Bagaimana Khilafah dan Umat Islam Merayakan Idul Fitri


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Sebagai negara Islam yang menerapkan hukum syara’ dalam seluruh aspek kehidupan, maka detil-detil pelaksanaan hukum syara’ dalam aspek kehidupan, termasuk hari raya sangat diperhatikan oleh khalifah, sebagai pemangku khilafah. Hari Raya adalah hukum syara’ yang ditetapkan oleh Allah kepada kaum Muslim tiap tahun. Ada dua hari raya tiap tahun bagi mereka. Masing-masing hari raya ini jatuh setelah ibadah yang agung.

Idul Fitri jatuh setelah puasa, yang merupakan rukun keempat. Idul Fitri pertama kali dirayakan kaum Muslim tahun 2 H untuk menyempurnakan puasa dan bulan yang mulia. Sedangkan Idul Adha jatuh setelah ibadah yang agung, yang merupakan rukun kelima, yaitu haji di Baitullah. Masing-masing hari raya ini memiliki kesunahan dan adab yang telah digambarkan oleh Nabi SAW Baginda SAW pun menjaga dan menunaikannya untuk mensyukuri nikmat Allah.

Mencari Hilal Syawal

Tuntunan Nabi SAW inilah yang akan dilakukan oleh khilafah dalam merayakan Idul Fitri, maupun Idul Adha. Dengan begitu, umat Islam yang merayakannya tidak saja mereguk kesenangan dan kebahagiaan, tetapi juga pahala di sisi Allah SWT. Sebagaimana titah Nabi SAW saat mengawali puasa, maka ketika mengakhiri puasa dan memasuki hari raya, Nabi SAW pun menitahkan untuk melakukan rukyat hilal. Sabda Nabi, “Shumu li ru’yatihi, wa afthiru li ru’yatihi [Berpuasalah karena melihat hilal, dan berhari rayalah, karena melihat hilal].” [HR Muslim]. Maka, hukum mencari hilal pun Fardhu Kifayah.

Tanggal 29 Ramadhan pun dilakukan rukyat hilal. Bukan hanya di satu titik, tetapi di berbagai belahan dunia. Untuk menentukan di titik mana diperkirakan hilal bisa dilihat dan tampak, maka hasil kajian BMKG bisa digunakan. Jika ada yang melihatnya, maka diambil sumpah, dengan saksi yang cukup. Setelah ditetapkan keabsahannya, hasil rukyat tersebut diumumkan oleh khalifah, atau pejabat yang ditunjuk ke seluruh dunia melalui media massa yang dipancarkan ke seluruh belahan dunia.

Begitu juga sebaliknya, jika rukyat hilal tidak berhasil, karena terhalang mendung dan sebagainya, maka khalifah atau pejabat yang ditunjuk juga bisa mengumumkan ke seluruh dunia, bahwa puasa Ramadhan tahun itu digenapkan menjadi 30 hari, sehingga Hari Raya Idul Fitri jatuh setelahnya. Itsbat ini merupakan tabanni khalifah untuk menyatukan suara kaum Muslim dalam berpuasa dan berhari raya.

Takbir dan Zakat

Setelah hari raya ditetapkan oleh khalifah, maka khalifah pun akan menyampaikan pidato kenegaraan. Mengucapkan selamat kepada seluruh umat Islam yang merayakan hari raya. Mendoakan mereka agar ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Selain itu, juga berisi pesan hari raya agar bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan umat. Sambutan khalifah ini diawali dengan takbir, dan diakhiri dengan takbir.

Malam itu, saat matahari telah tenggelam, tepatnya malam hari raya, setelah sambutan khalifah, pendek kata takbir pun dikumandangkan di seluruh penjuru wilayah khilafah. Ini adalah perintah Allah SWT dalam Alquran, “Wa litukmilu al-‘iddata wa litukabbira-Llaha ‘ala ma hadakum wa la’allaku tasykurun [Hendaknya kalian sempurnakan bilangannya, dan agungkan asma Allah atas apa yang Dia tunjukkan kepada kamu, dan agar kamu bersyukur.” [TQS al-Baqarah: 185]

Ibn ‘Umat menuturkan, bahwa Rasulullah SAW telah keluar di dua hari raya dengan mengeraskan suaranya untuk mengumandangkan takbir dan tahlil. Takbir dan tahlil ini terus dikumandangkan hingga imam shalat tiba. Adapun redaksi takbir sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW, “Allah Akbar, Allah Akbar lailaha illa-Llah wa-Llahu Akbar wa li-Llahi al-hamd.” Dalam kitab sunan al-Baihaqi diriwayatkan, “Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar,  lailaha illa-Llah wa-Llahu Akbar, Allah Akbar wa li-Llahi al-hamd.”

Disunahkan mengumandangkan takbir di jalan-jalan, masjid dan rumah dengan suara keras bagi kaum pria. Sedangkan kaum wanita disunahkan dengan suara lirih.
Nabi SAW memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah, sebelum berangkat shalat hari raya di Hari Raya Idul Fitri. Zakat Fitrah ini hukumnya wajib, tidak saja bagi orang dewasa, tetapi juga bagi anak-anak.

Wanita dan Anak-anak Keluar

Mendirikan shalat Idul Fitri hukumnya Sunah Mu’akkadah. Pria, wanita, tua dan muda, semuanya disunahkan untuk mendirikan shalat Idul Fitri. Ummu ‘Athiyyah menuturkan, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan budak-budak wanita yang telah dewasa, wanita-wanita yang sudah haid, di dua Hari Raya, agar mereka bisa menyaksikan kebaikan, dan seruan kaum Muslim. Sementara yang sedang berhalangan dijauhkan dari tempat shalat.” [HR Muttafaq ‘alaih]

Dari Ibn ‘Abbas berkata, “Rasulullah SAW telah memerintahkan putri-putri dan istri-istrinya untuk keluar di dua hari raya.” Nabi SAW memulai shalat sebelum khutbah, sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat Bukhari-Muslim dari Ibn ‘Umar. Jumlah rakaatnya sebanyak dua rakaat, dengan bacaan al-Fatihah dan surat keras. Pada rakaat pertama, setelah al-Fatihah, Nabi SAW membaca QS al-A’la. Rakaat kedua, setelah al-Fatihah, membaca QS al-Ghasyiyah.

Jumlah takbir rakaat pertama adalah tujuh kali takbiratu al-ihram. Sedangkan takbir rakaat kedua sebanyak enam kali, termasuk takbir intiqal [perpindahan dari sujud ke takbir]. Dengan kata lain, takbirnya hanya lima kali. Setiap takbir disertai mengangkat tangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits riwayat Abu Dawud. Shalat ini tidak dimulai dengan adzan dan iqamah.

Kemeriahan di Hari Raya

Hari Raya identik dengan kesenangan dan kebahagiaan. Karena itu, hari raya diisi dengan berbagai kemeriahan oleh kaum Muslim. Bahkan, di zaman Nabi, kemeriahan itu pun sudah ada, meski masih terbatas. Setelah era Khilafah Bani Umayyah, kemeriahan mengisi Hari Raya Idul Fitri dan Adha pun tampak semakin luar biasa.

Lampu-lampu dinyalakan. Di zaman Nabi, ketika belum ada listrik, maka di rumah-rumah, masjid dan jalan-jalan lampu-lampu yang diisi minyak pun dinyalakan untuk memeriahkan hari raya. Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ini tetap dipertahankan oleh Khilafah Bani Umayyah, bahkan lebih meriah lagi. Karena itu, kemeriahan ini bisa dilakukan oleh khilafah yang akan datang.

Khilafah bisa mengisi Hari Raya dengan berbagai hiburan yang mubah. Dengan suasana yang terang-benderang di malam harinya, baik di jalan, di masjid maupun di rumah-rumah. Saling berkunjung kepada keluarga, tetangga dan teman juga merupakan salah satu kegembiraan yang menghiasi hari raya. Saling mendoakan, “Taqabbala-Llahu minna wa minkum [Semoga Allah menerima amal kami dan Anda].” Doa-doa ini menghiasi pertemuan kaum Muslim di antara sesama mereka.

Bahkan, di zaman Khilafah ‘Abbasiyyah, istana negara telah melakukan tradisi open house. Dengan jamuan makan-makan yang bisa dinikmati oleh publik, setelah mereka kembali dari tempat shalat. Khalifah pun menjadi tuan rumah dalam open house tersebut. Ini merupakan salah satu cara yang digunakan oleh khalifah untuk mendekatkan diri dengan rakyat, sekaligus menyaring aspirasi mereka.
Begitulah Idul Fitri dirayakan oleh kaum Muslim, dan begitulah Khilafah merayakan Hari Raya Idul Fitri. [VM]

Posting Komentar untuk "Bagaimana Khilafah dan Umat Islam Merayakan Idul Fitri"