Reshuffle Kabinet Kerja… Kerja Apa?
Oleh : Taufik Setia Permana
(Aktivis Islam Universitas Negeri Malang)
Keputusan Presiden Joko Widodo dalam me-reshuffle kabinetnya telah terlaksana. Jokowi menilai kinerja pemerintah yang kurang maksimal membuatnya harus mereshuffle kabinet. Perombakan kabinet (reshuffle) yang baru dilakukannya adalah untuk mempercepat dan memperbaiki kinerja pemerintahan serta dalam rangka mewujudkan janji meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas kehidupan rakyat Indonesia, diilansir oleh antaranews.com (14/8/15).
Beberapa pemain lawas juga turut menghiasi kabinet kerja Jokowi jilid II, seperti Sri Mulyani dan Jend (Purn) Wiranto. Ditariknya Sri Mulyani dari Word Bank untuk menjabat sebagai Menkeu menjadi hal yang menarik untuk dibahas.
Keberhasilan Jokowi dalam merayu Sri Mulyani untuk kembali ke Indonesia mungkin suatu yang melegakan hati Jokowi. Pada reshuffle kabinet jilid I sebenarnya Jokowi sudah memberikan tawaran kepada Sri Mulyani untuk menjabat di Menkeu, akan tetapi tawaran tersebut ditolak.
Perlu diketahui bersama pada saat Sri Mulyani terseret kasus Bank Century yang menyebabkan dirinya keluar dari jabatanya sebagai Menkeu, Golkar dipimpin oleh Abu Rizal Bakrie sebagai partai oposisi selalu mengkritik dan menyudutkan Sri Mulyani. Namun ketika Golkar yang sekarang ini dipimpin oleh Setya Novanto arus perpolitikan Golkar sedikit berbeda. Hal ini karena Setya Novanto mendapat dukungan penuh oleh istana. Tentu posisi Golkar di era kabinet jilid II ini ibarat seperti gerbong kereta yang mengikuti instruksi Pak Joko.
Sekarang tidak ada lagi musuh dalam sangkar, salah satu yang menyebabkan Sri Mulyani menerima permintaan Jokowi. Padahal apabila melihat dari hasil pendapatan di Word Bank dengan pendapatan di Menkeu tentu sangat berbeda jauh. Sri Mulyani ketika di Word Bank mendapatkan penghasilan sebesar Rp 666 juta/bulan atau Rp 8 Miliar/tahun sedangkan di Menkeu Sri Mulyani mendapatkan penghasilan Rp 19 Juta/bulan atau Rp 228 juta/tahun. Artinya Sri Mulyani akan bersiap-siap kehilangan 7 Miliar gajinya.
Kedatangan Sri Mulyani menumbuhkan suatu harapan besar bagi beberapa pihak. Hal ini dilihat dari Time Working Sri Mulyani menjadi parameter untuk meningkatkan kinerja perekonomian negara. Akan tetapi pemerintah lupa bahwa kondisi negeri ini sedang di cengkram oleh kapitalisme.
Sungguh disayangkan, kebijakan mereshuffle kabinet jilid II hanya digunakan sebagai tambal sulam permasalahan di negeri ini. Pasalnya keadaan negeri ini kedepannya akan semakin di cengkram dengan negara-negara kapitalis. Kerjasama Indonesia-China yang bermaksut untuk memperbaiki infrastruktur negara malah menghasilkan hutang pada tahun 2016 sebesar 13,65 miliar US$. dilansir oleh kompas.com (21/3/16).
Pendapatan pajak yang menjadi primadona untuk pendapatan negara pada tahun 2015 meleset dari target. Realisasi penerimaan baru terealisasi 81,4% sebesar Rp1.055 dari target APBN 2015 yang dipatok Rp1.294 triliun atau kurang Rp239 triliun. Pada tahun 2016 Kemenkeu melaporkan realisasi kuartal I baru mencapai Rp194 triliun turun Rp 4 triliun dari penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu sebesar Rp198,23 triliun.
Masalah penanganan Tax Amnesty menjadikan kendala baru. Dalam waktu tiga bulan pelaksaan Tax Amnesty yang disetujui pemerintah belum mencapi target yang melegakan. Menurut Edward Narodo sebagi praktisi investasi, Head of Sales RHB Asset Management menyatakan “Tiga bulan pertama itu harusnya sudah mencapai setengah, Rp165 triliun itu berarti Rp80 triliun, kalau kita bagi tiga bulan, kurang lebih hampir Rp30 triliun per bulannya, artinya Rp1 triliun sehari, ini tiga hari saja Rp8 miliar," dilansir oleh bbc.com
Selain itu rendahnya pendapatan negara di bidang pertambangan perlu dicermati. Sejauh ini negara masih menerima pendapatan di sektor pertambangan hanya Rp 35 Triliun, padahal target utama untuk pencapain pendapatan di sektor ini adalah Rp 48 Triliun. Akan tetapi jumlah ini tidak sepadan ketika pertambangan di Indonesia dikelola oleh pemerintah
Lihat saja Freeport yang memiliki cadangan emas sebesar 16 juta kilogram. Tentu jumlah ini akan mendongkrak pendapatan negara, sekita secara otomatis rupiah juga akan menguat.
Melihat begitu potensinya negara ini, namun masyarakatnya masih diambang miskin maka menjadi tugas rumah bagi pemerintahan Jokowi. Kebijakan reshuffle bukanlah solusi praktis jika negara ini masih mengaggunkan dan menggunakan sistem kapitalis dalam mengatur negara. Pasalnya pendapatan Indonesia masih bertumpu pada pajak. Hal ini sangat aneh ketika melihat potensi sumber energi di Indonesia yang melimpah namun tidak dijadikannya sumber pendapatan negara
Liberalisasi disektor migas menjadikan negara ini terpuruk dengan kekayaan alam yang melipah. Kegagalan negara dalam mengatur kebijakan terlihat di UU Migas No. 22 tahun 2001 pasal 2 dan 9. Sebagaiaman Indonesia hanya sebagai pemfasilitas bagi investor asing. Dalam Memorandum of Economic and Financial Politicies (Jan, 2000) beberapa piha IMF, World Bank, dan USAID menyatakan : “pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional”.
Inilah bukti bahwa negara ini disetir oleh asing, hutang dan bunga yang diglontorkan hingga negara ini sulit membayarnya hanyalah sebagai senjata untuk menguasai sumber energi ini.
Maka sesungguhnya reshuffle yang diusung Jokowi ini hanya untuk menghibur masyarakat dalam keputus asaan. Ibarat akar pohon yang teracuni buah pohon tersebut juga akan menjadi racun, itulah sistem neo-libarilisme dan Imperalisme. Pemerintah harus sadar bahwa sistem ini tidak akan menghasilkan buah yang manis, tentu saja sistem ini tidak membuahkan keadilan.
Peraturan yang adil adalah peraturan Islam yang mengatur kehidupan manusia serta seluruh mahkluk hidup sejagat raya ini. Islam juga memiliki syariat pengaturan sumber daya energi. Lihat firman Allah SWT :
"Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah [2]:22)
Dalam ayat ini menegaskan bahwa sumber energi hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia dan wajib bagi pemerintah mengelolanyaan bukan menyerahkannya ketangan orang-orang kapitalis. Rosulullah SAW bersabda “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api” (H.R. Ahmad). [VM]
Posting Komentar untuk "Reshuffle Kabinet Kerja… Kerja Apa?"