Mengkritisi Harapan pada Pemimpin Non-Muslim: Pelajaran dari Pernyataan Administrasi Baru Suriah
Oleh: Gesang G. Raharjo
Pernyataan resmi administrasi baru Suriah yang mengucapkan selamat kepada Donald J. Trump atas pelantikannya sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat menunjukkan betapa tingginya harapan negara tersebut terhadap seorang pemimpin asing. Dalam pernyataan tersebut, disebutkan bahwa Trump diharapkan mampu membawa perdamaian ke Timur Tengah dan memulihkan stabilitas di kawasan. Namun, langkah ini perlu dikritisi, terutama dari sudut pandang Islam.
Syria telah menjadi simbol penderitaan umat Islam dalam satu dekade terakhir. Konflik berkepanjangan, yang diperparah oleh intervensi asing, termasuk Amerika Serikat, telah menghancurkan negara tersebut. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika pemerintah setempat mencari solusi. Namun, mengandalkan pemimpin non-Muslim untuk membawa perubahan adalah langkah yang tidak realistis, bahkan bertentangan dengan prinsip Islam.
Allah SWT telah memperingatkan dalam firman-Nya: "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin atau pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin" (QS. Ali 'Imran: 28). Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh menaruh kepercayaan kepada mereka yang tidak tunduk pada syariat Allah, apalagi untuk menyelesaikan urusan umat.
Harapan Suriah kepada Trump menunjukkan kelemahan politik yang dialami negara-negara Muslim saat ini. Ketergantungan pada kekuatan asing adalah bukti bahwa umat Islam kehilangan kemandirian mereka, baik secara politik, ekonomi, maupun militer. Situasi ini mencerminkan realitas pahit bahwa umat Islam telah meninggalkan syariat Islam sebagai solusi utama mereka.
Sejarah telah mencatat bagaimana kebijakan luar negeri Amerika Serikat sering kali didorong oleh kepentingan ekonomi dan politik, bukan oleh niat tulus untuk menciptakan perdamaian. Janji-janji yang disampaikan oleh pemimpin seperti Trump seringkali hanya menjadi retorika politik. Dalam praktiknya, kebijakan mereka lebih sering memperburuk konflik daripada menyelesaikannya.
Rasulullah SAW bersabda: "Imam itu adalah perisai, yang kalian berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan pentingnya keberadaan pemimpin yang melindungi umat berdasarkan syariat Islam. Sayangnya, umat Islam saat ini berada dalam kondisi tanpa perisai, sehingga mereka rentan terhadap serangan dan manipulasi dari kekuatan asing.
Solusi untuk konflik seperti yang terjadi di Suriah tidak akan datang dari pemimpin asing yang tidak beriman. Sebaliknya, solusi tersebut hanya bisa datang dari penerapan syariat Islam yang menyeluruh. Islam memiliki sistem yang telah terbukti mampu menciptakan stabilitas dan keadilan bagi seluruh masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim.
Di masa keemasan Islam, Khilafah berhasil memimpin dunia dengan keadilan dan kemakmuran. Umat manusia, tanpa memandang agama atau etnis, hidup dalam kedamaian di bawah naungan syariat Islam. Ini adalah bukti nyata bahwa solusi Islam bukan hanya teori, melainkan telah teruji sepanjang sejarah.
Alih-alih berharap pada pemimpin seperti Trump, umat Islam seharusnya berfokus pada membangun kekuatan mereka sendiri. Persatuan umat Islam adalah kunci untuk mengakhiri dominasi asing. Allah SWT berfirman: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai..." (QS. Ali 'Imran: 103). Ayat ini mengingatkan umat bahwa kekuatan hanya dapat dicapai melalui persatuan.
Ketergantungan pada sistem sekuler yang diemban oleh negara-negara Barat hanya akan memperpanjang penderitaan umat Islam. Sistem kapitalis yang mendominasi dunia saat ini tidak dirancang untuk membawa keadilan atau kesejahteraan, tetapi untuk melayani kepentingan segelintir elit. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan yang diajarkan oleh Islam.
Negara-negara Muslim, termasuk Suriah, seharusnya menolak campur tangan asing dan berfokus pada penerapan syariat Islam di dalam negeri mereka. Dengan menerapkan hukum Allah, mereka tidak hanya akan menyelesaikan konflik internal tetapi juga memberikan contoh bagi dunia tentang bagaimana menciptakan perdamaian yang hakiki.
Pernyataan dari administrasi baru Suriah ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi seluruh umat Islam. Harapan pada pemimpin non-Muslim hanya akan membawa kekecewaan. Sebaliknya, umat harus kembali kepada prinsip Islam yang menekankan kemandirian dan keadilan.
Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongnya dan meneguhkan kedudukannya" (HR. Ahmad). Hadis ini mengingatkan kita bahwa kemenangan dan solusi hanya akan datang jika umat berpegang teguh pada agama Allah.
Kita juga harus menyadari bahwa solusi Islam tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga mencakup aspek politik, ekonomi, dan sosial. Dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, umat akan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT, sebagaimana yang dijanjikan dalam QS. Al-A’raf: 96: "Jika mereka beriman dan bertakwa, pasti Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi."
Saatnya umat Islam berhenti mengandalkan kekuatan asing dan mulai membangun kembali kekuatan internal mereka. Dengan persatuan dan penerapan syariat Islam, umat akan mampu mengatasi segala tantangan yang mereka hadapi.
Solusi Islam adalah satu-satunya jalan untuk membawa perdamaian yang hakiki dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, kita harus menyerukan penerapan syariat Islam sebagai solusi utama, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi dunia secara keseluruhan. Allah SWT berfirman: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah" (QS. Ali 'Imran: 110). []
Posting Komentar untuk "Mengkritisi Harapan pada Pemimpin Non-Muslim: Pelajaran dari Pernyataan Administrasi Baru Suriah"