Apa yang Ada di Balik Kunjungan Macron ke Mesir?
Di tengah krisis dalam negeri yang semakin memuncak, dan situasi regional yang membara, serta di bawah naungan kekuatan kolonial internasional, datanglah kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Kairo. Ia disambut oleh Sisi dengan sambutan yang berlebihan, yang menunjukkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar protokol politik atau penandatanganan perjanjian ekonomi dan budaya. Kunjungan ini secara jelas mengungkapkan sifat hubungan antara rezim Mesir dan sistem internasional, di mana Prancis adalah salah satu pilar dominannya dalam hal hegemoni dan kolonialisme. Ia juga kembali menegaskan ketergantungan mutlak rezim Mesir, terlebih di tengah krisis ekonomi yang parah, yang membuatnya rela menjual sumber daya negeri demi kelangsungan dukungan politik Barat agar tetap bertahan di tampuk kekuasaan.
Kunjungan Macron datang pada saat yang sangat sensitif, di mana Jalur Gaza tengah mengalami genosida oleh tangan Yahudi. Seharusnya, jika Macron tulus, ia mengunjungi Gaza atau secara terbuka mengutuk kejahatan Yahudi. Namun ia tidak melakukannya, karena Prancis, sebagaimana seluruh Barat kafir penjajah, tetap menganggap keamanan entitas Yahudi sebagai garis merah yang tak boleh dilanggar.
Yang lebih berbahaya, kunjungan ini disertai dengan penandatanganan kesepakatan besar antara Prancis dan Mesir dalam berbagai bidang: persenjataan, energi, pendidikan, transportasi, dan infrastruktur. Ini berarti Mesir terus dijadikan pasar konsumtif bagi produk-produk Prancis, tanpa menuai apa pun kecuali kemiskinan dan ketergantungan.
Rezim Mesir sangat berlebihan dalam penyambutan: karpet merah digelar, parade militer ditampilkan, pertemuan penuh keakraban diadakan, dan pujian berlebihan atas “peran historis” Prancis dikumandangkan. Semua ini mencerminkan kompleks inferioritas para penguasa boneka hasil Sykes-Picot, yang menganggap ridha Barat sebagai kebanggaan, dan lebih takut akan kemurkaan Barat daripada takut kepada Allah! Mereka hanyalah pegawai Barat dengan jabatan kepala negara, yang melaksanakan perintah tuan-tuan mereka demi menjaga kursi kekuasaan.
Islam tidak pernah membenarkan hubungan yang didasarkan pada ketundukan dan kehinaan. Allah SWT berfirman: “Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang-orang kafir jalan (kekuasaan) atas orang-orang mukmin.” (QS An-Nisa: 141). Maka tidak boleh secara syar'i memberikan jalan bagi penjajah kafir untuk menguasai negeri-negeri kaum Muslim, baik dari segi ekonomi, kedaulatan, maupun keamanan. Tidak layak memberi kepercayaan pada orang yang terang-terangan memusuhi agama Allah di negerinya, seperti yang dilakukan Macron dengan perang terhadap jilbab, niqab, dan masjid-masjid. Maka bagaimana mungkin ia disambut layaknya pahlawan?!
Penggambaran kunjungan ini sebagai bagian dari "penguatan kerja sama ekonomi" atau "mendorong investasi" adalah bentuk penipuan politik yang disengaja, untuk menutupi fakta tentang dominasi Barat atas negeri-negeri Muslim. Prancis tidak datang untuk memberi peluang ekonomi atau membantu kebangkitan, tapi untuk mengikat kontrak yang memungkinkan perusahaan-perusahaannya menguasai sumber daya kita, lalu memutar uangnya kembali demi memperkuat ekonomi mereka.
Prancis mengekspor kepada kita utang, konsultan, pakar, dan kontraktor—seraya mengimpor pasar terbuka, bahan mentah, tenaga kerja murah, dan penundukan politik. Ini bukan hubungan yang setara, tetapi bentuk kolonialisme yang dibungkus dengan pengaruh politik, ketundukan intelektual, dan ketergantungan ekonomi.
Apa yang disebut sebagai "kerja sama budaya" adalah bentuk infiltrasi pemikiran yang terstruktur. Kolonialisme modern tidak lagi mengirim tentaranya untuk menjajah, tapi mengirimkan perusahaannya, institusi budayanya, kurikulumnya, dan proyek-proyek "bersama", untuk membentuk ulang identitas umat, dan memaksakan pandangan hidup ala mereka. Melalui kerja sama pendidikan dan budaya, Prancis menyebarkan ideologi sekulernya dan nilai-nilai Barat, serta memasukkan kurikulum mereka ke sekolah dan universitas, mendukung pusat-pusat riset “modernis” yang bertujuan untuk merusak prinsip-prinsip Islam.
Melalui media dan pusat budaya bersama, Prancis menyebarkan wacana lembut yang dibungkus dengan jargon seperti "modernitas", "hak asasi manusia", dan "toleransi"—padahal di negaranya sendiri, mereka menyerang Muslimah, memerangi jilbab dan niqab, serta mengawasi masjid-masjid tanpa ampun. Melalui perjanjian keamanan, mereka diberikan akses terhadap infrastruktur penting, pertukaran informasi intelijen, dan pelatihan aparat keamanan, yang pada akhirnya menanamkan cengkeraman mereka di jantung negara, menjadikan Mesir sebagai penjaga kepentingan Prancis.
Bagaimana mungkin sebuah rezim yang mengklaim peduli pada Gaza justru menyambut Macron, yang tidak pernah menyembunyikan dukungan mutlaknya terhadap entitas Yahudi? Prancis termasuk negara paling pro-Israel di Eropa, dan termasuk yang pertama menyatakan bahwa keamanan Israel adalah garis merah, serta mendukung agresinya dengan dalih “hak membela diri”. Maka, bagaimana bisa percaya kepada mereka?!
Respon yang benar terhadap Macron dan semua pemimpin negara kolonialis bukanlah dengan menyambut dan memuliakan mereka, bukan pula dengan menandatangani lebih banyak perjanjian utang dan senjata, tapi dengan langkah-langkah berikut:
- Mengusir para duta besar negara-negara penjajah dari negeri-negeri Muslim. Haram hukumnya membiarkan penjajah kafir menetap sebagai wakil politik yang bisa memberi tekanan dan arahan dari dalam ibu kota kita.
- Menghentikan semua proyek bersama yang memberi mereka pijakan di tanah kita. Proyek-proyek ini adalah kedok penjajahan ekonomi, terutama di sektor transportasi, energi, konstruksi, pendidikan, dan media.
- Menutup semua pangkalan militer dan intelijen mereka, baik yang resmi maupun yang berkedok “pelatihan bersama”. Setiap kehadiran militer asing di negeri-negeri Muslim adalah agresi terang-terangan.
- Mencabut seluruh instrumen infiltrasi pemikiran dan pendidikan mereka, mulai dari pusat budaya, program pelatihan, kurikulum asing, hingga LSM yang didanai kedutaan mereka untuk mengubah pola pikir generasi Muslim.
- Memutus dominasi finansial Barat, baik dari IMF, Bank Dunia, maupun lembaga Prancis lainnya yang memperbudak negeri-negeri kita dengan utang dan syarat-syarat keterikatan.
- Menghentikan koordinasi keamanan dan pertukaran data strategis. Haram dan tidak rasional menyerahkan data penting negara kepada pihak asing yang memusuhi umat dan merusak kedaulatan kita.
Langkah-langkah ini mustahil dilakukan selama rezim-rezim pengkhianat ini masih berkuasa. Rezim-rezim ini tidak dibentuk untuk membela umat, melainkan untuk melayani penjajah Barat. Satu-satunya jalan untuk membebaskan umat adalah dengan menegakkan kembali Khilafah Rasyidah kedua ala Minhaj Kenabian, yang akan memutus dominasi Barat secara politik, ekonomi, dan budaya dari negeri-negeri Muslim. Khilafah yang akan mengarahkan kembali potensi umat menuju pembebasan dan pembangunan, serta mengembalikan kemuliaan dan kekuasaan umat.
Kami di Hizbut Tahrir menjelaskan bahaya kebijakan-kebijakan ini terhadap agama dan dunia, dan kami menyeru kepada rakyat Mesir—terutama tentaranya—untuk bergerak sebagaimana para sahabat dahulu bergerak, menjatuhkan para pengkhianat dan boneka, menegakkan Khilafah Rasyidah ala Minhaj Kenabian, yang akan mengembalikan kemuliaan Mesir dan umat, membebaskan negeri-negeri, dan menolong orang-orang yang tertindas di Palestina dan seluruh negeri Muslim.
Posting Komentar untuk "Apa yang Ada di Balik Kunjungan Macron ke Mesir?"