka tanpa ada yang melindungi. Lihatlah saudara-saudara kita di Suriah yang setiap hari dibombardir oleh rezim kafir Basyar Asad dan negara-negara kafir penjajah. Demikian pula saudara-saudara kita di Palestina dan Rohingnya. Nasib serupa juga dialami oleh kaum Muslim di Afrika Tengah, Irak, Uzbekistan, dan lain-lain. Semua itu terjadi ketika umat Islam hidup tanpa Khilafah sebagai pelindung mereka.
Khilafah juga akan menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan. Tidak seperti sekarang, umat Islam terpecah-pisah menjadi lebih dari 50 negara yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Akibatnya, begitu mudah musuh-musuh Islam menghancurkan Islam dan umatnya.
Allâhu Akbar 3X wa lil-Lâh al-hamd,
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumulLâh.
Pada akhir khutbah ini, kami ingin mangajak seluruh kaum Muslim untuk berjuang menegakkan syariah dan khilafah. Hanya dengan tegaknya Khilafah, ketaatan pada syariah secara kâffah dapat diwujudkan.
Sungguh, kembalinya Khilafah merupakan janji Allah SWT dan berita gembira dari Rasulullah saw. Beliau bersabda:
«ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
Kemudian akan muncul kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian (HR Ahmad).
Semoga janji Allah SWT dan berita gembira Rasulullah saw. berupa tegaknya kembali Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah itu akan segera tiba. Semoga kita diberi kekuatan, kesabaran, keikhlasan dan keistiqamahan dalam berjuang menolong agama-Nya.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللّهُمَّ صَلِّى وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعَا إِلَى اللهِ بِدَعْوَةِ اْلإِسْلاَمِ وَمَنْ تَمَسَّكَ بِسُنَّةِ رَسُوْلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحسْاَنٍ اِلى يَوْمِ الدِّيْنِ
أَللّهُمَّ اغْفِرْلَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا، أَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّا مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا دُعَائَنَا وَصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا
أَللّهُمَّ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَاِفِرِيْنَ
اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ بِاْلأِيْماَنِ كاَمِلِيْنَ وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلدَّعْوَةِ حَامِلِيْنَ وَبِاْلإِسْلاَمِ مُتَمَسِّكِيْنَ وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ وَفِي اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ وَلِلنِّعاَمِ شاَكِرِيْنَ وَعَلَى اْلبَلاَءِ صاَبِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ بِلاَدَنَا هَذَا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ سَخَاءً رَخاَءً، اَللَّهُمَّ مَنْ أَرَادَ بِناَ سُوْأً فَاَشْغِلْهُ فِي نَفْسِهِ وَمَنْ كَادَنَا فَكِدْهُ وَاجْعَلْ تَدْمِيْرَهُ تَدْبِيْرَهُ
اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ فِيْ ضَمَانِكَ وَأَمَانِكَ وَبِرِّكَ وَاِحْسَانِكَ وَاحْرُسْ بِعَيْنِكَ الَّتِيْ لاَ تَناَمُ وَاحْفَظْناَ بِرُكْنِكَ الَّذِيْ لاَ يُرَامُ.
اَللَّهُمَّ اَعِزِّ الإسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَاَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَنَا وَأَعْدَاءَ الدِّيْنِ، اَللَّهُمَّ دَمِّرْ جُيُوْشَ الْكُفَّارِ الْمُسْتَعْمِرِيْنَ أَمْرِيْكَا وَاَصْحَابَهُ الْمُلْعُوْنِيْنَ، اَللَّهُمَّ فَرِّقْ جَمْعَهُمْ وَشَتِّتْ شَمْلَهُمْ بِقُوَّتِكَ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللّهُمَّ يَا مُنْـزِلَ الْكِتَابِ وَمُجْرِيَ الْحِساَبِ وَمُهْجِمَ اْلأَحْزَابِ، اِهْجِمِ اْليَهُوْدَ وَاَعْوَانَهُمْ والَصَلِّيْبِيِّيْنَ الظَّالِمِيْنَ وَاَنْصَارَهُمْ وَالرَّأْسُمَالِيِّيْنَ وَاِخْوَانَهُمْ وَ اْلإِشْتِرَاكَيِّيْنَ وَالشُيُوْعِيِّيْنَ وَاَشْيَاعَهُمْ
وَنَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ تَحْرِيْرَ بِلاَدِ فَلِصْطِيْنِ وَاْلأَقْصَى، وَالْعِرَاقِ، وَ الشَّيْشَانَ، وَ اَفْغَانِسْتَانَ، وَ سَائِرِ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ نُفُوْذِ الْكُفَّارِ الْغَاصِبِيْنَ وَ الْمُسْتَعْمِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ سَلِّمْنَا وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي فَلِسْطِيْنَ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي كَشْمِيْرَ،
اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي الْهِنْدِ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي الشَيْشَانِ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي الصِّيْنِ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي فِيْلِبِيْنَ، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي إِنْدُوْنِيْسِيَّا، اَللَّهُمَّ سَلِّمْ إِخْوَانَنَا فِي سَائِرِ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللَّهُمَّ ارْحَمْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ اصْلِحْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ احْفَظْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ أُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَلَّذِيْنَ يُقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ وَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيَصُوْمُوْنَ صَوْمَ رَمَضَانَ، وَيَحُجُّوْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ وَيُجَاهِدُوْنَ فِي سَبِيْلِكَ بِأَمْوَالِنَا وَأَنْفُسِنَا وَيَحْمِلُوْنَ الدَّعْوَةَ الإِسْلاَمِيَّةَ لاِسْتِئْنَافِ الْحَيَاةِ الإِسْلاَمِيَّة.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لَنَا دَوْلَةً إِسَلاَمِيَّةً خِلاَفَةً رَاشِدَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، اَلَّتِي تُطَّبِّقُ شَرِيْعَتَكَ الْعُظْمَى وَتَحْمِي دِيْنَكَ وَالأُمَّةَ، بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَيا مُجِيْبَ السَّائِلِيْنَ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
وَصَلَّى اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
اللهُ اَكْبَرْ اَللهُ اَكْبَرْ اَللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ الْحَمْدُ.
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
[VM]
Posting Komentar untuk "Naskah Khutbah Idul Fitri 1437 H Oleh Dr. H. Syahrir Nuhun, Lc., M.Th.I"