Banjir dan Krisis Lingkungan: Perlunya Paradigma Baru Pembangunan

 

 



Oleh: Ong Hwei Fang 

Banjir kembali melanda Jabodetabek, merendam ribuan rumah, merusak 114 sekolah di Bekasi, dan mengganggu aktivitas jutaan warga. Seperti dilaporkan oleh Tirto, Beritasatu, Tribun Jabar, dan BBC (9/3), bencana ini bukan sekadar akibat curah hujan tinggi, melainkan buah dari kebijakan pembangunan yang abai terhadap lingkungan. Proyek pembukaan 20 hektare hutan, alih fungsi lahan, dan lemahnya mitigasi bencana adalah bukti nyata bahwa banjir yang terjadi berulang ini adalah masalah sistemik, bukan sekadar masalah teknis.  

Banjir yang terjadi berulang di Jabodetabek dan sekitarnya adalah cermin dari kegagalan sistem kapitalistik dalam mengelola pembangunan. Paradigma kapitalistik menempatkan keuntungan ekonomi di atas segalanya, termasuk kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia. Proyek-proyek pembangunan, seperti pembukaan hutan dan alih fungsi lahan, dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem. Akibatnya, daerah resapan air semakin berkurang, sungai-sungai tersumbat oleh sedimentasi, dan banjir pun menjadi langganan tahunan.  

Fakta bahwa DPR mengakui proyek pembukaan hutan sebagai pemicu banjir menunjukkan betapa lemahnya pengawasan dan penegakan aturan. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru membiarkan korporasi dan pemilik modal merusak lingkungan demi keuntungan pribadi. Ini adalah kegagalan sistemik yang tidak bisa diatasi dengan sekadar membangun tanggul atau normalisasi sungai.  

Mitigasi bencana yang lemah semakin memperparah situasi. Meski banjir terjadi berulang setiap tahun, upaya pencegahan yang dilakukan selalu bersifat reaktif, bukan preventif. Padahal, peneliti BRIN telah mengungkap bahwa banjir di Jakarta dan Bekasi disebabkan oleh kombinasi faktor alam dan ulah manusia, seperti pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan buruknya sistem drainase.  

Rakyat, yang seharusnya menjadi prioritas, justru menjadi korban dari kebijakan yang salah. Ribuan keluarga harus mengungsi, puluhan sekolah rusak, dan aktivitas ekonomi terhambat. Ini adalah bukti nyata bahwa sistem kapitalistik tidak dirancang untuk melindungi rakyat, melainkan untuk melayani kepentingan pemilik modal. 

Pembangunan Berparadigma Rahmatan lil 'Alamin

Islam menawarkan paradigma pembangunan yang berbeda: pembangunan yang tidak hanya memudahkan kehidupan manusia, tetapi juga menjaga kelestarian alam. Dalam Islam, penguasa adalah *raa’in*(pengurus umat) yang bertanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan dan keamanan rakyatnya. Ini berarti pembangunan harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan keberlanjutan ekosistem.  

Pertama, Islam melarang eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Hutan, sebagai paru-paru dunia dan daerah resapan air, harus dilindungi dari alih fungsi lahan yang merusak. Kedua, Islam mengajarkan prinsip *amar ma’ruf nahi munkar*, di mana masyarakat diajak untuk menjaga lingkungan dan mencegah kerusakan. Ketiga, negara wajib melakukan mitigasi bencana yang kuat, seperti membangun sistem drainase yang baik, menjaga kebersihan sungai, dan menyediakan daerah resapan air yang memadai.  

Dalam sistem Islam, penguasa tidak hanya bertanggung jawab untuk membangun infrastruktur, tetapi juga memastikan bahwa pembangunan tersebut ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penguasa akan menerapkan konsep pembangunan yang berlandaskan syariat, di mana kepentingan rakyat dan kelestarian alam menjadi prioritas utama.  

Selain itu, penguasa dalam sistem Islam akan melakukan mitigasi bencana secara komprehensif. Ini termasuk pemetaan daerah rawan banjir, pembangunan infrastruktur yang tahan bencana, dan edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan. Dengan demikian, banjir tidak akan lagi menjadi bencana tahunan yang merugikan rakyat.  

Banjir yang terjadi berulang di Jabodetabek dan sekitarnya adalah alarm keras bagi kita semua: sistem kapitalistik telah gagal melindungi rakyat dan lingkungan. Pembangunan yang abai terhadap kelestarian alam hanya akan menghasilkan bencana yang terus berulang.  

Solusi atas masalah ini tidak bisa parsial. Mengganti regulator atau membangun tanggul tidak akan menyelesaikan akar masalah. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma pembangunan: dari pembangunan kapitalistik yang merusak, menjadi pembangunan Islami yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.  

Hanya dengan sistem Islam, pembangunan bisa dilakukan dengan benar, rakyat bisa hidup sejahtera, dan bencana seperti banjir bisa dicegah. Saatnya umat bangkit dan memperjuangkan perubahan sistemik ini, karena hanya dengan sistem Islam, kita bisa mewujudkan kehidupan yang aman, nyaman, dan berkelanjutan.

Posting Komentar untuk "Banjir dan Krisis Lingkungan: Perlunya Paradigma Baru Pembangunan"