Pilgub DKI 2017: Koalisi Pragmatis dalam Sistem Politik Transaksional
Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI
(Direktur Pusat Kajian Data – Analisis)
Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli menjadi salah satu kandidat calon yang gagal maju dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Rizal mengungkapkan penilaiannya sehingga gagal maju dalam pesta demokrasi di Ibukota. Melalui keterangan tertulis, Sabtu (24/9), Rizal Ramli mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang menjadi kekurangannya sehingga gagal maju karena tidak menitik beratkan pada dukungan finansial.
"Saya mohon maaf atas berbagai salah kata dan salah tindakan, juga kesalahan saya yang terlalu mengandalkan modal sosial dan kurang memahami bahwa modal finansial sangat menentukan di era demokrasi liberal yang padat modal ini," ujarnya. "Ketergantungan itu membuat politik semakin pragmatis dan menjauh dari kepentingan rakyat," imbuh Rizal. (monitorday.com 24/9)
Pernyataan Rizal Ramli , menemukan titik temu dengan apa yang dinyatakan oleh Mark Twain “Hanya pemerintah yang kaya dan aman yang mampu menjadi negara demokrasi, karena demokrasi adalah jenis pemerintahan yang paling mahal dan paling jahat yang pernah terdengar di permukaan bumi.”
Membuka tabir politik Jakarta saat ini, melihat ngototnya Ahok, Gubernur DKI untuk tetap mempertahankan izinnya untuk memberikan keleluasaan Pengembang untuk membangun 17 Pulau di Utara Jakarta wajib di curigai sebagai punya Niat dan Maksud tertentu. Tak mungkin ada niat-niat Bisnis Semata, dengan Berkolusinya Penguasa dan Pengusaha meski menabrak Hukum dan Aturan dan abai dan cuek terhadap Pendapat Pakar dan Publik.
Dan seperti nya, Presiden Jokowi yg teman dekat nya Ahok seolah tidak peduli dengan Suara-suara Protes dan Pelanggaran yg di lakukan oleh Gubernur DKI dalam proses Reklamasi ini. Terbukti sampai detik ini tidak ada suara Istana soal ini. Ini perlu di catat Publik (http://www.repelita.com/reklamasi-teluk-jakarta-dari-cina-untuk-cina-sebuah-ambisi-kolonisasi-cina/)
Pragmatisme dalam politik membuat idealisme dan ideologi menjadi sesuatu yang basi. Politisi atau parpol yang menganut pragmatisme ini menjadikan politik sebagai panggung sandiwara. Yang ada akhirnya hanya basa-basi politik. Dalam politik pun biasa dilakukan propaganda plain folk, yaitu mengidentifikasi diri dengan sesuatu yang ideal, terlepas dari apakah ia memang demikian atau tidak. Di sinilah sering terdengar slogan “atas nama rakyat”, “untuk kepentingan rakyat”, “demi wong cilik”, “demi kebenaran dan keadilan”, “demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat” dan slogan-slogan sejenis. Tujuannya jelas, agar diidentifikasi seperti itu sehingga memikat perhatian konstituen. Namun semuanya hanya basa-basi, tidak ada janji yang hakiki, dan kenyataannya jauh panggang dari api.
Pragmatisme itu juga mendapatkan justifikasi dari doktrin politik dalam kapitalisme yang memang fokus pada kekuasaan. Yaitu berfokus pada bagaimana memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya, atau di sisi lain mempengaruhi kekuasaan ketika berposisi sebagai oposisi. Di atas semua itu kepentingan individu, partai dan kapitalis pemodal politik menjadi yang diutamakan. Kebijakan dan sikap oposan pada akhirnya untuk memperbesar diraihnya kepentingan itu, atau untuk menaikkan posisi tawar guna meminimalkan kehilangan.
Secara sistemik demokrasi melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya kebijakan yang muncul bukan untuk kepentingan rakyat tapi elit pemilik modal yang mendukung. Menjadi alat untuk mengembalikan investasi politik yang mahal sekaligus untuk mempertahankan kekuasaan. Sistem ini menjadikan uang atau modal sebagai penguasa.
Konsekuensi dari penerapan demokrasi adalah praktik suap menyuap, manipulasi dan korupsi menjadi penyakit bawaan dari sistem cacat ini. Dalam bahasa sehari-hari, kata yang digunakan untuk percobaan mempengaruhi tindakan seseorang melalui insentif uang disebut dengan istilah ‘suap’. Tapi dalam dunia politik demokrasi, kita bersikeras menggunakan istilah-istilah seperti ‘dana’, ‘melobi’ atau ‘pinjaman lunak’.
Politisi, parpol dan siapa pun yang masuk, terjun atau terlibat dalam proses politik itu harus mengeluarkan biaya dan tidak jarang “membeli” suara baik langsung maupun tidak langsung. Konsekuensi logisnya, pragmatisme atau bahkan politik uang menjadi sesuatu yang pasti terjadi. Dampak lebih buruknya, terjadilah siklus uang untuk politik dan politik untuk uang. Dalam semua itu rakyat lah yang menjadi korban.
Sementara kecenderungan perubahan pola pikir masyarakat pemilih dari idealis ke pragmatis seperti fenomena yang terjadi dalam pilkada dan pemilu, disinyalir karena reaksi atas kenyataan yang terjadi. Kasus korupsi yang menjerat sejumlah wakil rakyat dan kepala daerah selama ini, baik di tingkat pusat, provinsi maupun di tingkat kabupaten, mengubah pola pikir masyarakat bahwa jabatan wakil rakyat itu diperebutkan untuk meraih kekayaan.
Masyarakat sudah paham betul, setelah jabatan di tangan, janji tinggal janji dan slogan-slogan manis pun menguap tanpa bekas sejak hari pertama. Nama dan kepentingan rakyat diperalat demi kepentingan sendiri, parpol dan cukong yang mengongkosi. Tidak cukup, jabatan, kekuasaan dan pengaruh pun diperalat untuk secepat mungkin balik modal, tambah kekayaan dan memupuk modal. Korupsi, kolusi, manipulasi, rekayasa proyek dan sejenisnya pun mengisi berita harian. Itulah fakta ibarat mendorong mobil mogok. Ketika mobil berhasil hidup, orang yang mendorong pun ditinggalkan dan hanya diberi asap. Seperti itulah nasib rakyat selama ini.
Ditambah lagi, seiring ketatnya persaingan berebut kursi, masyarakat dipikat dengan berbagai iming-iming, bantuan bahkan uang. Masyarakat akhirnya merasa, suaranya memiliki “harga” dan bisa dijual. Setelah memahami dengan seksama bahwa sistem demokrasi terbukti rusak, sistem sosialis juga batil, maka sistem apa lagi yang bisa menjadi solusi kalau bukan syariat Islam? [VM]
Posting Komentar untuk "Pilgub DKI 2017: Koalisi Pragmatis dalam Sistem Politik Transaksional"